Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pada era 1990-an, sepak bola Italia mengenal Le Sette Sorelle, Tujuh Bersaudara. Julukan itu diberikan kepada Inter Milan, Juventus, AC Milan, AS Roma, Parma Calcio, ACF Fiorentina, dan SS Lazio.
Istilah itu muncul karena tujuh besar klasemen Liga Italia alias Serie A biasanya dikuasai oleh tim tersebut.
Tak hanya di kompetisi domestik, mereka juga bersaing di kompetisi antarklub Eropa.
Faktanya, kecuali Roma dan Fiorentina, kelima klub lain bisa menguasai kompetisi Eropa pada era tersebut, baik di ajang Liga Champions, Piala UEFA atau Piala Winner.
Kelima klub tersebut saling bergantian menjadi kampiun, terutama di ajang Piala UEFA.
Pada 1990-an, pesepak bola top dunia berlomba-lomba bermain di Italia melihat tingginya level persaingan.
Ketujuh klub itu memang merupakan pesaing juara.
Bukan hal aneh di belakang tujuh klub "bersaudara" itu dimiliki oleh famiglia kaya lokal.
Juventus dimiliki keluarga Agnelli, Milan oleh Berlusconi, Inter oleh Moratti, Fiorentina oleh Cecchi Gori, Roma oleh Sensi, Parma oleh Tanzi, dan Lazio oleh Cragnotti.
Para kepala "keluarga" itu yang membuat klub-klub tersebut sanggup mendatangkan pemain top berkat suntikan uang pribadi atau dari uang perusahaan yang mereka miliki.
Lazio bersama Sergio Cragnotti menjelma menjadi klub top sejak sang bos besar datang pada 1992.
Puncaknya tentu ketika mereka menjuarai Serie A pada 2000.
Gelar itu sangat mereka idamkan mengingat terakhir kali juara pada 1973-1974.
Nama-nama top menghuni skuat Sang Elang Muda saat itu: Sinisa Mihajlovic, Alessandro Nesta, Diego Simeone, Juan Sebastian Veron, Pavel Nedved, Dejan Stankovic, Marcelo Salas, Roberto Mancini, dan juga pelatih Lazio saat ini, Simone Inzaghi.
Hanya, model bisnis yang mengandalkan kekuatan finansial Il Capofamiglia, sang kepala keluarga, atau Don dalam bahasa mafia, akhirnya tidak bertahan lama.
Salah satu klub yang menderita adalah Lazio.
Klub nyaris bangkrut gara-gara perusahaan Cragnotti, Cirio, terlilit utang besar akibat sang presiden menginjeksi uang ke Lazio!
Era Baru
Pada 2004, datanglah pengusaha lokal, Claudio Lotito, sebagai penyelamat.
Ia benar-benar menerapkan kebijakan pengetatan ikat pinggang dari sisi finansial.
Pembatasan gaji, dan penjualan pemain-pemain top, membuat Lazio berada di masa kegelapan.
Kebijakan tak populis itu tidak mengenakkan, tetapi penting demi menyehatkan klub.
Tak heran bila setelah menjadi juara pada 2000, posisi Lazio lebih sering berada di papan tengah.
Setelah menjalani beberapa musim penuh turbulensi, model bisnis yang dibawa Lotito perlahan membawa Sang Elang Muda kembali rutin finis di papan atas.
Progres signifikan Lazio terlihat dalam enam musim terakhir.
Walau belum konsisten, tampak usaha Gli Aquilotti agar kembali berstatus sebagai tim papan atas Serie A.
Cara yang dilakukan tetap sederhana ala Lotito, bukan Cragnotti.
Lazio bergerak sesuai dengan kekuatan finansial yang mereka punya.
Barangkali, saat mayoritas klub belum mengadopsi aturan Financial Fair Play UEFA yang baru nongol sekitar sewindu lalu, Lazio sudah terbiasa melakukannya.
Musim ini, Lazio bersama Simone Inzaghi mencoba mengonfirmasi status mereka sebagai tim papan atas Italia.
Setelah musim lalu finis di peringkat lima dan mendapat tiket ke Liga Europa, di 2017-2018, Lazio kini bertekad finis di tempat yang lebih baik.
Awalan Ciro Immobile dkk sudah sangat baik.
Tim berwarna kebesaran biru muda itu bisa mengalahkan Juventus 3-2 di ajang Piala Super Italia pada Agustus silam.
Lazio juga menang meyakinkan 4-1 atas tim terboros Italia di bursa pemain musim panas 2017, AC Milan, pada pekan ke-3.
Bila konsisten, bukan tak mungkin mereka bisa menyaingi prestasi sang pelatih saat masih menjadi pemain pada 2000, yakni menjadi kampiun Serie A.
Ambisi muluk bagi klub ibu kota Roma tersebut, tetapi jangan dulu hapus Lazio dari peta persaingan.
(Naskah ini bisa juga dibaca di Tabloid BOLA edisi 2.802 yang terbit Selasa, 19 September 2017)