Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Bangkit dari Kegagalan ala Prancis

By Senin, 14 Mei 2018 | 20:20 WIB
Para pemain timnas Prancis merayakan gol yang dicetak Blaise Matuidi (tengah) ke gawang Bulgaria dalam partai Kualifikasi Piala Dunia 2018 di Vasil Levski, Sofia, 7 Oktober 2017. (FRANCK FIFE / AFP)

“Kami mengecewakan negara kami.” Begitu ujar Didier Deschamps setelah kegagalan Les Bleus di partai puncak Piala Eropa 2016 kepada The Telegraph.

Di final Euro 2016, timnas Prancis harus menyerah dari Portugal dalam babak II perpanjangan waktu lewat gol pemain pengganti, Eder.

Prancis menghadapi sebuah kekecewaan besar kehilangan kesempatan menjadi raja di negeri sendiri.

Prancis juga punya sejarah tak terlupakan di 1984 ketika mendapat gelar Internasional pertama dalam turnamen besar di era “dewa sepak bola Prancis” Michel Platini.

Di Euro 2016, kepercayaan diri Prancis sangat kuat mengingat 23 nama skuat yang dimiliki juara Piala Dunia 1998 itu pantas disebut mewah.

Ketangguhan pertahanan yang digalang Laurent Koscielny, Bacary Sagna, Samuel Umtiti, hingga Patrice Evra sulit ditembus oleh setiap negara yang mereka jumpai dalam 6 laga sebelum partai Final.

(Baca Juga: 5 Teror Bom dalam Sepak Bola)

Bahkan, hanya Islandia melalui Sigborson dan Bjaenarson, yang mampu mencetak gol ke gawang Hugo Lloris lewat skema open play.

Di lini tengah, Prancis punya N’Golo Kante aktor utama yang membuat Leicester dan Chelsea merajai Premier League, liga paling elite di dunia.

Didukung dengan kehadiran Blaise Matuidi yang menawan bersama PSG.

Atau Dimitri Payet yang diperebutkan oleh tim-tim besar karena ingin pergi dari West Ham United. Serta Mousa Sissoko yang saat ini menjadi andalan Tottenham Hotspurs.

Penguasaan bola para pemain ini benar-benar meng-cover area tengah dengan rapat dan padu, baik bertahan dan menyerang.

Sehingga sang gudang kreativitas, Paul Pogba, yang sempat menyandang label pemain termahal dunia saat pindah dari Juventus ke Manchester United bisa memaksimalkan perannya untuk menyuplai bola kepada para juru gedor di lini depan.

Di garda terdepan, Prancis yang tidak menyertakan Karim Benzema bintang Real Madrid karena skandal video pemerasan, bahkan tak perlu cemas karena punya opsi bergengsi lain.

Striker Atletico Madrid yang terus menjadi buruan FC Barcelona dan Manchester United, Antoine Griezmann, tidak perlu dipertanyakan lagi ketajamannya.

Serta Olivier Giroud yang selalu punya insting killer yang tepat ketika mengalami kebuntuan.

Jangan lupakan nama Anthony Martial yang kecepatannya mampu merusak pertahanan lawan.

Nama yang tersisa saat itu di bangku cadangan mampu menggetarkan keberanian lawan karena pengalaman mereka di 5 liga besar Eropa.

Bahkan, di semifinal mereka menelan lawan yang tentu dianggap menjadi rival tersulit mengingat Jerman menyandang status sebagai juara Piala Dunia.

Die Mannschaft dengan nama-nama tenar di dalamnya digulung dua gol tanpa balas melalui sepasang gol top skorer Piala Eropa saat itu, Antoine Griezmann.

Akan tetapi, apa boleh dikata, pada akhirnya kisah kegagahan Prancis berakhir di tangan pasukan Fernando Santos, pelatih Portugal. Kalah di laga final selalu menjadi kekalahan yang paling menyakitkan.

“Kekecewaan itu jelas terlihat dan sangat besar. Butuh waktu untuk mencernanya. Akan tetapi, kami menang bersama-sama, menderita juga bersama-sama. Hari ini, kami pun kalah bersama” kata Deschamps kepada Telegraph usai pertandingan.

Tim Ayam Jantan gagal berkokok dengan lantang di pengujung turnamen, mereka gagal.

Prancis, Nasib, dan Bangkit

Kegagalan dalam hidup acap kali meninggalkan luka besar bagi orang yang mengalaminya.

Pada sejumlah kasus negatif, gagal bisa menjadi akhir dari sebuah perjalanan karena tak mampu mengatasinya dan bangkit kembali.

Ada juga yang membutuhkan waktu cukup lama untuk memulihkan luka tersebut sebelum bisa berdiri kembali.

Pada contoh yang positif, kegagalan bisa menjadi awal dari keberhasilan, seperti  kata pepatah.

