Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Mengais Jejak Ronaldo di Manado

By Ram Makagiansar - Jumat, 30 Maret 2018 | 20:50 WIB
Ronaldo Luiz Nazario, pahlawan Brasil di Piala Dunia 1994 dan 2002 (Grafis: Andreas Joevi)

Emosi dan ingar-bingar Liga Indonesia tak ada lagi di Manado. Padahal, kota itu pernah mentereng gara-gara sempat dikunjungi Il Phenomenon asal Brasl, Ronaldo Luis Nazario de Lima.

Ada juga kisah gol semata wayang Tugio yang membawa PSIS juara Liga Indonesia V 1998/1999 di Kota Manado. Lalu?

Klabat, nama stadion di Manado yang diambil dari nama gunung yang terletak di Minahasa, memang sempat menyuguhkan drama-drama di sepak bola. Hal itu dulu.

Di zaman now, atmosfernya amatlah berbeda.

Pada 1995, Manado menata sepak bola pascakehadiran tokoh bola nasional Mayjen TNI E.E Mangindaan sebagai Gubernur Sulut. Atmosfir sepak bola sangat terasa.

Kemudian, lahirlah Persma yang sekitar 6 tahun menghuni Divisi I. Maklum, amunisi dan lobi belum cukup guna menapak ke kasta tertinggi, Divisi Utama, ketika itu.

Lalu, begitu tiket Divisi Utama diraih, darah sepak bola di Sulut bagaikan mendidih! Mulai panaslah amosfer sepak bola di daerah itu.

Puncaknya, Sulut, provinsi kecil, mampu menghadirkan tiga tim di papan atas kompetisi. Dua tim lainnya adalah Persmin Minahasa dan Persibom Bolaang Mongoundouw.

Kembali ke Persma. Sebelum kompetisi dimulai, sejumlah tim tangguh Indonesia kala itu diundang hadir ke Manado.

(Baca Juga: Catat! Timnas Thailand akan Datang ke Indonesia)

Mereka hadir lewat turnamen Piala Opa E.A Mangindaan, ayah Gubernur, mantan pelatih PSM dan PSSI  yang juga salah satu saksi berdirinya PSSI di Solo era Soeratin.

Pelita Jaya Jakarta, Mitra Surabaya, Persebaya, dan PSM serta Gelora Dewata Bali meramaikan hajatan atau turnamen prakompetisi. Euforia pun mulai tercipta menyusul eksisnya Tim Badai Biru, sebutan Persma. 

Di sinilah sejarah pertama tercipta. Usai prakompeisi, kedatangan PSV Eindhoven dari Belanda menjadi pemicunya.

Wajar, dalam tim tersebut bercokol pemain muda Brasil yang belakangan menjadi Pemain Terbaik Dunia 3 kali, Ronaldo Luis Nazario de Lima. Saat itu, ia baru menginjak usia 18 tahun.

Tak hanya Ronaldo, ada Luc Nillis (Belgia) dan segerombolan pemain muda Belanda yang sempat menjadi pilar De Oranje.

Sebut saja Boudewijn Zenden, Phillip Cocu, dan senior macam Wim Jonk, Stan Valks, serta duo kiper Ronald Waterreus dan Stanley  Menzo.

Tukang racik tim adalah Dick Advocaat dan orang Denmark, Frank Arnesen, sebagai manajer tim.

(Baca Juga: Media Asing Beritakan Persiapan Timnas U-19 Indonesia Jelang Piala Asia U-19)

Di Surabaya, Ronaldo tak bermain membela PSV, ia hanya beraksi di Manado.

Meski panitia harus bernegosiasi alot dengan manajemen PSV, akhirnya Ronaldo diizinkan.

Tetapi, Ronaldo bermain hanya 20 menit. Dia sudah dalam ikatan perjanjian dengan manajemen FC Barcelona. Faktor lain, dia tengah didera cedera ringan!

Memang, sekembali dari Indonesia, Ronaldo langsung menuju Spanyol meninggalkan Negeri Kincir Angin.

Sejarah kedua bagi Kota Manado, final Liga Indonesia V antara Persebaya vs PSIS pada 1999 sukses digeber di lokasi yang sama.

PSSI menunjuk Manado karena ada alasannya. Bahwa, pemain sekelas Ronaldo saja enjoy bermain dan tingkat keamanan maksimal. Kepanitiaan dengan peran pemerintah daerah dan PSSI terkoordinasi.

