Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
DINI hari itu, Sabtu (12/7/2017), akun Instagram Carmen Rowena memberikan like untuk sebuah unggahan dari Bali United.
Tertulis "Welcome to Bali United" serta tercantum foto Stefano Lilipaly, suami Carmen, di unggahan tersebut.
Saya langsung mengirimkan pesan Whatsapp kepada CEO Bali United Yabes Tanuri, "Pak, maaf mengganggu dini hari. Itu di Instagram Bali United betul?"
Yabes membalas, "Menurut Mas Anju? Tetapi, saya tidak mau memberikan komentar dulu ya. Takut salah. Tunggu saja jumpa pers."
Unggahan di akun Bali United tentu bersifat resmi. Namun, saya tetap saja memendam keraguan sehingga menanyakan langsung kepada Yabes Tanuri.
Maklum, saat itu, saya menggunakan sudut pandang karier seorang pesepak bola.
Dengan segala hormat kepada para petinggi di PT Liga Indonesia Baru (LIB), masa iya Lilipaly rela turun kasta dari Eerste Divisie, kasta kedua Liga Belanda?
Ingat, bersama SC Cambuur, Lilipaly hampir mendapatkan tiket promosi ke Eredivisie alias tingkat tertinggi musim lalu.
Kontribusi pemain berdarah Maluku itu juga sungguh vital, terlibat dalam gol Cambuur setiap 90,2 menit atau lebih efektif ketimbang top scorer klub, Sander van de Streek.
Bukankah tidak ada salahnya mencoba sekali lagi merebut tiket promosi bersama Cambuur?
Ada pemain Indonesia yang tampil di level tertinggi Liga Belanda dan melawan pemain top seperti John Heitinga, bukankah itu lebih membanggakan sepak bola kita?
Dengan perspektif seperti itu, mungkin sebagian besar pecinta sepak bola Indonesia mengira bahwa Lilipaly kurang ambisius.
(Baca Juga: Penyesalan Para Fan atas Kembalinya Stefano Lilipaly Bermain di Liga Indonesia)
Cuma, Lilipaly memiliki "kacamata" berbeda, yakni keluarga.
"Selalu menjadi impian istri saya untuk pergi ke Indonesia. Kini, kami sudah memiliki bayi. Inilah saatnya atau tidak sama sekali," kata Lilipaly.
Bukanlah kali pertama Lilipaly menggunakan perspektif keluarga.
Demi Carmen pula, dia menunda keberangkatannya untuk mengikuti uji coba tim nasional (timnas) Indonesia pada Juli 2017.
"Saya tidak ingin melewatkan kelahiran bayi pertama kami," tutur Lilipaly terkait anaknya yang akhirnya diberi nama Jax Elion.
Kalau melihat sepak bola di atas keluarga, Johan Cruyff pasti membela timnas Belanda pada Piala Dunia 1978.
Belanda mungkin juga sudah memenangi Piala Dunia, trofi yang menjadi alpa buat mereka hingga kini.
Sama seperiti Lilipaly di Cambuur, Cruyff adalah protagonis utama tim beralias De Oranje pada 1970-an.
Berkat sumbangan dua golnya, Belanda hampir menjuarai Piala Dunia 1974.
Lantas, mengapa Cruyff tidak mencoba sekali lagi empat tahun berselang dan malah menyatakan mundur dari timnas menjelang turnamen?
Tanpa Cruyff, Belanda kalah 1-2 dari tuan rumah Argentina pada final edisi 1978
Cruyff menjadi "kambing hitam" atas kekalahan Belanda.
"Jika dia bermain, mungkin ada sedikit perbedaan. Kami mungkin bisa mengalahkan Argentina bukan dengan skor 3-2, tetapi 7-2," tutur jurnalis asal Belanda, Marteen Wijffels.
Persoalannya ternyata tidak cuma menyangkut kebahagiaan keluarga seperti halnya Lilipaly, tetapi juga nyawa anak dan istri Cruyff.
Selang 30 tahun setelah turnamen tersebut, Cruyff buka-bukaan tentang alasan di balik keputusannya.
Sosok misterius mendatangi kediamannya dan memberikan ancaman. Kalau Cruyff berangkat ke Piala Dunia, keluarganya bakal dibunuh.
"Anda harus mengetahui bahwa seseorang menodongkan senapan ke kepala, mengikat saya, dan istri di depan anak-anak di rumah saya di Barcelona," kata Cruyff dalam wawancara bersama Radio Catalunya.
Belajar dari kasus Lilipaly dan Cruyff, puncak karier dan keluarga kadang tidak bisa berada di satu jalur.
Mungkin ada momen seperti yang dikatakan Richard Matheson dalam buku berjudul "Collected Stories", "Pada akhirnya, seorang pria harus memilih, mengabdikan hidup untuk pekerjaan atau istri dan anaknya?"
Dan, buat Anda, masih adakah yang terkadang lupa keluarga karena sibuk bekerja?