Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Rasanya saya belum bisa move on dari sejumlah peristiwa di pekan pertama Premier League musim baru yang telah berlangsung dan berakhir pekan lalu.
Jari-jari saya tergoda untuk menari menuliskan apa yang ada di hati dan pikiran saya tentang salah satu klub yang bermain pada Jumat, 11 Agustus 2017 lalu.
Lewat tayangan langsung dari televisi berbayar saya boleh menyaksikan bentrok dua tim warna merah dan biru pada seragam kebesaran masing-masing.
Pertandingan itu dipimpin wasit Mike Dean dan berlangsung di Emirates Stadium, tepatnya markas Arsenal.
The Gunners kedatangan The Foxes, julukan bagi Leicester City. Kali ini saya tidak akan membahas Arsenal tetapi hati dan pikiran saya tertuju pada Leicester City.
Entah mengapa, bukan Chelsea, kampiun musim lalu yang memainkan partai pembuka musim 2017/2018.
Duel Chelsea kontra Burnley di Stamford Bridge bahkan berlangsung setelah dua pertandingan selesai.
Artinya, dalam dua musim secara beruntun, baik 2016/2017 dan 2017/2018, Leicester City kebagian memainkan partai pembuka kompetisi.
Musim lalu, berstatus juara bertahan, Leicester City menyambangi kandang Hull City, klub yang musim lalu baru saja kembali promosi ke kasta tertinggi sepakbola Inggris alias Premier League.
Sebagai juara bertahan, kompetisi 2016/2017 tidak menjadi musim baik bagi Leicester City di kompetisi domestik.
Di akhir liga, Si Rubah hanya menempati posisi ke-12. Padahal saya yakin, Anda semua masih ingat dongeng ala cinderella di Premier League di musim 2015/2016.
Di bawah asuhan Claudio Ranieri, Leicester Citymenakjubkan di musim 2015/16. Tak ada satupun pengamat sepakbola yang berani memprediksi bahwa Leicester City akan tampil luar biasa sepanjang musim.
Tampil dengan status kesebelasan yang hampir terdegradasi semusim sebelumnya, anak asuh Claudio Ranieri tampil keren dengan mengakhiri musim sebagai jawara Inggris.
Sebuah prestasi terbaik, tertinggi dan membanggakan sepanjang sejarah berdirinya klub tersebut.
Para pemain yang sukses menorehkan sejarah sebagai juara pun menjadi incaran klub-klub besar baik di Premier League maupun dari luar Inggris.
Nama-nama seperti Jamie Vardy, Riyad Mahrez, dan N’Golo Kante adalah yang terdepan dalam hal menerima tawaran untuk berganti seragam pada musim 2016/2017.
Belakangan, setelah mayoritas skuat 2015/2016 bertahan di King Power Stadium, justru N’Golo Kante, salah satu sosok kunci keberhasilan Leicester City menjuarai Liga Inggris, hijrah ke Chelsea di musim panas 2016 dan jadi juara bersama The Blues di musim itu.
Sukses Leicester City menjuarai Liga Inggris musim 2015/16 juga membuat Wes Morgan dkk bermain di Liga Champion pada musim 2016/17.
Tiket ke Liga Champions juga jadi pengalaman pertama bagi mereka dalam keikutsertaan di kompetisi tertinggi antar klub Eropa. Bahkan, sebagai juara Inggris, Leicester City berhak berlaga langsung di fase grup.
Berbeda dengan penampilan terseok-seok di liga domestik hingga berujung ke pemecatan Claudio Ranieri, Leicester City justru menghadirkan decak kagum di ajang Liga Champions.
Sempat terpikir oleh saya kala itu, kisah Cinderella akan terjadi di ajang ini. Leicester City bahkan melaju cukup jauh hingga babak perempatfinal sebelum dihentikan wakil Spanyol, Atletico Madrid.
The Foxes menjadi satu-satunya wakil Inggris di babak delapan besar Liga Champions musim lalu.
Prestasi membanggakan, karena paling tidak langkah Leicester City lebih jauh dari Manchester City dan Arsenal yang gugur di babak pertama fase knock-out.
Tottenham Hotspur bahkan gagal lolos dari fase grup.
Akibat hanya berada di posisi ke-12 pada klasemen akhir Liga Inggris musim 2016/2017 serta kegagalan Riyad Mahrez dkk memenangi trofi domestik seperti Piala Liga atau Piala FA, Leicester hanya fokus bermain di ranah domestik.
Musim ini, skuat Leicester City belumlah berubah banyak.
Hingga saat ini Craig Shakespeare, sang nahkoda, yang ditunjuk menggantikan Claudio Ranieri di pertengahan musim lalu, memang telah memperkuat tim dengan rekrutan pemain anyar, seperti Vicente Iborra (dari Sevilla), Kelechi Iheancho (dari Manchester City) dan Harry Maguire (dari Hull City).
