Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
"Sepak bola selalu membantu terjadinya dialog." Kalimat ini meluncur dari mulut Presiden FIFA, Gianni Infantino, dalam acara The Peter Schmeichel Show - yang tentu saja menempatkan kiper legendaris asal Denmark tersebut sebagai pembawa acara - sebagaimana dilansir BolaSport.com dari Russia Today.
Infantino tidak asal cuap. Ia belajar dari pengalaman hidup yang sudah dirasakannya sejak dini.
Lahir di Brig, Swiss, pria plontos berusia 48 tahun ini merupakan anak dari imigran asal Italia.
"Sepak bola membantu menyatukan komunitas Italia dan Swiss di desa tempat saya tinggal," ujarnya.
(Baca Juga: Kapten Timnas Uruguay Tersinggung Gara-gara Mohamed Salah)
Berdasarkan pengalamannya, Infantino percaya betul dengan kekuatan sepak bola untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik kendati tidak serta merta dan mesti bertahap.
Inilah yang, salah satunya, membuat Infantino mengabaikan badai kritik dari sejumlah negara Eropa Barat dan tetap berkunjung ke Iran demi memperjuangkan hak perempuan negeri itu untuk bisa menonton pertandingan sepak bola secara langsung di stadion.
Menurut penulis, bukanlah kebetulan Infantino menonton langsung pertandingan antara klub Esteghlal melawan Persepolis.
Laga bertajuk derbi Teheran yang dihadiri oleh sekitar 95 ribu orang itu berlangsung di Stadion Azadi, yang artinya adalah kebebasan.
Hasilnya memang belum terlihat langsung. Setidaknya pada Mei lalu sejumlah perempuan Iran masih harus menyamar seperti laki-laki untuk menonton langsung pertandingan bal-balan di Stadion Azadi.
Tapi, setidaknya Infantino masih berpegang pada janji pemerintah Iran untuk suatu saat nanti mengizinkan perempuan menonton langsung di stadion.
"Apa yang bisa kita raih bila hanya mengkritik, berselisih dan berdebat, bila kita memblok serta memboikot? Tidak ada. Jika berdialog, mungkin memang hanya sedikit yang bisa dicapai. Tapi, sedikit itu masih tetap lebih baik dibanding tidak sama sekali," tutur Infantino.
"Dan mungkin saja kita tidak mencapai apa pun, tapi kami akan tetap membuka dialog hingga suatu hari kita mendapat hasilnya berkat sepak bola," katanya.
***
Tentu bukan hanya Infantino yang punya keyakinan teguh akan magi sepak bola sebagai pemersatu.
(Baca Juga: Cristiano Ronaldo adalah Alasan Portugal Bisa Menangi Piala Dunia 2018, Begitu Juga Messi di Argentina)
"Kami tahu bahwa sepak bola dapat menyatukan dan kami telah melakukannya. Kami telah mewujudkan tujuan besar untuk menyatukan rakyat Prancis, untuk bangga menjadi orang Prancis," begitu kata eks bintang Timnas Prancis, Christian Karembeu, sebagaimana dikutip BolaSport.com dari CNN pekan lalu.
Karembeu bicara soal efek keberhasilan Timnas Prancis menjuarai Piala Dunia dua dekade silam.
Kala itu, jutaan warga Prancis, tak peduli mereka yang berkulit hitam, putih, atau cokelat, berkumpul bersama merayakan keberhasilan Tim Pelangi, julukan yang diberikan kepada Les Bleus akibat keragaman skuatnya kala itu.
"Fan dan semuanya bersatu, Tak ada rasialisme, tak ada diskriminasi, semua orang berbahagia di Prancis," kenang Marcel Desailly, bek Timnas Prancis kala itu.
Asal-usul etnis para pemain di tim asuhan Aime Jaquet kala itu memang sangat beragam.
