Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Egy Maulana Vikri dan Status Wonderkid Sepak Bola Indonesia: Harus Belajar dari Kejadian Masa Lalu

By Andrew Sihombing - Kamis, 18 Oktober 2018 | 16:33 WIB
Selebrasi gelandang tim nasional U-19 Indonesia, Egy Maulana Vikri, seusai membobol gawang Malaysia pada semifinal Piala Asia U-19 di Stadion Gelora Delta Sidorajo, Kamis (12/7/2018). ( SUCI RAHAYU/BOLASPORT.COM )

Kamis (18/10/2018), timnas U-19 Indonesia akan melakoni laga perdana Piala Asia U-19 2018. Tiket ke semifinal dijadikan bidikan demi lolos ke Piala Dunia U-20 tahun depan.

Di antara seluruh awak Garuda Muda yang akan mengawali mimpinya itu, adalah Egy Maulana Vikri yang akan jadi sorotan terbesar. Pemain asal Medan, Sumatera Utara, yang baru berusia 18 tahun tersebut disebut-sebut sebagai wonderkid alias anak ajaib sepak bola Indonesia saat ini.

Okelah, sorotan terhadap Egy tak akan bisa dihindarkan, terlebih mengingat statusnya sebagai pemain milik klub Polandia, Lechia Gdansk. Tetapi, timnas U-19 Indonesia sebenarnya punya sejumlah pemain dengan talenta hebat.

Sebut saja di antaranya Witan Sulaeman, Nur Hidayat Haji Harris, Rachmat Irianto, hingga Saddil Ramdani. Pemain yang disebut terakhir, sebagaimana penuturan pelatih karteker timnas Indonesia, Bima Sakti, membuat Luis Milla kepincut.

(Baca Juga: Piala Asia U-19 2018 - Berharap kepada Egy Sekaligus Menanti Pancaran Bintang Selanjutnya)

(Baca Juga: Timnas U-19 Indonesia, Egy Maulana Vikri Ungkap Pesan dan Doa yang Dititipkan Pelatih Lechia Gdansk)

"Milla pernah mengatakan pada saya bahwa seandainya saja menemukan Saddil dalam usia 13 tahun, ia pasti akan membawanya ke La Masia," ujar Bima beberapa waktu lalu.

Potensi sepak bola Indonesia memang tengah menggeliat. Selain di level U-23 dan U-19, timnas U-16 Indonesia asuhan Fakhri Husaini pun dihuni sejumlah bakat besar yang punya kans menjadi pesepak bola top di kemudian hari.

Masalahnya, sejarah Indonesia juga dipenuhi dengan fakta bahwa tak sedikit wonderkid yang akhirnya meredup sebelum potensinya bisa meledak sepenuhnya.

Syamsir Alam, Alan Martha, Irvin Museng, Febrianto Wijaya, Yongki Aribowo, Zainal Haq, Mahadirga Lasut, Rasyid Bakri, Ambrizal Umanailo, hingga Egi Melgiansyah adalah beberapa di antaranya. 

Daftarnya kian panjang bila garis sejarah ditarik lebih ke belakang. Eks gelandang Persija dan timnas Indonesia, Imran Nahumarury, misalnya, menyebut bahwa salah satu talenta terbesar di timnas Baretti yang dikirim berguru ke Italia ialah Haryanto "Tommy" Prasetyo. 

"Pemain sekelas Bima Sakti bahkan bisa menjadi cadangan karena adanya Tommy, juga lebih baik dibandingkan Ponaryo Astaman," ucap Imran membandingkan mantan rekannya dengan dua eks gelandang yang juga kapten timnas Indonesia tersebut.

"Tommy bagus dalam membaca permainan, pemilihan waktu serta kemampuan bola matinya juga oke. Tetapi, dia perlahan menghilang juga. Mungkin lingkungannya yang tidak memungkinkan berkembang, apalagi sering terpengaruh ajakan orang lain untuk keluar malam," katanya.


Egy Maulana Vikri dalam sesi latihan bersama skuat Lechia Gdansk di Stadion Energa, Gdansk pada Senin (24/7/2018) sore waktu setempat. ( Lechia.pl )

Tristan Alif

Bahkan ada juga yang terancam layu saat masih berupa tunas baru. Enam tahun silam, Indonesia digegerkan oleh aksi-aksi olah bola memukau seorang bocah cilik bernama Tristan Alif Naufal yang tersebar di dunia maya.

Pelatih Barcelona dan Manchester City, Pep Guardiola, bahkan mengaku terkesan dengan kemampuan Tristan.

