Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Ironi Barcelona dari Wales, Chairman yang Seharusnya Lengser Keprabon

By Senin, 21 Mei 2018 | 20:47 WIB
Bek Swansea City, Alfie Mawson (tengah), merayakan gol yang dia cetak ke gawang Liverpool FC dalam laga Liga Inggris di Stadion Liberty, Swansea, pada 22 Januari 2018. ( GEOFF CADDICK/AFP )

Sebuah tim asal Wales unjuk kebolehan di Premier League musim 2011/2012 dengan identitas menarik. Kalangan media bahkan berani menyematkan label Barcelona dari Wales untuk tim ini. 

Suguhan rutin di Liberty Stadium disebut menyerupai tiki-taka dengan orang Irlandia sebagai peracik orkestranya. 

Ironi Barcelona dari Wales: Chairman yang Seharusnya Lengser Keprabon

Tepat, Swansea City polesan Brendan Rodgers lah yang mendapat kehormatan menerima puja-puji tersebut.

Belum cukup? Pada masa sebelum Joe Allen di-meme-kan sebagai doppelganger (pemain yang sangat mirip) Andrea Pirlo, ia pada awal kemunculannya justru mendapat julukan The Welsh Xavi berkat kualitasnya di lapangan (bukan karena atribut fisik).

Membalikkan prediksi pandit dengan bertengger di posisi 11 klasemen akhir, sederet performa bagus melawan tim besar, ditambah reputasinya sebagai pelatih muda dengan ide segar membuat Liverpool yang muak ditangani dua pelatih tua—Roy Hodgson dan Kenny Dalglish- menarik Rodgers ke Anfield.

(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)

Tentu saja skuad peninggalan Rodgers yang amat “Spanyol” perlu ditangani juru taktik yang kompatibel.

Pilihan jatuh ke Michael Laudrup, legenda Denmark yang berpengalaman bermain dan melatih di Liga Spanyol. Pendekatan Laudrup semakin membuat

Si Angsa mengangkasa. Sentuhan Laudrup berbuah trofi pertama pada 2012/13 berwujud Piala Liga.

Pemain-pemain Spanyol bercokol di starting eleven dengan Michu (masih ingat?) sebagai aktor utama. Sayangnya, 35 pertandingan liga sejak momen epik di Wembley hanya berhias 8 kemenangan dan justru belepotan 18 kekalahan.

Performa gurem ini membuat manajemen merasa pantas memecat pelatih pemberi gelar pertama dalam sejarah klub.

Formula instan (dalam penggantian manajer) dipakai. Manajemen menunjuk pemain paling senior yang mengapteni tim bertualang di empat divisi, Garry Monk.

Swansea selamat dari degradasi saat musim berakhir dan Monk menunjukkan maginya di musim setelahnya. Gelaran 2014/15 ditunaikan Si Angsa dengan hinggap di posisi 8, mengungguli capaian Rodgers dan Laudrup.

Daily Mail menyebut Monk berhasil mendemonstrasikan keluwesan taktik di sepanjang musim, termasuk kala menghadapi tim-tim mapan.

Namun, sebelas pertandingan pertama di musim berikut hanya berbuah satu kemenangan sehingga Monk pun dilengserkan.

Bisa dibilang pada titik inilah keberuntungan Swansea habis. Mereka menunjuk penyembah taktik asal Italia, Francesco Guidolin, guna mengangkat performa tim.

Ia berhasil untuk kemudian bernasib sama seperti Monk: dipecat semusim berselang.

Pencarian suksesor Guidolin berakhir di kepala plontos trainer dari negeri seberang Atlantik.

Bob Bradley, seorang patriot Amerika Serikat yang sedang menguji diri di Le Havre (saat itu divisi dua Liga Prancis) dipanggil.

Nahas, ia gagap budaya, tidak benar-benar nyetel dengan sepakbola Inggris. Ia di-PHK hanya setelah sebelas pertandingan. Perburuan manajer kembali dilakoni.

(Baca Juga: Final Liga Champions - Makanan Indonesia Siap Sambut Fans Liverpool dan Real Madrid)

Kali ini telunjuk mengarah ke Paul Clement, manajer muda Inggris dengan Bayern Muenchen, Paris Saint-Germain, dan Real Madrid di CV-nya.

Ia mampu memanfaatkan betul tenaga kuda Fernando Llorente dan Gylfi Sigurdsson guna meraih sintas.

Hanya sintas. Llorente dan Sigurdsson dilego di akhir musim tanpa digantikan petarung sepadan.

Nasib Clement praktis mirip Guidolin dan Monk: dipecat semusim berselang.

Demi misi sintas (untuk kesekian kali), Carlos Carvalhal diumumkan memimpin tim.


Manajer Swansea City, Carlos Carvalhal (kanan), bersalaman dengan bek timnya, Martin Olsson, seusai laga Liga Inggris kontra Tottenham Hotspur di Stadion Liberty, Swansea, pada 2 Januari 2018.(GEOFF CADDICK/AFP)

Ia tak punya pengalaman di Premier League tapi bertanggung jawab atas meroketnya status Sheffield Wednesday menjadi penantang promosi di Championship.

Ia sebenarnya mengawali semuanya dengan baik, termasuk mengalahkan Liverpool dan Arsenal, tetapi pada akhirnya kolaps di bulan-bulan pamungkas.

