Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Partai final Liga Champion 2017-2018 sudah selesai. Real Madrid menang 3-1 atas Liverpool FC di Stadion Olimpiyskiy, Kiev, Ukrania pada Sabtu (26/5/2018).
BolaSport.com mencoba mengulas taktik kedua pelatih yang beradu di laga tersebut: Zinedine Zidane (Real Madrid) dan Juergen Klopp (Liverpol).
Sebelum partai final Liga Champion 2017-2018, Tabloid BOLA edisi 2.873 memperkirakan Real Madrid akan memulai laga kontra Liverpool dengan sistem 4-3-1-2.
Tujuannya adalah buat mendominasi laga. Di sisi lain, Liverpool dengan 4-3-3 punya formula buat menangkal Real Madrid.
Dampaknya memang begitu. Real Madrid di babak pertama menguasai permainan hingga 65 persen.
Namun, possession sebanyak itu terlihat sia-sia karena Liverpool sanggup menangkal cara bermain Real Madrid.
Di babak pertama, Madrid cuma melepas lima tembakan. Di sisi lain, Liverpool malah bisa membuat sembilan tembakan.
Sistem berlian di lini tengah membuat Madrid bisa menguasai bola, tetapi tak sanggup menciptakan kondisi overload di lini depan.
Padahal, cara ini merupakan kunci bermain Real Madrid.
Walau final Liga Champions 2018 sudah selesai, ada baiknya mengingat kembali seperti apa formasi awal Real Madrid vs Liverpool. pic.twitter.com/WdZFWxzrK3
— BolaSport.com (@BolaSportcom) May 27, 2018
Biasanya, Madrid bakal menciptakan kondisi overload 5 vs 4 di pertahanan lawan dengan mendorong Marcelo dan Dani Carvajal jauh ke depan, plus tiga pemain depan.
Keberadaan Mohamed Salah dan Sadio Mane di kubu Liverpool membuat kedua bek sayap Madrid agak menahan diri.
Kondisi agak berbeda ketika Mohamed Salah cedera dan ditarik keluar.
Marcelo mulai lebih berani ke depan meski Sadio Mane digeser ke sisi kanan.
Tetapi, keberadaan Isco yang memang ditujukan buat menguasai bola di lini tengah justru membuat Real Madrid tak bisa menciptakan kondisi overload.
(Baca Juga: Loris Karius Akan Rasakan Rasa Sakit dalam Waktu yang Lama)
Isco cenderung sering beroperasi antara lini tengah dan belakang lawan, bahkan turun mencari bola hingga lini tengah dan lini depan lawan.
Karim Benzema, Cristiano Ronaldo, Marcelo, dan Carvajal, bisa ditangani dengan baik.
Trio Toni Kroos, Casemiro, Luka Modric, plus Isco juga bisa diantisipasi karena Roberto Firmino turut memberi tekanan pada Casemiro.
Di tengah, duel jumlah pemain sama kuat. Tak ada keadaan overload.
Sejauh ini, prakiraan taktik yang dibahas di Tabloid BOLA edisi 2.873 masih sesuai jalur.
Real Madrid berinisiatif, Liverpool punya cara buat menangkal, sembari memanfaatkan kecepatan serangan balik mereka.
Masih ingat bagaimana formasi ofensif Real Madrid di babak I dalam final Liga Champions 2018? pic.twitter.com/C1fOahuuXl
— BolaSport.com (@BolaSportcom) May 27, 2018
Memulai babak kedua, Zidane sudah mendorong Isco jauh lebih ofensif. Beberapa peluang tercipta.
Kemudian, Madrid mendapatkan gol dari Karim Benzema di menit ke-51. Bukan dari kecermatan taktik, melainkan blunder Loris Karius.
Saat itu, Zidane barangkali akan tetap menggunakan sistem 4-3-1-2.
