Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Jangan Main-main sama Orang Surabaya

By Persiana Galih - Kamis, 15 Maret 2018 | 22:29 WIB
Pelatih Pacific Cesar, Kencana Wungu (dua dari kiri), Direktur IBL, Hasan Gozali (tengah) dan asisten pelatih Stapac Jakarta, Antonius Ferry Reinaldo pada acara jumpa awak media, Kamis (8/3/2018) di Surabaya. (TB KUMARA/BOLASPORT.COM)

main, bahwa kita enggak boleh main-main sama orang Surabaya.

Begini. Apa yang terlintas di benak Anda ketika mendengar olahraga Surabaya?

Bonek alias Bondho Nekat, klub suporter dari Persebaya? Atau tim basket mereka di liga profesional macam CLS Knights, Pacific Caesar, dan Surabaya Fever?

Tentu banyak. Sebagai kota kedua terbesar di Indonesia dengan luas 350,54km persegi dan jumlah penduduk hampir tiga juta jiwa, olahraga di Surabaya amat menggeliat.

Mereka memegang peran penting dalam urusan olahraga nasional, bahkan internasional.

Ya, internasional karena CLS Knights Surabaya per tahun lalu mengubah diri menjadi CLS Knights Indonesia setelah teken kontrak berlaga di Liga Basket Asean (ABL).

(Baca juga: Bakal Hadapi Tim Malaysia, CLS Knights Indonesia Diminta Bermain Lepas)

Olahraga di Surabaya akhir pekan lalu mendadak jadi sorotan publik. Klub basket mereka, Pacific Caesar, melakukan walk out alis undur diri di pertandingan kedua dari sistem best of three melawan Stapac Jakarta.

Pacific menjadi tuan rumah (DBL Arena, Surabaya) setelah memiliki poin lebih unggul dibanding Stapac dalam klasemen Divisi Putih Liga Basket Indonesia (IBL) 2018.

Pada Jumat (9/3), keduanya mesti beradu memperebutkan tiket semifinal play-off IBL untuk bertemu dengan pimpinan klasemen Divisi Putih, Pelita Jaya Jakarta.

Pertandingan pertama berlangsung alot. Wasit dalam partai yang dimenangi Stapac dengan 77-69 itu dihujani protes dari para pebasket Pacific.

Mereka menganggap keputusan wasit kerap menguntungkan Stapac.

Tapi Pacific punya kesempatan kedua. Kans untuk lolos menuju babak semifinal play-off masih terbuka lebar. Sayangnya, ia tak memanfaatkan kesempatan itu.

Beberapa menit sebelum pertandingan kedua digelar pada Sabtu (10/3), para pebasket Pacific belum juga unjuk diri di arena pertarungan. Sementara lawan mereka sudah melakukan pemanasan.

Bahkan, saat nama orang-orang Pacific dipanggil untuk menerima penghargaan Pemain Asing Terbaik (Best Foreign Player of The Year), Pemain dengan Perkembangan Terbaik (Best Improve Player of The Year), dan pelatih terbaik (Best Coach of The Year), mereka sama sekali bergeming.

(Baca juga: Butuh Rp 800 Juta untuk Gelar Semusim Kompetisi Srikandi Cup)

Lantas di mana orang-orang Pacific waktu itu? Mereka diam di restoran Pizza Hut, yang masih berada dalam satu area dengan GOR DBL Arena, Surabaya.

Mereka masih menunggu keputusan IBL untuk memainkan salah satu pemain asing Pacific, Anton Waters, yang terganjal hukuman sehingga tak boleh tampil di laga kedua.

Waters dihukum lantaran mendapat satu unsportsmanlike foul dan satu technical foul pada pertandingan pertama.

Dalam aturan Federasi Bola Bakset Internasiolanl (FIBA) 2017, seorang pemain dilarang tampil dalam satu pertandingan jika mendapat ganjaran tersebut.

Tapi, Pacific kukuh ingin menurunkan Waters. Bukan soal seberapa penting pebasket AS itu bagi mereka, tapi soal integritas IBL dalam menerapkan peraturan. Pasalnya, pada babak reguler seri VII Cirebon, Waters mengalami hal yang sama namun tidak dicekal di pertandingan berikutnya.

Sementara IBL merasa sudah menyosialisasikan aturan tersebut kepada Stapac dan Pacific sebelum pertandingan play-off perdana dimulai.

Menurut salah satu petinggi Federasi Basket Indonesia (Perbasi) yang saya temui pada Selasa (13/3) di Jakarta Selatan, semestinya IBL sudah menerapkan peraturan tersebut sejak Sei VII Cirebon.

