Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Kejeniusan Pep Guardiola membawa Manchester City jadi juara Premier League 2017-2018.
Lebih dari hanya sekadar kampiun, Pep Guardiola membawa City memecahkan rekor demi rekor Liga Inggris.
Beberapa rekor yang bisa dilewati oleh Pep adalah rekor poin di EPL (95) yang kini dipegang Chelsea pada 2004-2005 dan catatan 103 gol, juga oleh Chelsea pada 2009-2010.
Pada September 2016, saya menulis tentang “lompatan kuantum” City di bawah Pep Guardiola, bahwa Man City merupakan langit dan bumi dengan ketika dilatih bos terakhir mereka, Manuel Pellegrini.
Filosofi Manchester City sama-sama menyerang, tetapi Pep melakukannya dengan sangat elegan nan energik, seperti memadukan balet dengan hard core rock and roll dalam satu simfoni.
Pep hanya ingin memainkan sepak bola menyerang.
Hal ini terlihat dari cara berpikir yang ia tuangkan di buku Pep Confidential, bahwa Pep hanya mengenal satu pakem: Serang, serang, dan serang!
Ide singular ini bak gayung bersambut dengan pemikiran yang Manchester City inginkan, yakni memainkan beautiful football.
(Baca Juga: 4 Pemain Manchester United Akan Dibiarkan Pergi Akhir Musim ini, Termasuk Paul Pogba)
Namun, untuk segala pencapaian nan keindahan di lapangan, kerja keras sangat besar di baliknya sering tak terlihat.
Guardiola adalah pelatih yang menyukai detail. Bisa dikatakan bahwa ia gila detail.
Bagi dia, lapangan terbagi menjadi 20 zona dengan idealnya 1 zona 1 orang, tak lebih dari 4 zona diokupasi secara horizontal dan tak lebih dari 3 diokupasi secara vertikal.
Hal ini untuk memberi garansi agar setiap pemain yang menguasai bola punya opsi mengoper si kulit bundar.
Demi mewujudkan tuntutan tersebut, ia mengharuskan anak buahnya berpikir secara kolektif dan meninggalkan segala unsur primadona dalam skuat.
Pemain bintang seperti Gabriel Jesus dan Kevin De Bruyne tidak sungkan melakukan pekerjaan kotor dalam bertahan dan mengembalikan penguasaan bola.
(Baca Juga: Paul Pogba akan Dijual, Begini Kronologi Perpecahan dengan Jose Mourinho)
Alhasil, dia begitu memerhatikan setiap hal yang membangun kerjasama tim. Makan pagi dan makan siang para pemain wajib di markas.
Berbagai larangan meruak, tidak boleh menggunakan media sosial di kompleks latihan klub, bercinta di atas tengah malam, diet ketat, dan sebagainya.
Seperti Dementor di serial film Harry Potter, metode dia intens, menyerap tenaga, dan mungkin mengurangi kebahagiaan para pemain serta ia sendiri.
Arjen Robben, pemainnya di FC Bayern mengungkapkan bahwa, “Pep kerasukan roh sepak bola, 24 jam per hari. Kami memang berkembang dan sangat dominan tetapi kami lebih punya kebebasan di bawah Carlo Ancelotti.”
Sementara, bek Juventus Medhi Benatia yang ia latih juga di FC Bayern, mengutarakan salah satu kelemahan lain Pep: "Guardiola menjaga jarak, sementara Massimiliano Allegri sekarang sangat dekat dengan pemainnya.
Ketika meninggalkan jabatan pelatih Barcelona ia berujar bahwa ia tak kuat lagi dengan tekanan, “Saya telah memberikan segalanya, saya tak punya tenaga tersisa”.
Jangan lupakan bahwa dia adalah pelatih high maintenance. Di FC Bayern, dia sering tidak menghadiri rapat manajemen, lebih senang menyuruh asistennya.
Ahli sepak bola Jerman, Raphael Honigstein, mengutarakan tentang kelemahan Pep ini.
“Dia pelatih yang sulit dijangkau banyak orang. Mungkin ini alasan Bayern tak bisa hangat kepadanya kendati semua sukses yang ia datangkan,” tutur Honigstein seperti dikutip BolaSport.com dari BBC Sports beberapa tahun lalu.
Pep memang senang dengan short burst dalam pekerjaannya. Ia mengamalkan three year cycle dalam kepelatihan, bahwa siklus pelatih terbagi tiga: Adaptation, Success, Refinement (mempertahankan sukses).
Pemain Termahal Real Madrid Hidup seperti Roller Coaster dalam Dua Bulan https://t.co/Hbn3yYY1nK
— BolaSport.com (@BolaSportcom) April 17, 2018
Pep beranggapan bahwa mengharapkan sukses setelah tiga tahun adalah kesalahan.
Ia bahkan mengakui bahwa tahun keempatnya di Barcelona adalah kesalahan.
Tak mengherankan apabila Pep langsung mengungsi ke New York selama setahun untuk hiatus dari dunia kepelatihan.
Namun, apa yang Manchester City amalkan sekarang amat beda.
Walau kontrak Guardiola berakhir pada Juni 2019, City tampak membangun tim masa depan.
Beberapa pemain seperti Gabriel Jesus, Leroy Sane, Raheem Sterling, Bernardo Silva, dan John Stones berusia 24 tahun ke bawah.
Pep sejauh ini senang menjadi seorang sprinter. Apakah di Manchester City dia akhirnya mengubah nomor menjadi seorang pelari Marathon?
Apakah kita akan melihat perubahan dalam siklus Pep?
Bisakah sekarang kita melihat dia pada akhirnya menjadi seorang legenda di sisi biru Manchester layaknya Bill Shankly di Liverpool atau Sir Alex Ferguson di Manchester United?
Sir Alex Ferguson meraih sukses berkelanjutan dengan terus mengasah skuatnya. Dia bikin setidaknya tiga perombakan besar untuk tidak membuat United ketinggalan jaman.
Hal tersebut merupakan kunci dari membangun sebuah dinasti.
Ini sebuah pertanyaan menarik yang mungkin Pep sendiri tidak punya jawabannya (untuk sekarang).