Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Satrio Arismunandar di Remotivi menggunakan perspektif pekerja media untuk mencurigai adanya “kesadaran palsu” bahwa status elite sebagai pekerja di sebuah perusahaan yang mengizinkan bertemu public figure beserta hal-hal mewah lainnya (ruang kerja ber-AC, pindah lantai memakai lift, dsb).
Akibatnya, muncul perasaan jemawa yang membuat mereka menyebut diri “bukan pekerja biasa”. Situasi ini tidak akan menjadi masalah selama gaji dan tetek bengek kepuasan kerja lainnya masih dapat dikecap.
Namun, preseden buruk bisa muncul bila kesadaran palsu tersebut menyihir pikiran pekerja bahwa mereka tak perlu membentuk serikat/asosiasi.
Ketiadaan serikat pekerja berimbas pada hilangnya opsi menggiurkan berupa upaya utak-atik fleksibilitas hak dan kewajiban pekerja serta yang paling penting, nihilnya kesempatan memecah hegemoni pemilik perusahaan lalu menyetelnya agar sesuai koridor.
(Baca Juga: Di Era Arsene Wenger, Kebahagiaan Tak Akan Ada Artinya Tanpa Kesedihan)
Apa yang digambarkan Arismunandar di atas sepintas lalu mirip dengan keadaan atlet sepak bola kita.
Kisaran gaji pemain level atas pesepak bola Indonesia menembus miliaran rupiah per tahun.
Bahkan, pemain cadangan di klub-klub kecil kasta tertinggi pun saya kira sudah melebih upah minimum (ambang batas yang menjadi patokan kaum pekerja/buruh dalam menuntut haknya).
Menyadari mereka akan ditonton puluhan ribu orang di setiap laga, menikmati tunjangan kemenangan per pertandingan, serta segepok kenikmatan hidup lainnya, menjadi wajar jika pemain melupakan hal terpenting bila mereka berada di titik nadir.
Bila gaung profesionalisme hanya sebatas gembar-gembor, merujuk pada catatan merah FIFPRO di atas, adakah kemungkinan yang lebih baik selain bersatu, berserikat, lalu bergerak?