“Tapi IBL berasumsi ingin menghabiskan dulu babak reguler, baru menerapkan aturan baru tersebut di babak play-off,” kata pejabat yang enggan disebutkan namanya itu.

Selama babak reguler, IBL masih menggunakan aturan lama di mana tak ada hukuman cekal satu pertandingan jika seorang pemain mendapat satu unsportmanlike foul dan satu technical foul.

Wasit tak bisa lagi menunggu Pacific. Mereka terpaksa mengakhiri pertandingan sebelum dimulai, dengan menjatuhkan status walk out pada Pacific. Stapac menang 2-0 dan berhak mendapatkan tiket semifinal melawan Pelita Jaya.

(Baca juga: Saksi Perjalanan Karier Lee Chong Wei Komentari Film Rise of The Legend)

Kedua belah pihak, IBL dan Pacific, sama-sama yakin pada argumen mereka.

Perang dingin dengan peluru berupa siaran pers pun dimulai di Media Sosial Instagram.

Kedua belah pihak saling menyerang, dan mengklaim bahwa masing-masing dari mereka memiliki alasan yang kuat.

“Peraturan diskualifikasi yang menyatakan kombinasi technical foul dan unsportman di diskualifikasi dan larangan 1 kali bermain baru ada di peraturan FIBA terbaru 2017 dan sudah disosialisasikan dan di setujui saat managers meeting 8 Maret," kata Direktur IBL, Hasan Gozali, seperti yang terlampir di akun Instagram resmi IBL Indonesia.

Balasannya: “Kami dari Pacific Caesar Surabaya berpegang tegas pada prinsip yang dimana kami hanya mengikuti peraturan pelaksanaan IBL 2017-2018 yang ada, dan tidak bersedia mengikuti peraturan yang dirubah2 di tengah musim demi keuntungan pihak2 tertentu,” tulis Pacific Caesar dalam akun Instagram resmi mereka.

Begitu kurang lebih isi perang siaran pers mereka. Terlepas dari itu semua, pejabat Perbasi yang saya temui di Jakarta bilang bahwa Pacific tidak menghargai pertandingan. Padahal, walk out adalah tindakan haram di mata FIBA.

“Kalau ada tim yang walk out di pertandingan internasional, maka negaranya dicekal tak boleh lagi bermain di kejuaraan FIBA internasional. Itu hukumannya,” ujar dia.

Bayangkan, dengan walk out itu, IBL mesti mengganti kerugian kontrak yang dibangun dengan iNews, stasiun televis swasta yang berhak menyiarkan IBL 2018. Belum lagi kontrak dengan sponsor-sponsor lainnya, dan ganti rugi tiket penonton yang sudah datang.

“Duit tiket penonton bisa dikembalikan, tapi transportasi dan waktu mereka menuju arena pertandingan tak bisa terganti,” katanya.

IBL menangguhkan kerugian tersebut pada Pacific sebagai terdakwa walk out. Hingga saat ini, kisaran kerugian belum resmi terakumulasi.

Siapa yang salah? Entahlah, Saya tidak berhak menilai meski jurnalisme selalu berpihak pada kebenaran.

Yang pasti, kedua belah pihak punya pelajaran banyak untuk kasus-kasus seperti ini. Terutama IBL, sebagai pemegang aturan liga basket profesional Indonesia.

Karena bagaimana pun, walk out merupakan bentuk protes terkeras yang berhak dilakukan sebuah tim, meski kerugian besar pasti membuntuti.

(Baca juga: Setelah Voli, Samator Kini Juga Berkomitmen di Kancah Basket Putri Indonesia)

Sepak Bola

Sebenarnya, tragedi walk out dalam pertandingan olahraga bukan saat ini saja. Atau, saya kerucutkan lagi, bentuk protes itu bukan hanya saat ini dilakukan oleh orang-orang Surabaya.

Tiga tahun lalu, pada 2015, Bonek FC, yang saat ini status penggunaan lisensi timnya sudah berubah menjadi Bhayangkara FC, memilih meninggalkan pertandingan karena tak terima dengan keputusan wasit yang memberi penalti untuk lawan mereka, Sriwijaya FC.

Kedua tim bertemu di babak perempat final Piala Presiden 2015.

Di menit sebelas pertandingan leg kedua perempat final itu, Bonek FC ditarik keluar oleh tim pelatih mereka, dan membuat pertandingan sempat dihentikan selama 20 menit sebelum wasit meresmikan pertandingan berakhir dan dimenangi oleh Sriwijaya FC.

