Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Selamat Tahun Baru pembaca! Semoga Anda selalu dilimpahi kesuksesan dan kebahagiaan di Tahun Baru ini.
Satu tahun lagi berlalu. Tahun 2017 memberi jalan bagi 2018.
Tentu saja, kita semua harus penuh harapan serta optimisme menghadapi tantangan dan kesempatan baru di tahun baru ini.
Berbicara optimisme, selalu menarik apabila membahas harapan para fans Manchester United terhadap Jose Mourinho.
Performa Setan Merah tidak buruk di liga dengan mereka mengungguli 18 tim lain di klasemen, hanya mengalami tiga kekalahan dari 22 laga liga.
Namun, jarak dengan pemuncak klasemen yang menjadi problema besar. Apalagi, tim di atas mereka adalah rival kesumat United, Man City.
Perbedaan 15 poin pada awal tahun jelas rapor merah bagi Mourinho yang gelontoran membeli pemain sejak menjadi nakhoda tim dua musim silam.
Problema tingkah laku Jose Mourinho di luar lapangan juga terkadang bikin kesal.
(Baca Juga: Serba-serbi Diego Costa - Debut, Cetak Gol, Cedera, Berantem!)
Ia selalu memasang siege mentality, bahwa dia dan timnya selalu berdiri sendiri menghadapi wasit, penyelenggara kompetisi, dan seluruh tatanan dunia.
Setiap sesi wawancara, bahkan dalam kemenangan, ia lalui dengan muka merengut.
Hal yang mungkin paling menjengkelkan bagi para fans Manchester United lawas adalah mentalitas yang ia bawa.
Jose tak lepas dari underdog mentality, memarkir bus apabila melawan tim lebih kuat.
Oke oke saja apabila FC Porto bertahan melawan Manchester United di Old Trafford pada Maret 2004.
Pun bermain bertahan dimaklumi ketika Inter Milan besutannya kehilangan Thiago Motta pada setengah jam laga leg kedua semifinal Liga Champions 2009-2010 kontra Barcelona di Camp Nou.
Tetapi, kurang cocok (menurut saya) jika tim sebesar Manchester United tidak bisa mengambil inisiatif serangan saat menjamu Manchester City di Old Trafford pada awal Desember lalu.
Di Old Trafford, Manchester United kalah possession, pass success, jumlah tembakan, tembakan tepat sasaran, sundulan, dan sepak pojok dari Man City.
Fan yang diwawancara kanal Youtube terkemuka milik fans Man United, FullTimeDevils, setelah laga itu berkata dengan kesal bahwa "We are Manchester F*** United. We don't let other teams tell us what to do!".
Ya, Manchester United tidak membiarkan lawan mendikte mereka di halaman belakang mereka sendiri.
Hal yang saya pelajari dari ketika belajar di Inggris beberapa tahun lalu adalah, bagi warga negeri Ratu Elizabeth II, tumbang setelah melakukan perlawanan heroik jauh lebih bisa diterima ketimbang menyerah tanpa perjuangan.
Ingat, Inggris adalah bangsa petarung dan penguasa. Pada era kejayaan mereka, 1/4 populasi dunia berada di bawah kibaran Union Jack.
Inggris adalah negara yang secara teguh melawan serangan Jerman di Perang Dunia II pada masa di mana seluruh Eropa Barat tunduk kepada Adolf Hitler dan Partai Nazi-nya.
Kebanggaan mereka terletak dari bagaimana suatu tim berjuang untuk memperoleh hasil dan bukan dari output semata.
Bagi mereka, proses terkadang lebih penting ketimbang hasil.
(Baca Juga: Pilar Asing Persib Bandung Ini Dibuatkan Patung di Ghana, Cek Penampakannya!)
Di sinilah satu lagi aspek kekurangan Mourinho. Tak banyak yang berubah dari proses berpikir sang pelatih sejak ia pertama mendarat di Inggris.
Ia tak mengubah terlalu banyak tactical thinking-nya walau sepak bola terus berevolusi.
Template parkir bus dan pemilihan pemain Mourinho hampir tak berevolusi banyak.
Bermain dengan striker tinggi besar, Romelu Lukaku, dengan diapit Anthony Martial dan Marcus Rashford, mirip seperti melihat Didier Drogba beroperasi dengan Arjen Robben dan Damien Duff di Chelsea dari 14 tahun silam.
Kendati membelanjakan lebih dari 300 juta pounds sejak awal musim lalu, tahun keduanya di Man United ia lewati bak menanjak sebuah bukit terjal.
Paul Pogba (94 juta pounds), Romelu Lukaku (76 juta pounds), dan Nemanja Matic (40 juta pounds) datang dalam dua musim terakhir dan menjadi ketiga pembelian terbesarnya selama ia menjadi pelatih.
Perolehan poinnya di Liga Inggris bersama Manchester United sekarang adalah yang terendah dari masanya sebagai nakhoda klub besar Eropa.
Musim lalu ia menyelesaikan Premier League dengan rataan 1,82 poin per laga.
