Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Dorna Sport dikabarkan ingin mencari pengganti Valentino Rossi sebagai ikon Yamaha, sebuah tugas besar sang promotor untuk kelangsungan seri balapan ini di masa depan.
Pasalnya, nama Valentino Rossi sudah mendarah daging pada sekian keturunan pecinta balap MotoGP di seluruh dunia.
Pada beberapa daerah di Indonesia, kita masih banyak mendengar sebutan "nonton Rossi" untuk sebuah ajakan menonton perlombaan MotoGP.
Bagaimana tidak, pebalap yang dijuluki The Doctor itu adalah satu-satunya pebalap aktif tersisa yang paling lama memacu kuda besi hingga saat ini.
Sejak debutnya pada musim 1996 bersama tim Scuderia AGV Aprilia di kelas 125 cc, berarti terhitung sudah 21 tahun Rossi melakoni balapan Moto.
Sang pebalap bahkan telah 17 tahun membalap pada kelas Premier, atau kita sebut kelas MotoGP saat ini, sejak bergabung dengan Nastro Azzuro Honda di tahun 2000.
Tidak, kita tidak akan membahas bagaimana Rossi mendapatkan sembilan kelas di berbagai gelar, bukan itu.
Jika kita mengacu pada konsep "syariat-tarekat-hakikat-makrifat", menurut saya hal-hal mengenai juara dunia milik Rossifumi atau mengenai berapa kali berpindah tim, Anda masih melihat Rossi dan MotoGP dalam level Syariat.
(Baca Juga: Ketika Casey Stoner Berkata kepada Valentino Rossi: Ambisimu Melebihi Bakatmu!)
Konsep Syariat merupakan konsep dengan aturan baku yang tak dapat diubah, semacam kalau seorang pebalap mengumpulkan poin terbanyak, ia akan menjadi juara dunia.
Aturan main seperti itu telah dicatatkan dengan baku. Rossi, bisa dibilang, sudah satu tingkat di atas Syariat dalam jagad MotoGP.
Jelas jika Rossi bisa melekat menjadi "ikon" milik MotoGP karena ia punya hal-hal yang lebih besar dari seorang pebalap atau seorang juara dunia.
Kita masuk ke satu level di atas, Tarekat, level dimana seseorang memiliki "amaliah-amaliah" lahir dan batin bagi sebuah kepercayaan.
Dalam kasus ini, pebalap dengan julukan The Doctor ini sudah masuk tingkatan Tarekat.
Meminjam istilah penulis kondang, Edi AH Iyuhbenu, dalam suatu artikel, Rossi telah "menghibahkan impresi-impresi investatif" bagi MotoGP.
Anda kira, mengapa Valentino Rossi dijuluki The Doctor?
Karena Rossi menggambarkan seorang 'The Doctor', sosok yang memiliki keahlian mumpuni di bidang tertentu.
Kata kunci di sini adalah keahlian mumpuni. Rossi dianggap ahli, tidak hanya dari gelar juara yang ia kumpulkan selama 21 berkarier menunggang motor balap.
Kita coba flashback ke musim 2011 dan 2012, Rossi memang terlihat (maaf) agak cengeng ketika memilih pindah ke Ducati.
Salah satu alasannya mungkin karena ia tak cocok dengan rekannya saat itu, Jorge Lorenzo.
Namun, orang-orang yang masih dalam level Syariat mungkin hanya melihat kegagalan Rossi bersama tim Desmosedici hingga musim 2012.
Padahal, bisa diperdebatkan kalau Rossi mewariskan sebuah formula bagi Ducati yang kentara terlihat selepas Nicky Hayden pergi, mulai era Andrea Ianonne dan Andrea Dovizioso bahkan mungkin hingga kini.
(Baca Juga: Valentino Rossi Membutuhkan Bantuan dari Jepang)
Tahun 2014 dan 2015, Dovizioso dan Ianonne secara berurutan bercokol di posisi kelima pada akhir musim, merobek stigma "hanya Casey Stoner yang bisa berjaya di Ducati pada masanya".
Ah, mungkin Anda tidak percaya hal tersebut karena tak ada bukti fisik bahwa Rossi mengamalkan data-data yang ia catatkan untuk memoles timnya menjadi sangat baik.
Maverick Vinales pernah berkata bahwa ia kehilangan sosok MotoGP dan mungkin akan menyulitkan dirinya ketika Rossi absen karena cedera, akhir Agustus lalu.
"Karena dia tahu motor dengan baik dan dia tau bagaimana membuat motor menjadi cepat. Bagi saya, itu lebih mudah ketika dia ada, karena saya bisa membandingkan data," ujar Vinales dikutip BolaSport.com dari situs Paddock-gp.
Kita tahu bahwa Rossi hobi mengecek data milik Johann Zarco ketika sang junior tampil lebih baik, atau mengulik dan turun tangan langsung menentukan formula sasis 2018 atau masalah soal ban belakang di motor Yamaha.
Apa yang dilakukan Rossi di dalam paddock adalah pengejawantahan bagaimana level Tarekat Rossi di MotoGP.
Apakah Rossi berhenti di level tersebut? Tentu tidak.
Peran Rossi bahkan harus dilihat dalam kacamata konsep "hakikat," dengan melihat bahwa Rossi adalah kebenaran MotoGP itu sendiri.