Pundak Paul Pogba Penuh dengan Harapan Tinggi Para Pemain Timnas Prancis https://t.co/n1zooLLW82
— BolaSport.com (@BolaSportcom) 15 Juni 2018
Di dalam tubuh David Trezeguet mengalir darah Argentina dari sang ayah, Zinedine Zidane yang keturanan imigram Aljazair, Robert Pires yang punya ayah orang Portugal serta beribukan perempuan Spanyol, Youri Djorkaeff merupakan keturunan Rusia-Armenia, Patrick Vieira yang asalnya dari Senegal, Desailly yang lahir dan tinggal di Ghana sebelum diboyong ke Prancis saat berusia 4 tahun oleh ayah tirinya, hingga Thierry Henry dan Lilian Thuram yang berasal dari Guadalupe.
Ketika Les Bleus mengamankan laga puncak Piala Dunia 1998 dengan kemenangan 3-0 atas Brasil, tak kurang dari 1-1,5 juta orang berkumpul di Champs-Elysees, jalanan yang terkenal sebagai kawasan belanja di Kota Paris itu.
Laki-laki, perempuan, orang tua, anak-anak, kulit putih, kulit hitam, hingga keturunan Arab berkumpul dan bergembira bersama tanpa sekat.
"Jalanan penuh, bahkan di atap-atap rumah di Arc de Trioomphe. Hitam, putih, sungguh perpaduan yang bagus, momen yang luar biasa," ujar Pires.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Timnas Spanyol di Fase Grup)
Timnas Prancis kala itu membuktikan betapa keragaman bisa menjadi kekuatan hebat dan bukan komoditas politik untuk memecah belah rakyat.
Saat itu, Prancis memang tengah digoyang oleh isu rasialisme setelah Jean-Marie Le Pen, politisi sayap kanan yang juga pemimpin Partai Front Nasional, mengatakan bahwa keragaman di timnas kala itu menunjukkan bahwa Les Bleus bukanlah Prancis yang sesunguhnya.
Le Pen bahkan menyebut beberapa anggota skuat tidak layak mengenakan kostum kebesaran Prancis, terutama mereka yang tidak menyanyikan lagu kebangsaan negara di pertandingan.
Bagaimana rakyat Prancis kemudian menyikapinya? Ya itu tadi, bergembira bersama-sama tanpa memikirkan asal-usul dan perbedaan satu sama lain.
Bahkan banyak masyarakat Prancis sampai berteriak: "Pilih Zidane jadi presiden".
"Pada akhirnya, kami sama-sama orang Prancis dan kami berjuang demi bendera yang sama. Hal ini membawa semangat positif bagi seluruh negeri," ucap Desailly.
***
Di sisi lain, orang Jerman pasti tahu betul apa yang dirasakan warga Prancis 20 tahun silam itu.
Kala menjuarai Piala Dunia 2014, Jerman memetik hasil dari kebijakannya menjangkau kantung-kantung komunitas imigran di negerinya lewat sepak bola.
Bertahun-tahun sebelumnya mungkin sulit membayangkan orkestrasi permainan Tim Panser dipimpin seorang Muslim berdarah Turki dalam diri Mesut Oezil, betapa gelandang Jerman totok seperti Bastian Schweinsteiger bisa begitu padu dengan pemain keturunan Turki macam Sami Khedira, atau pemain dengan garis keturunan Ghana seperti Jerome Boateng atau berdarah Albania macam Shkodran Mustafi bisa dipercaya mengawal lini belakang timnas.
(Baca Juga: Piala Dunia 2018 - Jadwal Lengkap Grup E, Brasil Punya 1 Musuh Berat)
Nyatanya, itulah yang terjadi dan sejak itu, kendati tetap menerima sejumlah cobaan, Timnas Jerman tetap bangga dengan keragaman yang mereka miliki.
Sebetulnya, bukan cuma Prancis dan Jerman yang bisa mengubah keberagaman menjadi kekuatan besar.
Lihat juga tim seperti Swiss, yang menjadi lebih tangguh dengan keberadaan pemain seperti Xerdan Shaqiri (keturunan Kosovo
Albania), Granit Xhaka (muslim keturunan Kosovo-Albania), Johan Djorou (Pantai Gading), Ricardo Rodriguez (Spanyol-Cile), dan banyak pemain keturunan lainnya.
Begitu pun Belgia, yang kini menjadi kuda hitam berkat generasi emas semacam Vincent Kompany (setengah Kongo), Yannick Carrasco (Portugal-Spanyol), Mousa Dembele (keturunan Mali dari sang ayah), