Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Arsene Wenger, Mau Buru Trofi atau Cukup Jadi Guru?

By Syarif Maulana - Senin, 7 Agustus 2017 | 16:26 WIB
Manajer Arsenal, Arsene Wenger, tiba di Allianz Arena menjelang laga babak 16 besar Liga Champions kontra Bayern Muenchen, Rabu (15/2/2017). (CHRISTOF STACHE/AFP)

Ketika Arsene Wenger mulai menggeliat di bursa transfer musim panas ini, publik, seperti tahun-tahun sebelumnya, kerap bertanya: Apakah Wenger sedang ingin juara atau ingin membangun (lagi) pemain muda?

Penulis: Syarif Maulana

Sejak resmi diumumkan sebagai pelatih Arsenal pada 1 Oktober 1996 (21 tahunmelatih The Gunners), koleksi trofi Wenger sebagai juara Liga Premier Inggris memang terbilang minim untuk ukuran membesut tim papan atas: tiga kali.

Terakhir kali Arsenal dibawanya menjadi juara adalah tahun 2004.

Publik yang rindu akan gelar juara, mungkin masih memaafkan Wenger karena dua hal: Permainan Arsenal yang atraktif dan memikat, serta kenyataan bahwa Wenger adalah guru yang hebat.

Demikian hebatnya guru tersebut, hingga ketika pertama kali ia datang ke tempat latihan pada 1996, Tony Adams, kapten Arsenal, mengatakan dengan penuh nada sinis, “Ia datang dengan menggunakan kacamata. Lebih mirip guru sekolah daripada pelatih sepak bola.”

Baca Juga: Ini 5 Pemain Asia Termahal Sepanjang Sejarah

Wenger memang serba menggurui sedari awal.

Kebiasaan minum alkohol yang merajalela di kalangan pemain dengan keras ia larang.

Wenger juga merombak kebiasaan makan pra-pertandingan para pemain yang biasa menyantap daging merah dan junk food, menjadi daging ayam rebus dan pasta.

Wenger datang ke Arsenal seperti seorang guru yang tidak hanya berusaha memberikan pelajaran, tapi juga menertibkan anak-anak bengal.

Sadar bahwa tidak semua pemain – terutama yang senior- suka dengan gayanya, Wenger kemudian lebih banyak membina pemain muda.

Bagi sang guru, lebih mudah membentuk anak dari kelas 1 SD daripada mengubah kebiasaan anak kelas 6 SD.

Di awal-awal masa kepelatihannya, ia merekrut sejumlah pemain meragukan seperti Patrick Vieira, Nicolas Anelka, dan Emmanuel Petit;.

Ia juga mempromosikan pemain dari akademi sendiri, Ray Parlour; dan merekrut sejumlah pemain terkenal tapi bukan kelas satu, seperti Nwankwo Kanu dan Marc Overmars.

Kepelatihan ala “guru” yang diterapkan Wenger kemudian mulai menemui hasil bagi para pemain “nanggung” tersebut.


Legenda Arsenal, Ray Parlour, dalam sesi foto bersama fans di Toko Puma, Mal Kota Kasablanka, Jakarta, Sabtu (29/4/2017).(SEM BAGASKARA/BOLA/JUARA.NET)

Vieira, di usianya yang baru 22 tahun, sudah menjadi bagian dari skuad Prancis yang memenangi trofi Piala Dunia 1998.

Petit memang sudah berusia 28 tahun ketika ikut serta bersama Les Bleus pada 1998.

Tapi Wenger membantu transformasi permainannya dari yang semula bek untuk lebih maju menjadi gelandang bertahan.

Arahan Wenger berhasil. Petit mencetak gol dua kali di pentas terbesar sepak bola tersebut, satu lewat tendangan jarak jauh dan satu lagi lewat solo run yang monumental di partai final – yang mungkin sulit dilakukannya dari posisi bek-.

Anelka tidak perlu diragukan lagi.

Dibesut Wenger dari usia delapan belas, Anelka menjadi mesin gol dalam dua tahun karirnya di Highbury (stadion Arsenal waktu itu).

Parlour tidak kalah berhasil diorbitkan.

Ia bertahan dua belas tahun, memainkan 339 pertandingan liga bersama The Gunners, dan mencicipi 10 caps bersama timnas Inggris.

Dengan pemain-pemain hebat tersebut – plus pembelian Thierry Henry, Fredrik Ljungberg, dan Robert Pires-, Arsenal sukses meraih tiga gelar juara di musim 1997-1998, 2001-2002, dan 2003-2004.

