Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Nama Choirul Huda saat ini menjadi simbol interpretasi cinta serta kesetiaan yang menancap dalam buku hikayat perjalanan sepak bola Indonesia.
Meninggalnya Choirul Huda merupakan sebuah pukulan telak bagi publik sepak bola Indonesia, terkhusus Persela serta masyarakat Lamongan.
Sebab, Choirul Huda adalah Persela, Persela adalah Huda, begitulah term alias istilah yang tertanam dalam setiap insan jika membicarakan dua elemen itu.
Saya ingat betul bagaimana sekelumit kisah (pedih) yang saya rasakan ketika ingin menjabat tangan penjaga gawang asli berdarah Lamongan itu.
Kendati tak begitu syahdu, hikayat ini teramat saya kenang. Dinamika alur cerita demi bersanding dengan Huda tak mungkin saya lupakan.
Waktu itu bermula kala lawatan Persela Lamongan ke markas Singo Edan untuk melanjutkan perjuangan di babak delapan besar ISL musim 2014.
Menjelang laga, tim Laskar Joko Tingkir mempunyai jadwal merumput di Stadion Gajayana, Malang, untuk memadukan kekuatan serta kekompakan.
Saya, yang saat itu masih menjadi pemburu ijazah di salah satu perguruan tinggi di Kota Malang, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Choirul Huda adalah satu dari tiga penjaga mistar Indonesia yang paling saya puja. Selain Hendro Kartiko dan Kurnia Meiga.
Selain performa, kesetian Choirul Huda pada Persela yang (bagi saya) tak mungkin ditaklukkan oleh pesepak bola Indonesia lain, hati saya juga menoleh cepat pada sosok pangeran agung penguasa ibu kota Italia, Fransesco Totti.