Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Kisruh Penalti Tottenham Bukan Masalah Liverpool Sebenarnya

By Firzie A. Idris - Senin, 5 Februari 2018 | 22:48 WIB
Wasit Jon Moss menunjuk titik putih untuk penalti pertama Tottenham Hotspur pada laga Liga Inggris kontra Liverpool di Stadion Anfield, Liverpool, Minggu (4/2/2018). (PAUL ELLIS/AFP)

Partai panas Liverpool kontra Tottenham pada Minggu (4/2/2018) pastinya akan dikenang oleh finish gila yang membuahkan dua penalti Spurs dan satu gol indah dari Mohamed Salah.

Kedua insiden penalti wajar masuk ranah perdebatan banyak orang.

Pada menit ke-84, Harry Kane, yang berada di posisi off-side, menerima bola terobosan Dele Alli dan dijatuhkan oleh kiper Liverpool, Loris Karius di kotak penalti.

Kane maju untuk mengambil tendangan 12 pas-nya tetapi kiper Loris Karius memblok tembakan sang striker.

Setelah Mohamed Salah membuat kedudukan 2-1 dengan golnya pada menit ke-87, Liverpool lagi-lagi mendapat hukuman penalti.

Pada menit ke-90 +3, Virgil van Dijk dituduh menendang punggung Erik Lamela.

John Moss pun menunjuk titik putih untuk penalti kedua Spurs yang kali ini dihujamkan dengan sangat baik oleh Kane.

Satu hal yang menarik dan tak biasa dari insiden itu adalah kedekatan kamera dengan sang pengadil. 

(Baca Juga: Lolos Semifinal, Dua Pemain Sriwijaya FC Cetak Rekor Baru Piala Presiden 2018)

Jalannya pemikiran John Moss dan hakim garis Ed Smart sebelum memberikan penalti terekam dengan baik oleh kamera televisi, terutama pembicaraan keduanya terkait insiden pertama.

Smart bertanya kepada Moss apakah Dejan Lovren menyentuh bola terobosan Alli ke Kane.

Jawaban Moss menentukan apakah Kane berada dalam posisi offside atau tidak yang akan menghapus hukuman penalti.

"Jika ia tak menyentuh bola, itu adalah off-side, sehingga Anda harus menghapus penalti," ujar Smart seperti dikutip Sky Sports.


Wasit Jon Moss berdiskusi dengan asistennya, Ed Smart, pada laga Liverpool kontra Tottenham Hotspur di Stadion Anfield, Liverpool, Minggu (4/2/2018).(PAUL ELLIS/AFP)

Namun, Moss blak-blakan mengaku tak tahu apa yang terjadi.

Gelandang Spurs, Christian Eriksen, dan pemain Liverpool, Emre Can, mencoba memberikan pendapat mereka yang berbeda tentang kejadian tersebut.

Moss terlihat kebingungan di saat ia tahu harus tegas.

Keputusannya dinantikan oleh tidak hanya ke-22 pemain di dalam lapangan tetapi juga 54 ribu pasang mata di Stadion Anfield dan jutaan fans di layar kaca.

Bayangkan jika kita John Moss, harus mengambil keputusan di tengah dinginnya udara Anfield malam itu.

Self doubt memasuki tulang rusuk sebelum mengambil keputusan. Serentak, kita teringat bahwa manusia tak lepas dari kesalahan. 

(Baca Juga: Rindu Itu Berat, Biarkan Gennaro Gattuso Menjawab)

Sayang, kita tidak hidup dalam utopia di mana segala sesuatunya sempurna.

Sebaliknya, malam itu lebih mirip distopia olahraga di mana individualitas serta privasi sang pengadil direbut dan menjadi santapan dunia.

Hal ini mengingatkan saya dengan buku 1984 karangan George Orwell yang menemani saya dalam membuat skripsi S1 bertahun-tahun lalu.

Buku terbitan tahun 1949 itu menceritakan tentang sebuah distopia di mana hak individu seseorang hilang di bawah tatapan Big Brother, penguasa yang kehadirannya di mana-mana.

"BIG BROTHER IS WATCHING YOU," menjadi motto suatu eksistensi yang berlangsung tanpa kebebasan.

"Selalu ada mata yang mengawasi dan suara menyelimuti Anda. Tertidur atau terbangun. Di dalam atau luar ruangan... Tak ada yang milik Anda sendiri kecuali beberapa kubik sentimeter dalam tengkorak Anda," tulis Orwell tentang Big Brother ini.

