Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Menonton sepak bola adalah kebahagiaan yang tak bisa dibendung, terserah Anda mau sepakat atau tidak. Setidaknya, itu yang saya dan Robert Plant sepakati.
Saya memang tidak pernah berkenalan langsung dengan Plant. Agak mustahil membayangkan bisa berjabat tangan dengan eks pentolan grup musik heavy metal Inggris, Led Zeppelin itu.
Tapi, saya telah lama berkenalan dengan karya-karyanya. Dengan Black Dog yang juga pernah dibawakan secara komedi oleh grup Warkop DKI. Atau dengan Stairway to Heaven, Immigrant Song, Dazed and Confused, D’yer Mak’er, Misty Mountain Hop, Kashmir, dan karya edan lainnya.
Saya memang tak pernah berkenalan langsung dengan Plant, tapi saya pun tahu kalau dia penggila sepak bola. Lebih tepatnya penggila Wolverhampton Wanderers.
(Baca juga: Besar dan Mati Bob Marley dengan Sepak Bola)
Jika Bob Marley menyimpan rasa cinta yang mendalam terhadap filosofi sepak bola secara umum, Plant adalah musisi dengan fanatisme paling gila terhadap klub yang ia cintai.
Iya, saya tahu Rod Stewart yang mendukung Manchester United, Celtic, dan tim nasional Skotlandia. Saya pun tahu, masih ada Elton John yang menyukai Watford lahir batin, baik secara emosional mau pun finansial.
Tapi Plant berbeda. Di antara kedua nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang pernah punya masalah rumah tangga hanya gara-gara meluangkan waktu menonton sepak bola daripada bermesraan bersama istri dan anak-anak mereka toh?
Plant mengakui bahwa almarhumah istrinya tak begitu menyukai kegilaan suaminya pada sepak bola.
“Saya sangat ingat final itu, hingga menjadi malapetaka bagi pernikahan saya untuk sementara waktu. Ketika Wolves memenangi Piala Liga (League Cup) pada 1974, saya butuh tiga hari untuk pulang dari Wembley ke Worcestershire,” kata Plant, pada tabloid mingguan Inggris, Sunday Mercury.
Kala itu, sepulang menyaksikan final antara Wolves dan Manchester City di Wembley, London, Maret 1974, Plant memang tersesat. “Saya tidak mendapat petunjuk di mana saya berada,” tuturnya.
(Baca juga: Sejarah Piala Dunia, dari 1930 hingga 2014)
Entah apa yang membuat Plant kebingungan kala itu. Yang pasti, keadaan hatinya sangat semringah karena Wolves mengatasi City 2-1, lewat dua gol bikinan gelandang Kenny Hibbitt dan striker John Richards.
Sebagai seorang penggemar Wolves yang berkarier di panggung hiburan, Plant bisa dibilang pintar membagi waktu. Selama tur dunia yang dilalui Led Zeppelin pada 1970-an, Plant tak pernah melewatkan pertandingan Wolves.
Bahkan, beberapa kali ia terpaksa kembali ke Stadion Molineux untuk menyaksikan pertandingan secara langsung. Mangkanya, kegilaan Plant pada Wolves tak dapat diragukan lagi mengingat ia selalu punya waktu di antara padatnya jadwal manggung Led Zeppelin sebagai grup musik heavy metal nomor wahid di era 1970-an.
Selama 1970-1980, mereka melakukan banyak tur luar negeri yang melelahkan dan menciptakan tujuh album. Dan, omong-omong, ketujuh album tersebut selalu menjadi album terlaris nomor satu di Inggris dan AS, kecuali pada album Led Zeppelin IV yang menjadi album terlaris kedua di AS.
Plant akan melakukan segala cara untuk bisa menyaksikan Wolves. Dia tidak peduli siapa dia di mata masyarakat Inggris.
Melepaskan atribut rockstar yang menempel di tubuhnya untuk berangkat ke stadion, bergabung dengan puluhan ribu suporter Wolves lainnya, tanpa takut diserbu fan Led Zeppelin sebagaimana John Lennon yang ditembak mati penggemar fanatiknya.
“Waktu Wolves memenangi Piala Liga saya bersatu dengan 15.000 suporter lainnya. Kami merokok bareng, dan melakukan semua aktivitas layaknya warga biasa. Saya baru saja melupakan fakta bahwa jika saya pergi ke suatu tempat lain di planet ini, saya harus memiliki keamanan,” ujarnya.
Benar apa yang ia bilang. Kala sedang menyaksikan Wolves, Plant terjatuh di antara kerumunan dan hampir mengalami patah kaki. “Saya tak pernah menyesal, karena kejadian buruk itu saya alami ketika Wolves mengalahkan City,” ujarnya.
Melihat Wolves bermain adalah nikmat tak terukur bagi Plant. Sebagaimana konsep kebahagiaan yang akan berujung pada ultimate cause (kerap dikaitkan dengan Tuhan), segala rumus yang terkandung dalam ilmu pengetahuan, termasuk sepak bola, adalah sebab akibat.
(Baca juga: Simak Kota dan Stadion Tuan Rumah Piala Dunia 2018)
Akibat baru lahir jika ada sebab. Sebab di sana akan menjadi akibat karena adanya sebab lain. Begitu seterusnya hingga mentok pada ultimate cause.
Plant tidak pernah tahu mesti menganggap Wolves sebagai apa. “Ya, saya rasa itu agak mirip agama. Tapi saya tidak pernah membawa salib ke dalam setiap pertandingan,” katanya.
"Ini adalah cinta akan sesuatu yang tidak perlu saya jelaskan sendiri. Saya menyukainya sampai mati,” tutur Plant.
Artikel ini saya tulis sambil menunggu sahur, juga menikmati segudang karya Led Zeppelin. Di antara semua karya, saya terhenti pada Stairway to Heaven karena mengandung korelasi dengan konsep kebahagiaan ala Plant:
There's a lady who's sure
All that glitters is gold
And she's buying a stairway to heaven
When she gets there she knows
If the stores are all closed
With a word she can get what she came for
(Led Zeppelin, Led Zeppelin IV, 1971)
Ooh, it makes me wonder. Semoga Plant bukan wanita itu, yang mesti membeli tangga menuju surga untuk menikmati bahagia.