Di situlah gol Tugiyo lahir dan memaksa Persebaya mengakui keunggulan Mahesa Jenar di depan publik Manado dan fans Green Force serta PSIS yang "menyerbu" Manado.

Kini, semua tinggal kenangan. Stadion Klabat tak lagi menghadirkan atraksi pesepak bola lokal dan luar negeri setelah bubarnya Persma. Ironis, karena hal ini diikuti Persmin dan Persibom.

(Baca Juga: Jadwal Laga Timnas Indonesia Vs Malaysia Dimajukan demi Persija Jamu Persib)

Benar, Persma tak lagi ada. Tetapi, nama-nama pesepak bola Manado yang sempat menghuni timnas Indonesia menjadi bukti potensi di sana.

Dari era 1980-an, ada Inyong Lolombulan, kemudian Fecky Lasut dan era 90-an bersama  Francis Wewengkang, Stanley Mamuaja. Hingga era 2000-an Jendry Pitoy dan Firman Utina.

Lalu, apa yang masih bisa dibanggakan? Nyaris tak ada lagi.

Manado sudah ketinggalan dibanding daerah ain. Namun, setidaknya ada misi positif yang diemban para pelaku sepak bola di sana.

Ya, kompetisi senior boleh tidak ada. Namun, berjubelnya kompetisi usia dini di Sadion Klabat Manado dan Kotamobagu, paling tidak memberikan pesan bahwa sepak bola di Manado tidak mati.

Pembinaan usia muda wajib dan harus diopimalkan. Maka, berbagai turnamen usia dini dan muda banyak digelar di sana.  

Ada Piala Gubernur Sulut, Piala Walikota Manado dan Kotamobagu, Piala KONI Manado. Belum lagi jaringan kompetisi muda dari daerah hingga pusat seperti Piala Menpora U-14 dan U-16, juga Piala Danone.

Namun, benarkah kompetisi senior harus dinomorduakan? Adalah tugas Asprov PSSI setempat yang mesti total bekerja.

Jika tidak, kepengurusan yang baru sebulan tak ubahnya kepengurusan lama. Artinya, setelah terpilih, program pun tak ada. 

(Baca Juga: Indra Sjafri Nilai Kualitas Egy Maulana Vikri Menurun)

Kalau pun Persma 1960 mulai aktif, hal itu karena kepedulian beberapa orang penggila sepak bola di Manado.

Mereka berharap bisa mengembalikan nama besar Persma. Meski untuk benar-benar eksis masih ditunggu hasilnya. 

Karena itu, bagaimana cara dan apapun bentuk model kompetisi senior mulak harus dijalankan. 

Jika sudah jalan, pembinaan berjenjang hingga ke senior akan memetik hasil.

Jangan sampai "roh" Il Phenomenon Ronaldo cepat hilang dan tak membekas sama sekali di Manado.  

 

Apa persiapan Perbasi menyambut Piala Dunia Basket tahun 2023 di Jakarta? Salah satunya mendatangkan sepuluh pebasket Under 15 (U15) Afrika. Danny Kosasih, Ketua Umum Perbasi, menganggap para pebasket Afrika memiliki potensi yang luar biasa untuk membantu timnas Indonesia bersaing di Piala Dunia. Rencananya, sepuluh pebasket Afrika itu akan dijadikan warga negara Indonesia. Tentunya, lewat sistempembayaran yang telah disepakati dengan agen pemain. Kerjasama ini tak lepas dari jasa menantu Raja Dangdut Rhoma Irama, Mehmet Cetin sebagai penyambung lidah antara Perbasi dan agen. Danny mengaku penjualan pemain Afrika ke kancah internasional merupakan hal lumrah yang sudah dilakukan negara-negara lain, terutama Asia. Setidaknya menurut Perbasi, mendatangkan pemuda asing usia di bawah 15 tahun jauh lebih mudah daripada menaturalisasi pemain.  ditambah adanya aturan orang asing di bawah 15 tahun dapat memilih kewarganegaraan tanpa perlu melalui proses birokrasi yang berbelit. Apa pendapat Bolamania?  Sudah seputus asa itukah Perbasi akan kemampuan pebasket di negaranya sendiri? Akankah Pemerintah mau bekerjasama dan mendanai mega proyek Perbasi yang konon menelan biaya hingga ratusan milyar rupiah ini? Sila nikmati penelusuran BOLA di edisi Jumat yang sudah terbit hari ini. #CintaiprodukIndonesia Backsound: @iwaktherockfish

A post shared by TABLOID BOLA (@tabloid_bola) on

 

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P