Atau ketika kita melihat dalam level hakikat, Rossi bukan lagi sebagai ikon MotoGP, namun VR46 adalah representasi MotoGP yang sebenarnya.
Kacamata hakikat ini terlihat ketika Rossi harus absen di seri MotoGP San Marino, awal September lalu.
Dilansir BolaSport.com dari situs forum penggemar MotoGP, motomazine.com, terdapat data bahwa rating MotoGP di televisi Indonesia turun ketika ketidakhadiran Valentino Rossi.
A post shared by RATING TV Indonesia (@rating_tv) on
A post shared by RATING TV Indonesia (@rating_tv) on
Penurunan rating ini banyak dikaitkan karena tak hadirnya Rossi di atas lintasan balapan karena cedera.
Ini diperkuat dengan tagar #NoRossiNoParty yang populer di Twitter pada saat gelaran MotoGP San Marino Berlangsung pada hari Minggu (10/9/2017).
(Baca Juga: Simak! Ini Kronologi Kecelakaan Valentino Rossi Yang Membuatnya Cedera)
Ada dan tidaknya Rossi dalam MotoGP sebenarnya sudah bisa menggambarkan bahwa Rossi telah menjelma sebagai MotoGP.
Hanya, wahdatul wujud Valentino Rossi dan MotoGP akan terlihat jika setiap orang memandang sang pebalap dari level makrifat.
Dalam dunia sufi, wahdatul wujud adalah pencapaian salik, tingkat tertinggi dan melebur bersama sang kuasa, seperti Siti Jennar dengan Manunggaling Kawula-Gusti-nya.
Rossi memberikan beberapa tanda kebesarannya melalui VR46 Bench di setiap sirkuit, atau sorotan berlebihan media setiap pra-musim dan kaitan untuk "dapatkan gelar ke-sekian-nya.
Namun, kebesaran Rossi sebagai ikon MotoGP sebenarnya lebih kompleks dari itu.
Sejak masuk ke kelas primer pada musim balap 2000, Rossi telah melewati pergantian kapasitas mesin berkali-kali, mulai 500 cc, 600 cc, 750 cc, 800 cc, 990 cc, dan 1000 cc.
Selain itu, tujuh gelar juara dunia direngkuh dalam 17 tahun berkarier memacu kuda balap dengan puluhan peraturan yang telah berubah.
Tiga kali masuk tim pabrikan, Honda, Ducati, dan Yamaha, bukan berarti sang pebalap coba-coba.
Ingat, semua alasan Rossi direkrut karena sang pebalap "dipercaya."
Rossi bahkan dicap sebagai "musuh berbagai kalangan", mulai dari Sete Gibernau, Max Biaggi, Kenny Robert Jr, Casey Stoner, almarhum Nicky Hayden, Dani Pedrosa, Jorge Lorenzo, hingga "anak" yang sedang moncer saat ini, Marc Marquez.
Namun, kecuali dengan Lorenzo, Rossi tak pernah "didakwa" bersalah oleh para mantan rivalnya.
Ketenaran dan profesionalismenya pun diakui oleh banyak pihak, termasuk saat dihujani pujian oleh pebalap Formula 1, Daniel Ricciardo, baru-baru ini.
"Ia 10 tahun lebih tua dari saya dan ada yang mengatakan bahwa jarak antara kemenangan pertamanya dan yang teranyar di Assen (saat F1 berada pada seri Azerbaijan) nyaris terpaut 21 tahun," tulis Ricciardo dikutip BolaSport dari laman web Red Bull.
"Kemenangan itu, dan jelas ia sudah meraih banyak sekali, adalah satu pencapaian tersendiri. Tapi bahkan dari sudut pandang fisik saja ia sudah menjadi sumber inspirasi," lanjutnya.
Tak hanya itu, Ricciardo pun mengakui bahwa apa yang dilakukan oleh Rossi adalah hal sulit jika dilakukan oleh orang lain.
"MotoGP merupakan olahraga yang menguras fisik termasuk mengenai cedera yang menghantui. Sungguh luar biasa Rossi masih bisa seperti sekarang, kembali berada di posisi-posisi atas klasemen," tuturnya.
(Baca Juga: Liverpool Vs Manchester United - Romelu Lukaku Buntu Lagi, Catatannya Masih Kalah Jauh dari Jamie Vardy)
Ricciardo juga memuji kekuatan mental Rossi dalam menghadapi hal-hal di luar balapan, termasuk lamanya perjalanan satu musim.
Begitulah Rossi yang sudah menyatu dengan MotoGP, telah terbukti sebagai pengendara berbagai pabrikan.
Meneladani Rossi berarti kita tahu bahwa MotoGP tak hanya sebuah balapan semata, ia adalah catatan tentang rivalitas, persahabatan, dan ikatan perasaan dengan para penggemar.
Jika Dorna Sport benar-benar ingin mencari ikon baru MotoGP, dalam diri Marc Marquez atau pebalap lainnya, tugas stakeholder MotoGP pastilah berat.
Kini kita tinggal menanti, sampai kapan kita bisa menikmati sensasi latest breaking, sliding, taking over, cornering, wet/dry race, hingga desain helm Valentino Rossi, sang maha besar.