Pada pekan pertama, nama terakhir bahkan telah bermain sejak menit pertama dan menyumbangkan satu assist dalam laga lawatan ke Emirates Stadium.
Dari sisi komposisi pemain, Leicester City cukup kompetitif untuk bersaing di ajang Liga Inggris.
Namun, Shakespeare tetap punya punya pekerjaan rumah untuk bisa mebawa timnya bermain lebih baik dibandingkan musim lalu.
Salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Shakespeare adalah menjaga keseimbangan kualitas permainan dari para pemain reguler dan pelapis.
Kualitas setara haruslah tercipta, terutama untuk menjalankan variasi strategi ataupun kala rotasi pemain diperlukan untuk dilakukan.
Belum lagi soal ketergantungan yang begitu dalam terhadap Riyad Mahrez dan Jamie Vardy.
Tak bisa dipungkuri bila kontribusi kedua pemain itu merupakan kunci sukses Si Rubah Biru kala memenangi trofi Premier League di musim 2015/2016.
Ketergantungan tersebut memaksa kedua pemain untuk bermain lebih banyak di sepanjang musim. Hanya cedera atau skorsing yang membuat kedua pemain tersebut tak hadir di lapangan hijau.
Bursa transfer pemain pun belum usai. Riyad Mahrez sendiri masih jadi ‘gula’ yang ingin dimiliki klub lain tak terkecuali Arsenal.
Bila Mahrez hengkang, Craig Shakespeare harus memutar keras otaknya untuk menemukan formula yang tepat dalam mejalani tiap pertandingan di sepanjang musim.
Fakta bahwa Leicester City absen di kompetisi Eropa sesungguhnya harus digunakan dan dimafaatkan semaksimal mungkin. Jamie Vardy dkk bisa lebih serius mengarahkan konsentrasi mereka di liga domestik.
Kata konsentrasi itulah yang harus dimiliki setiap pemain Leicester City. Pertandingan kontra Arsenal Jumat lalu memberikan pelajaran bagi anak-anak asuh Craig Shakespeare.
Setelah sempat dikagetkan oleh gol Alexandre Lacazette pada menit kedua, Leicester City sesungguhnya tetap bermain tenang dan terbukti selang tiga menit dari gol tersebut, lewat tandukan kepala Shinji Okazaki, Leicester City sempat menyamakan kedudukan.
Hal menarik lain, Jamie Vardy pun sudah mulai pasang gas dalam urusan mencetak gol.
Dua gol diciptakan pada pertandingan tersebut.
Sial bagi Wes Morgan dkk. Bak demam panggung yang berakibat gagalnya barisan pertahanan mempertahankan konsentrasi di sisa tujuh menit waktu normal justru berujung dua gol balasan bagi Arsenal dan membuyarkan semuanya.
Saat peluit Mike Dean terdengar menyudahi laga, Leicester City takluk 3-4. Kekalahan itu di partai pembuka mengingatkan kita pada kejadian musim lalu saat Leicester City menyerah 1-2 dari tuan rumah Hull City.
Craig Shakespeare harus segera membangkitkan kembali semangat para pemainnya.
Skuat berkualitas melalui komposisi pemain yang ada serta kekompakan yang telah terjalin di antara pemain di tiga musim terakhir, akan jadi jaminan bagaimana mereka menjaga target musim ini.
Target klub pastinya bukan sekadar lolos dari degradasi.
Musim ini Leicester City tentu layak berharap agar bisa kembali bermain di kompetisi Eropa musim depan.
Jika harus menempatkan Leicester City dalam urutan klasemen, hemat saya, posisi empat besar tentunya terlalu muluk.
Selain langganan favorit juara seperti trio London (Chelsea, Arsenal dan Tottenham Hotspur), duo Manchester (United dan City) serta Liverpool FC, rival-rival lain seperti Everton, Southampton dan West Hama United pun semakin kuat.
Finis di papan tengah tampak sudah bagus bagi Leicester. Syukur-syukur mereka bisa duduk di posisi keenam, atau memenangi Piala Liga/Piala FA untuk bisa meraih tiket lolos ke Europa League di musim 2018/2019 mendatang.
Permainan Jamie Vardy dkk di Emirates Stadium pekan lalu harusnya membawa keyakinan bahwa musim ini akan lebih baik dari sebelumnya.
Kekalahan dari Arsenal harus sudah dilupakan. Sabtu nanti Leicester City akan bermain pertama kali di hadapan pendukungnya di King Power Stadium melawan Brighton & Hove Albion.
Pemilik, offisial dan seluruh suporter tentu sangat mengharapkan Leicester City bisa memaksimalkan partai kandang nanti dengan tiga poin.
Kemenangan atas Brighton akan menjadi tabungan berharga untuk menjaga asa Si Rubah menuju Eropa musim depan.