Dengan merasakan sakitnya kegagalan, manusia seringkali termotivasi untuk tidak mengalaminya kedua kali.

Les Tricolores adalah contoh di mana sebuah tim tidak terpaku dengan kegagalannya.

FFF, Federasi Sepak Bola Prancis, tidak serta-merta melepas Didier Deschamps, pelatih yang menukangi Prancis sejak 2012 dari jabatannya.

Kepercayaan masih diberikan kepada pelatih yang sempat dituduh rasisme oleh Erik Cantona.

Lagipula, menjadi runner-up juga sebuah pencapaian, ditambah Prancis harus bersiap dengan kualifikasi Piala Dunia di September 2016 yang hanya berjarak 3 bulan berselang setelah final Piala Eropa.

Kualifikasi Piala Dunia 2018 bukanlah hal yang mudah bagi tim yang punya nama Thierry Henry sebagai top skorer sepanjang masa.

Di Grup A yang memperebutkan satu tiket otomatis, Prancis harus berjumpa dengan Belanda, Swedia, dan Bulgaria yang berpotensi menjadi ancaman serta Belarusia dan Luksemburg yang bisa mengejutkan.

Namun, dalam persaingannya dengan Belanda dan Swedia, kemenangan menjadi milik negara yang terkenal dengan kompetisi Ligue 1 tersebut.

Prancis lolos sebagai juara grup dengan 7 kemenangan, 2 imbang, dan 1 kekalahan dari Swedia.

Keberhasilan Prancis masih meninggalkan tanda tanya bagi fansnya mengingat tim ini baru bisa memastikan diri menjadi juara grup hingga pertandingan terakhir saat berjumpa Belarusia.

Belum lagi jika dibandingkan dengan Swedia dan Belanda, produktivitas gol Prancis adalah yang paling rendah, hanya 18 gol dibanding 26 gol Swedia dan 21 milik Belanda dari total 10 laga.

Melihat deretan nama pemain depan yang dimiliki Prancis, jelas Dechamps masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus digali.

“Walau punya Mbappe, Griezmann, Giruoud, dan Alexandre Lacazette Prancis akan sangat membutuhkan waktu untuk menemukan keseimbangan di lin ini.”

Pernyataan Deschamps bisa diartikan sebagai ungkapan bahwa ia belum menemukan formula yang tepat di lini depan.

Piala Dunia bagi Les Bleus

Didier Deschamps telah memperpanjang kontrak hingga 2020 karena membawa Prancis lolos langsung ke Piala Dunia.

Ia punya tugas berat jika tidak ingin mendapat kemalangan di Grup C ketika berjumpa dengan Australia yang akan menjadi kuda hitam, Peru sang pencipta keajaiban, dan Denmark yang mampu meledak seperti dinamit.

Di edisi ke 21 Piala Dunia nanti, Prancis tentu tak ingin terjebak dalam kelamnya kegagalan 6 penampilan mereka yang terhenti di fase grup, terakhir tentu di 2010.

Saat itu, Prancis harus menanggung malu akibat gagal meraih satu pun kemenangan di Grup A menghadapi tuan rumah Afrika Selatan, Uruguay, dan Meksiko. 

Dalam edisi 2014, Deschamps yang sudah menukangi Prancis memberikan perubahan yang cukup baik.

Mereka keluar sebagai juara grup dengan status tidak terkalahkan ketika bersanding dengan Honduras, Swiss, dan Ekuador di fase grup.

Tim yang sudah berpartisipasi di 15 Piala Dunia itu menaklukkan Nigeria di babak 16 besar melalui gol Pogba dan gol bunuh diri Yobo 2-0.

Namun, perjalanan Prancis di Brasil terhenti oleh Jerman, yang kemudian menjadi juara, melalui gol tunggal Matt Hummels.

Melihat kondisi tim nasional Prancis saat ini, PD 2018 tidak akan menjadi pekerjaan yang mudah. Deschamps menyampaikannya kepada Reuters setelah laga akhir kualifikasi.

“Kami tidak benar-benar menyakiti lawan. Sangat penting bagi kami untuk memelajari bagaimana melakukannya.”

Mungkin, Prancis membutuhkan pemain-pemain brilian seperti Zidane, Djorkaeff, Petit, Dugarry, hingga Thierry Henry. Merekalah  yang membantu Prancis memenangi gelar 20 tahun silam.

(Baca Juga: Crespo: Icardi Tak Dipanggil Timnas karena Bukan Teman Messi)

Akan tetapi, setidaknya Prancis telah memulainya dengan baik. Mereka bangkit dengan cepat dari kegagalan menjadi juara di Piala Eropa untuk langsung stabil menuju Piala Dunia.

Faktor ini juga menjadi salah satu hal penting yang dimiliki oleh para pemenang.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P