"Dia memiliki kemampuan kaki kanan-kiri sama baiknya dan itu jarang dijumpai," ujar Pep saat berkunjung ke Indonesia enam tahun lalu seperti dikutip dari Kompas.com.

Tetapi, seperti diceritakan Yeyen Tumena di Forum Diskusi BOLA tahun lalu, Tristan belakangan seperti sudah muak dengan sepak bola dan si kulit bundar.

"Ada pihak-pihak yang mengeksploitasi Tristan secara berlebihan. Ini yang menyebabkan dia seperti sudah bosan dengan sepak bola," kata eks bek tengah PSM Makassar dan timnas Indonesia tersebut.

"Saat pertama bertemu ketika diminta bantuan untuk kembali menyemangatinya, Tristan bahkan tidak menyambut bola yang saya gulirkan ke arahnya," ujar Yeyen.


Tristan Alif bersama Duta Besar Republik Indonesia untuk Spanyol, Yuli Mumpuni Widarso, di Wisma Duta KBRI.(ISTIMEWA)

Menurut Yeyen, butuh waktu cukup lama untuk sekadar mengembalikan mood Tristan bermain bola. Agustus lalu, bocah yang sempat merapat ke Barito Putera itu tampil dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta.

"Cita-cita saya adalah menjadi pemain bola dunia yang membanggakan Indonesia dan membawa Indonesia ke Piala Dunia," ujar anak lelaki kelahiran 12 Desember 2004 yang sempat dijuluki Lionel Messi (dari) Indonesia itu.

(Baca Juga: Timnas U-19 Indonesia Vs Taiwan - Duel Egy Maulana Vikri Melawan Pemain Liga Inggris)

Ambisi dan Ekspektasi

Imran menyebut ada beberapa faktor yang menyebabkan pemain muda bertalenta hebat akhirnya tak bisa mewujudkan potensinya. 

"Faktor pertama adalah lingkungan dan gaya hidup. Ada beberapa kasus di mana performa pemain berbakat luntur karena tidak mendapat dukungan dari keluarga, termasuk soal nutrisi, dan salah bergaul," ucap Imran. 

Sang pemain juga kerap langsung dibutakan oleh tawaran kontrak menggiurkan atau nama besar klub. Imran menyebut hal inilah yang misalnya terjadi pada Tommy dan Yandi Sofyan.


Striker Yandi Sofyan (kanan) jadi salah satu pemain yang dibawa pelatih Djadjang Nurdjaman untuk laga Persib kontra Barito Putera di Cibonong, Kabupaten Bogor akhir pekan ini. ( HERKA YANIS PANGARIBOWO/BOLA/JUARA.net )

Selepas dari timnas Baretti, Imran menyebut ia memilih bergabung dengan PSB Bogor karena mempertimbangkan kesempatan bermain. Namun, Tommy dan dua rekan lainnya, yakni I Made Suparta serta Trimur Vedayanto, memilih Pelita Jaya. 

"Mereka tidak mendapat kesempatan bermain karena Pelita Jaya waktu itu memiliki setumpuk gelandang hebat yang lebih senior, seperti Ansyari Lubis," ucap Imran. 

"Hal yang sama terjadi pada Yandi. Setelah dari Vise, dia dikejar sejumlah klub. Karena rasa cintanya, dia memilih Persib tanpa mempertimbangkan kesempatan bermain," ucap lelaki asal Tulehu tersebut. 

"Baru yang kemudian adalah faktor cedera, termasuk ketidakmampuan menjalani pengobatan yang butuh biaya mahal seperti dialami Zainal Haq. Dia ini pemain paling menonjol di tim SAD Indonesia yang berlatih di Uruguay dan sempat dipanggil berlatih ke tim senior Penarol," tutur Imran. 

Adapun Yeyen menyoroti faktor ambisi dari lingkungan, termasuk orangtua. Sang pemain juga disebutnya bisa kehilangan motivasi karena bakatnya sudah terbakar habis sejak kecil. 

"Ambisi orangtua, latihan yang berlebih hingga menyebabkan cedera akut, atau fakta bahwa sang pemain tidak ditangani oleh pelatih hebat adalah beberapa faktor penyebabnya," kata Yeyen. 

Sementara bek senior Persija, Maman Abdurrahman, menyoroti beban yang muncul seiring status wonderkid tersebut. 

"Salah satu penyebab adalah tingginya ekspektasi yang membuat sang wonderkid terbebani. Belum lagi bicara soal terpaan star syndrome yang membuat sang pemain merasa sebagai yang paling hebat dan pada akhirnya merasa puas," tuturnya. 

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P