Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Beberapa hari lalu, media Inggris ramai menulis perihal Emmanuel Eboue. Mantan pemain Arsenal itu buka mulut tentang depresi yang melandanya. Karier yang meredup dan serangkaian masalah pribadi memengaruhi kondisi mental pemain asal Pantai Gading tersebut.
Cerita Eboue lalu mengingatkan ke Robert Enke dan Gary Speed.
Enke, sosok yang sempat diplot jadi kiper Jerman bunuh diri pada 2009, sementara Speed, pelatih tim nasional Wales, ditemukan tewas gantung diri pada 2011.
Mereka kalah melawan penyakit yang kini tengah coba diatasi Eboue: depresi.
Kalau membaca wawancaranya di situs Mirror, tak ada yang menyangka Eboue akan berkutat dengan depresi.
Dia mengingatkan tentang persona yang dia tampilkan saat memperkuat Arsenal di era Invincibles.
“Semua orang mengenal saya sebagai sosok yang menyenangkan. Mereka selalu bilang ‘Emmnuel adalah sosok yang bahagia. Dia membawa suasana positif di mana saja.’ Bahkan ketika saya ada masalah, saya tak memberi tahu siapa-siapa,” kata Eboue.
Nyatanya, kepribadian cerah ceria seperti itu tak menghindarkan Eboue dari depresi.
Dia bukan satu-satunya pesepak bola yang pernah mengalami masalah serupa.
Survei FifPro menunjukkan bahwa 38 persen dari 607 pemain yang mereka wawancara memiliki masalah dengan kondisi mental mereka.
(Baca Juga: Eks Gelandang Persib Asal Paraguay Buka Suara Soal Eka Ramdani)
Pemain yang pernah mengalami cedera parah pun cenderung lebih rentan mengalami depresi.
Survey itu dilakukan sejak 2013 dan diluncurkan pada 2016. Artinya, cerita Eboue bukan cerita baru.
Masalah depresi juga bukan persoalan kasuistik alias hanya terjadi pada 1-2 orang seperti Eboue atau Enke.
Eboue pun bukan figur pesepak bola pertama yang buka mulut tentang isu kesehatan mental.
Chris Kirkland, mantan kiper Liverpool, memilih pensiun pada 2016 setelah bergulat dengan depresi dan gangguan kecemasan selama empat tahun.
(Baca Juga: Pecahkan 6 Rekor, Lionel Messi Ternyata Hanya Sekadar Jalan Santai saat Laga El Clasico)
“Saya tidak pernah terpikir mengakhiri hidup saya, karena teringat istri dan putri saya. Namun, saya tetap khawatir betapa dekatnya saya dengan keputusan itu. Akhirnya saya memutuskan berhenti bermain,” ujar Kirkland, seperti dikutip BolaSport.com dari The Guardian.
Banyak yang tak seberuntung Kirkland atau Eboue. Enke dan Speed adalah cerita yang bisa jadi pengingat (cautionary tale).
Data yang dilansir BolaSport.com dari WHO menunjukkan bahwa depresi adalah penyakit global. Tidak kurang dari 300 juta penduduk dunia mengalami penyakit ini.
Di tingkat terburuk, depresi bisa berujung ke kasus bunuh diri.
Dari 800 ribu kasus bunuh diri per tahun, bunuh diri adalah faktor penyebab kedua tertinggi, terutama di kelompok umur 15-29 tahun.
Stigma dan tekanan
Pada akhirnya, topik kesehatan mental dan depresi belum jadi isu prioritas di dunia sepak bola. Bukan apa-apa. Cara kerja industri sepak bola modern yang serba gerak cepat.
Semua klub selalu bisa mendapatkan pemain baru setiap ada pilar yang tampil tak maksimal.
Setiap pertandingan, setiap menitnya seperti jadi momen untuk mempertahankan diri di klub dan mempertahankan pekerjaan.
Padahal, depresi tak ubahnya seperti cedera ligamen, Achilles tendon, metatarsal, atau cedera-cedera lain yang kerap melanda pesepak bola; perlu penanganan medis kalau si pemain ingin bisa berfungsi seperti sedia kala.
Selain itu, sulit dibantah kalau ada stigma yang mengiringi topik ini: stigma bahwa kesehatan mental adalah hal yang tabu dan memalukan.
Belum keyakinan bahwa sepak bola adalah olahraga yang mengedepankan maskulinitas dan kekuatan.
Air mata dan emosi sepertinya hanya lumrah di momen-momen istimewa, seperti saat menang atau kalah di kompetisi penting.
Ucapan Eboue lagi-lagi jadi indikasi.
“Saya harus bicara soal ini karena saya melihat beberapa teman yang depresi. Mereka tidak mendapat dukungan yang semestinya dan hal itu berujung buruk untuk mereka,” ujarnya.
Dalam situasi demikian, status sebagai pesepak bola seperti tidak ada artinya.
“Kalau Anda tidak cukup kuat, uang tak ada artinya. Itu yang harus Anda pahami,” kata dia melanjutkan.
Di Indonesia?
Di beberapa negara maju di Eropa, seperti di Inggris dan Jerman, sudah mengambil langkah untuk mengatasi persoalan ini.
PSSI-nya Jerman, DFB dan Hannover 96, mantan klub Enke, mendirikan Robert Enke Stiftung, yaitu yayasan yang memfokuskan kampanye tentang kesehatan mental pesepak bola.
Istri mendiang Enke, Teresa, juga meluncurkan EnkeApp, aplikasi berisi informasi dan nomor darurat untuk membantu pencegahan bunuh diri.
Di Inggris, peran asosiasi pemain profesional PFA juga diharapkan naik untuk topik kesehatan mental dan pencegahan bunuh diri.
Lalu, bagaimana di Indonesia?
Kalau melihat kompleksnya permasalahan pengembangan prestasi sepak bola dalam negeri, mungkin persoalan ini (lagi-lagi) belum jadi prioritas.
Namun, seandainya kesadaran publik tentang topik kesehatan mental sudah lebih baik, bukan tidak mungkin, cepat atau lambat tema ini jadi perhatian baik di dunia olahraga maupun secara umum.
Masalahnya, sudah siapkah kita?