Jumlah itu terburuk sejak ia pertama menjadi pelatih, mengalahkan torehannya pada Inter 2009-2010 dan Chelsea 2013-2014 saat ia mencatatkan 2,16 per pertandingan.
Walau masih bisa memberikan trofi Piala Liga dan Liga Europa bagi Setan Merah, sampai kapan manajamen level atas Manchester United mentoleransi segala ketidak sempurnaan ini?
Lagi pula, Mourinho bukan tanpa tujuan. Paris St-Germain tak pernah menyembunyikan ketertarikannya pada jasa sang pelatih.
Di Paris ia pasti akan diservis oleh kucuran dana tak terbatas dari para pemilik Timur Tengah.
Pertanyaan utama kini adalah siapa yang cocok menggantikan Mourinho?
Melihat histori, Manchester United selalu memercayakan kendali kapal ke seseorang dengan pengalaman mumpuni di dunia manajerial.
Mourinho berusia 53 tahun saat ia dilantik menjadi bos Man United, Louis van Gaal hendak menginjak usia 63 tahun, dan David Moyes berusia 50 tahun saat meneruskan tongkat estafet yang dipegang Sir Alex Ferguson.
Yang menarik adalah Man United lebih berani menunjuk pelatih-pelatih relatif muda sebelum era Ferguson.
Sir Alex berusia 45 tahun saat pertama menukangi Man United, Ron Atkinson 42 tahun, dan Dave Sexton 47 tahun.
Jika Ed Woodward dan Manchester United berani berjudi (dan apabila mereka berhasil membujuk Real Madrid melepasnya), Zinedine Zidane bisa jadi sosok pelatih yang bisa mengembalikan masa jaya permainan menyerang Setan Merah.
Coba kita telusuri sedikit.
Zidane adalah pelatih jempolan.
Ia mengambil semua trofi yang dapat dimenangkan pada karier singkatnya melatih.
Mantan gelandang serang ini merupakan pelatih pertama sepanjang sejarah yang dapat mempertahankan gelar Liga Champions.
Zidane akan berusia 46 tahun pada Juni nanti. Ia hanya akan berusia setahun lebih tua dari Sir Alex ketika pertama menukangi Setan Merah.
Pada masa lampau, Zidane punya kans bermain bagi Setan Merah.
Namun, Sir Alex Ferguson menilai bahwa posisi Zidane terlalu mirip dengan Eric Cantona.
"Kepala pemandu bakat kami, Les Kershaw, mengatakan bahwa kami harus menaruh perhatian terhadap Zidane ketika ia masih di Bordeaux, saya pun memberitahu Alex soal ini," ujar Martin Edwards, Chairman Man United ketika itu, kepada Independent.
"Namun, Alex menilai bahwa kehadiran Zidane akan memengaruhi posisi Eric, jadi ia tetap percaya kepada Eric," lanjutnya.
Keluwesan dan kreativitas taktik Zidane menjadi salah satu hallmark Zidane sebagai pelatih.
Struktur tim ia benahi dari laga per laga, kadang secara intrinsik tak jarang pula secara eksplisit.
Setidaknya, di sinilah salah satu perbedaan terbesar Mourinho kini dan Zidane.
Mourinho si jenius taktik sudah mulai tak terlihat, tertutupi oleh sosok yang mengeluh setiap saat mengenai ini dan itu.
Sebaliknya, Zinedine Zidane punya nyali.
Ia memecah trio BBC (Bale, Benzema, Cristiano) dan memainkan 4-4-2 atau variasinya.
"Kami punya keseimbangan lebih dengan bermain 4-4-2. Saya tahu kami bisa bermain baik dengan banyak sistem," ujar Zidane beberapa waktu lalu.
"BBC dapat bermain bersama dalam 4-4-2 tetapi saya lebih suka mereka turun sebagai trident penyerang," lanjutnya.
Sementara, Mourinho jika kepepet memainkan bola-bola jauh ke lini depan ala Sam Allardyce dan Tony Pulis.
(Baca Juga: Ini Harapan Legenda Persib untuk Victor Igbonefo dan Bojan Malisic)
Satu lagi keunggulan mendatangkan Zidane adalah ia bisa menjadi senjata ampuh untuk melawan Pep Guardiola di seberang Manchester.
Zinedine Zidane bisa menjadi White Knight atau Kesatria Putih yang bisa mengembalikan cahaya di sisi merah Manchester setelah Jose Mourinho, sang Dark Knight hijrah.
White Knight ini bisa menjadi jawaban kubu Old Trafford untuk menghadapi Guardiola dan rasa kental Barcelona di Manchester City.
Apalagi, Zidane baru saja mengungkapkan bahwa ia masih belum tahu masa depannya di Real Madrid.
Los Blancos memang punya reputasi menendang pelatih mereka tanpa pamrih.
"Saya tak punya gambaran lebih lanjut selain enam bulan ke depan," tutur Zidane awal pekan ini.
Sekarang, semua kembali ke petinggi Manchester United.
Beranikah Ed Woodward dan Keluarga Glazer melakukan lompatan, menunjuk pelatih muda lagi demi menghidupkan gaya bermain "The Manchester United Way" yang menjadi idaman para fans sepak bola Manchester Merah?