Setelah gelar juara yang terakhir tersebut, Wenger seolah enggan menjadi juara lagi.

Vieira dilepas ke Juventus, Anelka ke Madrid, Henry ke Barcelona, Pires ke Villareal, dan Ljungberg ke West Ham United.

Baca Juga: 5 Alasan Chelsea Masih Bisa Juara Liga Inggris

Wenger mencoba memulai kembali pembinaannya dengan membesut Cesc Fabregas, Mathieu Flamini, Theo Walcott, Gael Clichy, Samir Nasri dan Alex Song.

Namun, sebelum Arsenal meraih kesuksesan, pemain-pemain tersebut – kecuali Walcott- sudah dijual di masa emasnya. Fabregas dan Song ke Barcelona, Flamini ke Milan, Clichy dan Nasri ke Manchester City.

Jika Wenger terus melakukan kebiasaan tersebut, wajar jika para pendukungnya terus bertanya-tanya: Wenger ini, ingin juara, atau hanya membangun pemain muda?

Pertanyaan yang Sama Untuk Musim Ini

Usia Wenger sudah 67 tahun dan kontraknya tinggal dua tahun lagi.

Ini bisa diartikan, Wenger berada pada masa-masa akhir karirnya di Arsenal. Jika menengok pada komposisi skuad sementara The Gunners musim depan, kita tidak terlalu melihat pemain-pemain dengan usia yang terlalu belia.

Pemain inti yang paling muda mungkin hanya Alex Oxlade-Chamberlain yang berusia 23 tahun dan Hector Bellerin yang berusia 22 tahun.

Sisanya, bisa dikatakan, ada di usia matang seperti Theo Walcott (28 tahun), Alexis Sanchez (28), Danny Welbeck (26), Mesut Ozil (28), Aaron Ramsey (26), Francis Coquelin (26), Laurent Koscielny (31), Skhodran Mustafi (26), Kieran Gibbs (27), Gabriel Paulista (26), dan lainnya.

Pemain baru yang didatangkan pun memang termasuk muda, tapi tidak terlalu “hijau” seperti Sead Kolasinac (24) dan Alexandre Lacazette (26).

Secara umum, dalam sebuah situs disebutkan bahwa Arsenal ada pada rata-rata usia yang sangat baik yaitu 26,9 tahun.

Apa arti dari data tentang usia di atas? Mungkin Wenger sadar.

Ia bukan lagi harus menjadi guru yang baik untuk membina para pemainnya di masa depan.

Sekarang saatnya menunjukkan pada publik bahwa ia juga adalah pelatih jempolan yang mampu meracik strategi untuk masa kini.

Wenger tidak bisa lagi berkelit mengatakan bahwa, “tidak apa-apa tidak juara di musim ini, yang penting para pemain akan menjadi pemain hebat di masa depan.”

Publik sudah bosan dengan alasan tersebut dan ingin agar Wenger menuntaskan akhir karirnya di Emirates dengan menyumbang trofi. Klub sedang diisi oleh para pemain di usia emasnya. Lantas, tunggu apalagi?

Wenger adalah seorang penganut Katolik Roma yang taat.

Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Rob Harris pada tahun 2013, Wenger sempat mengungkapkan tentang bagaimana ia dibesarkan dalam tradisi keagamaan yang kuat.

Nilai-nilai keagamaan itu juga ia terapkan pada tim yang ia latih. Baginya, sepakbola adalah juga tentang “melayani umat” dan penanaman nilai-nilai luhur.

“Saya selalu tekankan,” kata Wenger, “Jangan main untuk uang. Lupakan uang. Mainlah untuk pengalaman yang nyata. Buatlah permainan yang bernilai baik untuk diri kalian maupun untuk publik.”

Baca Juga: Trio MSN Bubar, Trisula MSG Siap Mengudara di Barcelona

Filosofi Wenger selalu dijalankan oleh para pemain Arsenal. Wenger menciptakan sepak bola menghibur dan sarat nilai.

Sekarang tinggal bagaimana Wenger, di akhir masa kepelatihannya, bersikap pragmatis tanpa perlu meninggalkan nilai-nilai yang ia adopsi dari kepercayaan religiusnya.

Wenger harus mulai memainkan sepak bola yang “ingin menang”, bukan hanya dengan bumbu-bumbu operan dan kecepatan memikat tanpa punya arti apa-apa jika pulang tanpa membawa poin.

Kalau pun di akhir cerita, Wenger menang dengan taktik-taktik pragmatis, toh ia tetap “melayani umat”, dengan kebahagiaan meraih trofi.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P