Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
“Kamu coba tulis apa keinginanmu di tisu ini. Curahkan apa cita-citamu di atasnya,” kata Fahmy pada Dedeh. Dedeh, yang masih dirundung haru, mengikuti apa kata Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Setelah menulis, ia menggenggam erat tisu itu 30 menit lamanya. Ia kembali menangis, berdoa, sampai selembar tisu itu banjir oleh air matanya.
Suasana kembali sunyi. Dedeh diam dengan cita-cita pada tisunya. Sementara Fahmy diam dengan satu tekad di hatinya: membantu Dedeh sebisa mungkin untuk menggapai cita-citanya meski ia tak tahu apa yang Dedeh tulis di atas tisu itu.
Memang apa yang Dedeh tulis dalam secarik tisu itu? Olimpiade!
Perkenalan dengan Dedeh
Sejak saat itu Fahmy dan Dedeh sering bertemu untuk berlatih. Tentunya, dengan cara diam-diam karena Fahmy tak ingin dianggap mengintervensi program latihan Dedeh yang tengah dibangun Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI).
Hal pertama yang dilakukan fahmy adalah mengubah pandangan Dedeh pada dunia olahraga. Bahwa mimpi menjadi juara dunia bukan hal yang tak mungkin dicapai orang Indonesia. Tak hanya itu, cara pandang Dedeh terhadap pola latihan pun ia ubah.
Saat itu, Fahmy menemukan tubuh Dedeh yang tak terprogram dengan baik. Banyak program latihan yang tak pas diberikan padanya, sehingga menghambat mencapai performa terbaik sebagai seorang sprinter.
“Misalnya, secara lahiriah, setiap orang memiliki bentuk otot dengan sifat berbeda-beda. Tentu program pengembangan pelatih perlu menyesuaikannya. Dedeh tidak mencapai itu,” kata Fahmy.
Selain kondisi fisik yang tak ditunjang dengan bentuk latihan, teknik berlari Dedeh kala itu pun tak tepat. Misalnya, dalam urusan ayunan tangan selama berlari dan posisi pantat saat melompati gawang.
Membentuk apa yang telah tercipta bukan urusan mudah. Apalagi, Dedeh dikenal sebagai sosok yang keras kepala. Bukan hal baru jika Fahmy dan Dedeh kerap bertengkar hanya karena masalah-masalah teknis.