Kronologinya, Rizky Dwi Ramadhana, pemain Sriwijaya FC, melepaskan tembakan dan membentur pemain bertahan bonek FC di kotak penalti. Wasit Jerry Elly langsung menunjuk titik putih, dan memberi kesempatan Sriwijaya FC untuk mengeksekusi penalti.

Ofisial Bonek FC tak terima dengan keputusan itu.

Mereka lantas meminta panitia—juga wasit—untuk melihat tayangan ulang. Hasilnya: jelas terlihat bahwa bola tak menyentuh tangan pemain bertahan Bonek FC melainkan dadanya.

Ups, pantes walk out.

Baca juga: Srikandi Cup Seri Ke-3, Merah Putih Samator Jakarta Jadi Tuan Rumah)

Legislatif

Mari melebar, melihat budaya walk out dari sisi lain selain olahraga. Yang tak kalah hangatnya terjadi di Sidang Paripurna penyampaian laporan hasil kerja panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun lalu.

Kala itu, sejumlah anggota sidang yang terdiri dari tiga fraksi, yakni Gerindra, PKS, dan PAN, berhamburan keluar ruang sidang sebelum paripurna rampung.

Mereka walk out lantaran tak sepakat dengan keputusan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yang berdiri sebagai pimpinan sidang. Menurut mereka, Fahri melakukan keputusan sepihak.

Ketiga fraksi tersebut memprotes perpanjangan masa kerja Pansus alias Panitia Khusus. Tapi, ketuk palu Fahri meresmikan bahwa kerja Pansus dilanjutkan.

Peristiwa itu terjadi pada 26 September 2017. Sementara Pansus memasuki 60 hari kerja pada 28 September 2017.

Dalam ketenuan pasal 206 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia angket.

Lalu, siapa yang walk out? Salah satunya Anggota Fraksi Gerindra, Nizar Zahro.

Ia merupakan pria kelahiran Bangkalan, 18 Agustus 1974, yang menjadi anggota legislatif dengan Dapil Jawa Timur XI. Saat ini, dia beralamat di Sidopo Wetan Baru, Kenjeran, Surabaya.

Dia orang Surabaya.

(Baca Juga : Enggan Bertanding, Pemain Pacific Caesar justru Habiskan Waktu di Restoran Pizza)

Tak hanya Nizar, Jazuli Juwaini, Ketua Fraksi PKS, pun mendukung walk out itu.

Pada Kompas.com ia mengatakan, “Kami berharap pimpinan rapat memahami etika rapat yang sudah diatura dalam tata tertib (DPR),” ujarnya.

Jazuli merupakan anggotan legislatif Dapil Banten II yang sangat aktif dengan kegiatan organisasi Islam sejak muda.

Ia bukan arek Surabaya, tapi memiliki hubungan erat dengan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Gus Sholah alias KH. Shalahuddin Wahid. Bahkan, kepada Tribunnews.com, anggota Komisi III DPR itu bilang bahwa PKS kerap meminta nasehat kepadanya.

Seperti kita semua tahu, NU merupakan organisasi islam terbesar di Surabaya bahkan mungkin di Indonesia.

Saking erat hubungan mereka, waktu pimpinan dan pengasuh Pondok Pasantren Tebuireng, Jombang, itu dirawat di RS. Soetomo, Jazuli menyempatkan diri terbang ke Jawa Timur

Saya mungkin terlihat memaksa untuk menyangkut-pautkan budaya walk out dan orang-orang Surabaya. Saking memaksanya, saya menghubungkan Jazuli yang bukan orang Surabaya dengan NU yang bermarkas di Surabaya.

Tapi keterpaksaan, bagi saya pribadi, adalah sebuah elegansi.

Sebagai jurnalis yang lebih sering menulis berita berdasarkan hasil wawancara, Saya terpaksa menulis artikel sepihak ini, sambil santai meminum kopi di Jakarta.

Sama halnya dengan para penggiat walk out di atas, yang terpaksa walk out sambil menikmati Pizza Hut.

Karena Walk out adalah bentuk protes keras untuk menyampaikan ketidaknyamanan secara elegan, baik kiranya dilakukan sambil makan pizza.

Think of what you're saying

You can get it wrong and still you think that it's alright

Think of what I'm saying

We can work it out and get it straight, or say good night.”

“We Can Work It Out” yang dinyanyikan The Beatles terasa pas masuk ke telinga saya kali ini. Menemani mulut yang masih sibuk sibuk menyeruput kopi secara elegan dari tadi.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P