Saya sendiri kadung menyenandungkan ode untuk Carvalhal di Medio Club. Ia semestinya meninggalkan Swansea, dan manajemen dikabarkan mencari manajer muda yang lebih ambisius.

Pledoi Huw Jenkins

Narasi Perjalanan Swansea semenjak promosi di atas menimbulkan pertanyaan menarik.

Bagaimana bisa tim yang menjadi role model pada era Rodgers-Laudrup mengalami dekadensi hingga terlihat tanpa identitas hanya lima tahun setelah meraih Piala Liga?

Klub yang mengorbitkan pelatih Rodgers dan memperindah CV Laudrup bertransformasi hingga gamang mempekerjakan empat pelatih sejak Januari 2016 (tidak menghitung Alan Curtis dan Leon Britton sebagai caretaker).

Kita harus memuji chairman Huw Jenkins selaku bos Swansea yang membawa klub ini promosi (dari League Two) ke Premier League.

Walakin, ia pula yang melakukan sederet kebijakan “korosif” yang malah membawa klub ke pusaran masalah.

(Baca Juga: Jadwal Final Liga Champions 2018 - Real Madrid Vs Liverpool FC)

Kisah Bob Bradley misalnya. Jenkins punya banyak alasan untuk tidak melantiknya kecuali ia punya nol pengetahuan tentang Liga Inggris (ini diakui oleh Bradley sendiri).

The Sun bahkan menyebut kedatangannya ke Wales “mengejutkan” dan terjadi atas “saran” pemilik baru asal Amerika Serikat.

Waktu singkat Bradley terasa konyol sebab, menurut ESPN FC, tren terkini (demi meraih target sintas) justru mengungkapkan kecenderungan klub mengisi pos pelatih dengan bejibun pengalaman di Inggris.

Jenkins pun berusaha melakukannya di Swansea. Penyesalan terbesar dalam rentang panjangnya di Swansea terjadi pada musim panas 2016.

Ia mengaku sudah berbicara tiga kali dengan Brendan Rodgers tetapi tak sanggup menariknya kembali demi apa pun. Kerja sama dengan Guidoulin pun berlanjut, walau akhirnya putus empat bulan kemudian.

Kemungkinan baliknya Rodgers ke Liberty memang tidak menjamin kenyamanan klub di liga, tetapi ia baru saja “menimba ilmu” di Liverpool dan niscaya punya nilai tawar lebih dibanding Bradley atau Guidolin.

Pengangkatan Paul Clement, di sisi lain, sebenarnya merupakan perjudian oleh Jenkins. Clement adalah contoh langka, ia berstatus pelatih lokal terakhir yang saat penunjukkannya belum punya pengalaman menukangi tim Premier League mana pun.

Eks tangan kanan Carlo Ancelotti tersebut hanya pernah menempati pos manajer di Derby County hanya untuk tujuh bulan. Ia mujur di musim pertama mengasuh Swansea hanya untuk digusur pada Desember lalu.

Kritik kepada Jenkins juga menyasar pada kurang jelinya ia dalam perekrutan pemain, terindikasi dari beberapa rekrutan yang tidak banyak memberi faedah.

Sebut saja Borja Baston yang datang dengan mahar 15 juta poundsterling tapi ditendang demi memberi tempat pada jebolan akademi Oliver McBurnie.

Musim panas lalu Swansea berada di deret paling belakang dalam urusan jumlah belanja di Premier League.

Kepada Wales Online, Jenkins berusaha mengungkap realita finansial Swansea.

Kami terbawa ke kondisi itu (kesulitan finansial) karena kami mencoba bertahan hidup di liga.

"Tantangan pertama ketika masuk ke liga ini ialah, kamu rutin menghadapi lingkaran dua-tiga-tahun, dan jika kami ingin mempertahankan pemainmu kamu harus menaikkan gaji mereka.

"Kamu akan menemui saat di mana secara finansial klubmu aman, lalu datang periode ketika ekspektasi meningkat dan kau harus memulai memperbarui kontrak pemain.

"Seperti itu terus menerus. Tantangan itu harus dihadapi semua orang,” ujarnya mengakui.

Sang chairman menjelaskan itulah latar belakang penjualan Jonjo Shelvey pada Januari 2016.

Dua investor asal Negeri Paman Sam datang enam bulan setelahnya. Steve Kaplan dan Jason Levien diterima karena sanggup “memenuhi semua tagihan finansial klub”.

Ketika ditanya mengapa Kaplan dan Levien belum mengucurkan fulus untuk membeli pemain baru—seperti terlihat pada musim panas lalu, Jenkins berkilah, “Secara finansial kami sangat sentosa, lebih dari kapan pun.

Mereka juga tidak mengingkari apa pun yang mereka katakan saat pertama kali datang.

Mereka tertarik membeli klub ini sebab (mereka) melihat bagaimana kami beroperasi, kisah kami, serta perjuangan kami berproses selama bertahun-tahun. Itu menjawab pertanyaanmu, bukan?”

Bagaimanapun alibi Jenkins, klub terlihat kehilangan arah di jajaran paling atas manajemen, itu pun masih ditambah ketidakhadiran duo pemilik dalam operasional klub sehari-hari.

Tempo hari Jenkins pernah berkata, “Saya akan mempertimbangkan mengundurkan diri bahkan jika Swansea selamat.”

Sekarang tim Anda terdegradasi, Mr. Jenkins. Jadi lengser keprabon?

@najmul_ula.

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P