Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Nama Hector Castro akan selalu tercatat dalam buku sejarah Piala Dunia. Meski punya keterbatasan fisik, legenda Uruguay itu sukses mengantarkan negaranya menjadi kampiun.
Selain Brasil dan Argentina, salah satu negara produsen talenta-talenta sepak bola adalah Uruguay.
Negara yang diapit oleh Brasil, Argentina, dan Samudra Atlantik Selatan itu juga dikenal mempunyai pemain yang menorehkan tinta emas di dunia si kulit bundar.
Pada era modern nama besar mulai dari Diego Forlan, Edinson Cavani, sampai Luis Suarez menjadi contohnya karena menuai prestasi gemilang di karier sepak bolanya.
Hanya, ketiga pemain yang berposisi sebagai striker itu hanya tampil apik bersama klubnya masing-masing.
Di level internasional bersama timnas Uruguay ketiganya tak terlalu istimewa karena hanya meraih gelar Copa America pada tahun 2011.
(Baca Juga: Manchester City Superior Kontra Southampton, tetapi Bentrok Terakhir Bikin Galau)
Baik Forlan, Cavani, dan Suarez masih kalah raihan prestasinya dari sang senior yang sudah tiada, Hector Castro.
Lahir di ibu kota Uruguay, Montevideo, pada 29 November 1904, Castro merupakan legenda bagi timnas Uruguay meski catatan caps dan golnya tak terlalu banyak.
Berposisikan sebagai striker, Castro yang membela Uruguay pada periode 1923-1935 mencatatkan 25 penampilan dan 24 gol.
Sementara itu di level klub ia mencetak lebih banyak gol.
Salah satu klub yang dibela olehnya adalah Nacional dimana ia mencetak 149 gol dari 231 laga.
Insting menyerangnya sebagai striker sempurna kecuali kekurangan fisik yang dimiliki.
Sama halnya dengan mantan pemain Real Zaragoza Alex Sanchez pada era modern, kekurangan fisik pada diri Castro adalah ia hanya memiliki satu lengan.
Pada usia 13 tahun ia tertimpa kecelakaan dan lengan bawah kanannya terpotong saat sedang menggunakan gergaji listrik.
Apakah Castro mendapat simpati karena kekurangan fisiknya? Jawabannya tidak.
Menurut jurnalis Uruguay sekaligus pemerhati sejarah olahraga Franklin Morales yang juga dilansir BolaSport.com dari arsip BBC, Castro tidak pernah meminta simpati.
Segala simpati yang ditujukan padanya sirna berkat fisiknya yang kuat dan semangat daya juangnya saat beraksi di lapangan.
Meski hanya memiliki satu tangan Castro mempunyai tekad bermain yang kuat, hal itulah yang membuatnya spesial di mata orang lain sehingga julukan El Divino Manco yang berarti Tuhan Bertangan Satu mendarat padanya.
Kiprah Castro di timnas Uruguay terjadi di usianya masih belia, yakni 18 tahun.
Empat hari sebelum memasuki usia 19 tahun Castro mencetak gol pertamanya bagi Uruguay di laga eksibisi melawan Cile. Saat itu Uruguay menang 2-1.
Tetap konsisten membuat Castro jadi langganan timnas.
Gelar Copa America pada tahun 1926 berhasil ia raih dimana dalam ajang itu ia mencetak enam gol.
Dua tahun berselang dalam ajang Olimpiade di Amsterdam, Belanda, Uruguay juga dibawanya meraih emas.
Gelaran Piala Dunia pertama pada 1930 yang berlangsung di negerinya sendiri menjadi puncak karier Castro.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini - Mengenang Jules Rimet, Anak Pedagang Pencetus Piala Dunia)
Mencetak dua gol di ajang tersebut, Castro menjadi pencetak gol terakhir saat Uruguay melumat Argentina 4-2 di final.
Piala Dunia berhasil diraihnya, juga diikuti prestasi lainnya di tahun-tahun berikutnya.
Sempat mencicipi Liga Argentina selama setahun bersama Estudiantes pada 1932, Castro kembali ke Nacional pada 1933.
Di klub lamanya itu ia memenangi Liga Uruguay pada tahun 1933 dan 1934.
Castro juga termasuk dalam skuat saat Uruguay meraih juara Copa America pada 1935.
Pensiun sebagai pemain pada 1936, Castro beralih menjadi pelatih pada 1939.
Bersama Nacional yang dilatihnya ia meraih empat kali gelar juara beruntun Liga Uruguay pada 1940 sampai 1943 ditambah satu gelar pada 1952.
Sayangnya tirai kehidupannya harus ditutup lebih cepat di usia 55 tahun.
Pada tahun 1960 pemain difabel pertama dalam sepak bola itu menutup usia karena serangan jantung.
A post shared by BolaSport.com (@bolasportcom) on