Tentu mudah bagi kita, dari kehangatan rumah masing-masing, untuk menghakimi John Moss dan asistennya yang malang tersebut .

Kita bisa berkomentar dan melempar kata-kata buruk kepada mereka karena kita punya kemewahan siaran ulang berkali-kali dari berbagai angle.

Tetapi, John Moss harus mengambil keputusan dengan cepat tanpa bantuan siaran ulang setelah berlari selama 90+3 menit, tanpa kemewahan sudut pandang lain.

Pun, ia merasa diawasi oleh seorang BIG BROTHER dengan kehadiran kru televisi yang menempelnya dari jarak dekat.

"Hasil pertandingan sangat dipengaruhi oleh keputusan hakim garis," ujar Klopp kepada Sky Sports seusai laga.

Well... nga juga sih?

Menurut hemat saya, semua drama ini tak perlu terjadi apabila Liverpool bisa memainkan kartu-kartu mereka dengan baik untuk 30 menit akhir duel tersebut.

Kontes ini berlangsung tidak imbang sepanjang babak kedua.

Klopp gagal mengorganisasi para pemainnya untuk menutup ruang dan mengamankan possession.

Liverpool terlalu sering melepas bola jauh ke kedua sayap, mengharapkan kecepatan dan kejeniusan Sadio Mane atau Mo Salah.

Statistik laga menyebutkan bahwa rataan jumlah operan para pemain Liverpool adalah 3, sementara Tottenham 5.

Juergen Klopp harus menerima didikte oleh strategi Mauricio Pochettino.

Sekali lagi, game management Klopp dipertanyakan.

Persis seperti seorang ayah yang mendidik anaknya, tim Liverpool sekarang terlalu banyak mencerminkan karakter pelatihnya.

The Reds rock and roll, tidak punya struktur permainan mumpuni, dan performa mereka naik turun.

Jordan Henderson cs merupakan personifikasi Klopp dengan perawakannya nan scruffy (brewok dan ugal-ugalan), dibekali kultur pemberontak, dan punya emosi tak terhitung tinggi untuk bermain menyerang.


Manajer Liverpool FC, Juergen Klopp, merayakan gol yang dicetak Mohamed Salah dalam laga Liga Inggris kontra Tottenham Hotspur di Stadion Anfield, Liverpool, pada 4 Februari 2018.(PAUL ELLIS/AFP)

Bukan sekali ini saja Liverpool kehilangan tiga poin dari posisi memimpin.

Bahkan, Opta mencatat kalau Liverpool kehilangan 45 poin dari posisi memimpin sejak Klopp datang ke kubu Anfield.

Jumlah tersebut terbanyak dari tim-tim di Eropa.

Jangan lupakan juga apa yang terjadi di final Liga Europa 2016 saat keunggulan 1-0 kontra Sevilla menjadi kekalahan 1-3.

"Liverpool jarang terlihat punya ketenangan atau ketangguhan yang dibutuhkan untuk mempertahankan keunggulan," tulis Oliver Kay di The Times seharis etelah laga.

(Baca Juga: 4 Kiper Terbaik di Babak 8 Besar Piala Presiden 2018)

Tak usah jauh-jauh, coba bandingkan Klopp dengan tim besutan Mauricio Pochettino.

Pochettino menyusun timnya seperti sebuah orkestra dengan soliditas pertahanan jadi basis kekuatannya.

Ia suka pemain-pemain yang bisa berperan sebagai metronom, pengatur tempo pertandingan.

Jan Vertonghen, Moussa Dembele, Davinson Sanches adalah pemain-pemain berkelas yang dapat menyalurkan bola dengan baik dari lini belakang dan tengah.

Tak heran apabila Spurs (walau tim mereka tak lepas dari masalah), terlihat lebih terkontrol dan elegan.

Saya pikir hal ini harus menjadi perhatian Klopp secepatnya. Solusi itu terjadi bukan hanya dengan melemparkan uang ke masalah.

Mempercepat kedatangan Naby Keita pada Januari pun menurut saya bukan obat ajaib yang akan menghilangkan masalah.

Problema ini lebih ke bagaimana mendidik anak kita untuk mengambil sisi-sisi positif dan menanggalkan aspek terburuk karakter sang ayah.

Sejauh ini, tim Liverpool terpapar ke semua persona sang pelatih dan terlalu sedikit belajar membenahi kesalahan-kesalahan yang ia buat.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P