Sistem itu efektif membuat Liverpool kepayahan mengambil bola. Tak adanya Salah yang cedera menurunkan potensi serangan balik.
Adam Lallana yang masuk menggantikan Salah tak punya kecepatan.
Kisah berbeda bila Klopp memasukkan Alberto Moreno.
(Baca Juga: Catatan Buruk pada Laga Final Bikin Juergen Klopp Sedih)
Zidane berubah pikiran usai Liverpool menyamakan kedudukan berkat gol Mane di menit ke-55 via situasi sepak pojok.
Agar bisa menang, Madrid harus lebih berani menyerang. Caranya seperti biasa: menciptakan situasi overload di lini pertahanan lawan.
Masuklah Gareth Bale di menit ke-61 menggantikan Isco.
Pergantian tersebut tergolong hafalan karena Madrid sudah sering memakai cara seperti ini.
Madrid menjelma menjadi 4-3-3 dengan tiga penyerang bermain sangat sentral.
Liverpool tak punya waktu buat bereaksi karena tiga menit setelah Bale masuk, ia langsung mencetak gol spektakuler.
Gol, yang menurut Klopp penuh dengan keberuntungan, karena tendangan salto biasanya jarang berbuah gol.
Gol itu terjadi karena Bale tak terkawal. Saat akan menerima bola, Lovren terpaku dengan bola. Van Dijk sibuk mengawasi Ronaldo dan Benzema di depannya. Bale? Sendirian!
Inilah formasi kedua tim setelah gol pertama Gareth Bale ke gawang Liverpool di final Liga Champions 2018. pic.twitter.com/uDvtoLm7Nl
— BolaSport.com (@BolaSportcom) May 27, 2018
Andai gol tak secepat itu, Zidane pasti terus mendorong timnya dengan sistem 4-3-3.
Karena misi tercapai secara cepat, Madrid menyelesaikan laga dengan sistem 3-5-2.
Bale lebih berperan sebagai gelandang kanan dan Marcelo berperan sebagai bek sayap kiri.
Sistem ini membuat keseimbangan. Tiga bek tengah Madrid, Ramos, Varane, dan Nacho punya tugas mengawal tiga penyerang Liverpool.
Nacho juga diberikan tugas sesekali naik sebagai bek sayap bila keadaan memungkinkan.
Tiga gelandang sentral Madrid pun menangkal tiga gelandang Liverpool.
Marcelo dan Bale membuat Alexander-Arnold dan Robertson tak bisa jauh-jauh meninggalkan posnya. Ronaldo dan Benzema masih mengganggu Lovren dan Van Dijk.
Kendati tahu timnya kesulitan, Juergen Klopp tak mencoba merombak taktik.
Ia tetap setia dengan 4-3-3. Bahkan, pergantian pemain hanya untuk mengganti personel, bukan taktik. Emre Can masuk menggantikan Milner di menit ke-83.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Berselang beberapa detik setelah pergantian tersebut, Madrid kembali mendapatkan gol via tembakan jarak jauh Gareth Bale, plus blunder Loris Karius.
Usai gol itu, Madrid tinggal memutar bola dan mematikan laga. Skor 3-1 jadi hasil akhir final Liga Champion 2017-2018.
Kesimpulannya, Zidane menjadi pelatih yang proaktif di laga final. Ia setidaknya punya dua hingga tiga rencana permainan, yang meski sudah bisa ditebak, tak diantisipasi dengan baik oleh Klopp.
Juergen Klopp, di sisi lain, terpaku dengan satu sistem.
Klopp bergeming, bahkan ketika pemain terbaiknya Mo Salah, yang membuat sistem 4-3-3 berjalan baik, harus ditarik keluar karena cedera.
Tak ada inisiatif atau keberanian mengubah taktik. Hal ini barangkali terjadi karena terbatasnya opsi pemain.
Pada akhirnya, Liverpool membayar mahal atas blunder Loris Karius dan ketidakberuntungan yang mereka derita.