Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Bergelut dengan depresi berkepanjangan, tanggal 10 November 2009 menjadi akhir kisah hidup pesepak bola Jerman, Robert Enke.
Pria kelahiran Jena, Jerman Barat, 24 Agustus 1977 yang berkarier di posisi kiper itu mengakhiri hidupnya sendiri pada usia 32 tahun.
Enke memulai karier profesionalnya pada 1995 di Carl Zeiss Jena pada musim 1995-1996.
Ia mengawali debut profesional melawan klub masa depannya, Hannover 96 di ajang Bundesliga 2 pada 11 November 1995.
Hanya bermain sebanyak tiga kali dalam semusim, Enke memilih cabut ke klub divisi utama Borussia Moenchengladbach pada akhir musim.
Dua musim merumput bersama M'Gladbach U-23 Enke mendapat pelajaran dari kiper nomor satu klubnya Uwe Kamps, puncaknya talenta yang dimilikinya tercium timnas Jerman U-21 pada 1997.
Enke pun mendapatkan kesempatan main saat Kamps cedera.
Laga melawan Schalke 04 pada 15 Agustus 1998 menjadi laga perdananya di Bundesliga Jerman dimana timnya menang 3-0 dan duduk di puncak klasemen sementara.
Pada Juni 1999, Enke mencoba peruntungan di klub Portugal, Benfica.
Mendapat kontrak tiga tahun, Enke yang menurut buku "A Life Too Short: The Tragedy of Robert Enke" mempunyai riwayat serangan panik menjadi salah satu dari empat kiper Benfica.
Dalam tiga tahun Benfica berganti tiga kali pelatih dan pernah finis di posisi terenda (enam) tanpa memenangkan trofi.
Meski begitu, performa Enke dipuja fan, sampai-sampai ia menjadi incaran sejumlah klub tenar seperti Arsenal, Atletico Madrid, dan Manchester United.
Benfica yang sedang dalam keadaan susah di segi finansial sehingga pembayaran gaji yang sering telat membuat Enke angkat kaki ke klub Spanyol, Barcelona pada 2002.
Menjadi kiper Barcelona membuat kariernya mandek.
Enke mesti bersaing dengan dua kiper lain, yakni Roberto Bonano dan Victor Valdes.
Gelar "keadaan kiper paling sulit seantero Eropa" pun disematkan pada Enke karena sulitnya menembus posisi inti.
Debut Enke diserahkan pelatih Louis van Gaal kala Barcelona melawan Novelda CF di ajang Copa del Rey pada 11 September 2002.
Kalah 2-3 dari penghuni kasta ketiga Liga Spanyol, enke mendapat kritikan dari rekan setimnya Frank de Boer.
Pada 2003, Barcelona yang ditangani Frank Rijkaard membuat Enke lebih terpinggirkan.
Kiper dengan tinggi 186 centimeter dipinjamkan ke klub Turki, Fenerbahce pada 2003 dan klub spanyol, Tenerife di tahun berikutnya.
Gagal bersinar di luar Jerman membuat Enke pulang kampung.
Pada Juli 2004 Hannover 96 menjadi pelabuhan baru sekaligus terakhirnya.
Penampilannya di Hannover stabil meski tak ada gelar bergengsi di level tim yang berdatangan padanya.
Menjabat sebagai kapten mulai musim 2007-2008, Enke yang pernah dipanggil timnas Jerman senior kembali mendapat kepercayaan.
Sejak berkiprah di timnas, Enke memang sulit menggeser Oliver Kahn di bawah mistar gawang Tim Panser.
Usai Kahn pensiun, Enke masih berada di bayang-bayang eks kiper Arsenal Jens Lehmann.
Saat Lehmann pensiun pada 2008, Enke berkesempatan menjadi kiper utama walau sayangnya ia terjangkit infeksi bakteri yang membuatnya batal unjuk gigi pada September dan Oktober 2009.
Pengujung akhir tahun 2009, menjadi akhir kisah Enke yang mempunyai depresi berkepanjangan karena ditinggal putri kecilnya.
Buah hati hasil pernikahannya dengan Teresa Reim, Lara, meninggal pada usia dua tahun karena terjadi komplikasi di jantungnya pasca operasi kelainan jantung di tahun 2006.
Meski mengadopsi bayi perempuan, Leila, pada Mei 2009, depresi Enke belumlah terobati.
Ia pun mengakhiri hidupnya dengan membiarkan dirinya ditabrak kereta di kota Neustadt am Ruebenberge.
Sangatlah tragis, mengingat Enke di tahun itu baru saja menyandang kiper terbaik musim 2008-2009 Liga Jerman dan termasuk dalam skuat timnas untuk Piala Dunia 2010.
Diungkapkan agennya yang merupakan teman dekat Enke, Jorg Neblung gangguan psikologis memang dimiliki Enke dan diketahui pada 2002.
"Ia punya masalah yang sama di pagi hari di Barcelona; ketakutan saat bangun, takut gagal, panik, dan semuanya membuatnya jadi kuat. Kami melakukan terapi sejak saat itu," ujar Neblung dikutip BolaSport.com dari The Guardian.
Begitu juga yang dirasakan ayah Enke, Dirk, yang merupakan psikologis olahraga.
Dirk mengutarakan adanya banyak ketakutan dan gangguan mental yang dirasakan anaknya.
"Saaat menjalani fase-fase kritis, Roberti takut bola ditembakkan ke gawangnya."
"Saat kambuh, ia tak mau latihan, ia tidak bisa membayangkan berada di bawah gawang."
"Ia kemudian bertanya apakah saya akan marah padanya jika tidak bermain sepak bola, lantas saya jawab: 'Robert, itu bukanlah yang terpenting, tak akan diberkati'," jelas Dirk.
Pasca kejadian tragis yang menimpa Enke, suporter Hannover mengiringi kepergiannya.
Pada 15 November 2009, 40 ribu orang mengisi stadion AWD-Arena untuk melakukan testimoni akhir pada Enke.
Para pemain Hannover juga memasang nomor satu pada dada mereka sepanjang musim 2009-2010 untuk mengenang jasa mantan kipernya itu.
Asosiasi Persepakbolaan Jerman dibantu Hannover pun turut bergerak menghadapi situasi duka itu.
Mereka membuat yayasan untuk membantu pesepak bola yang menderita beban psikologis agar tak ada lagi Enke-Enke yang lain di sepak bola Liga Jerman.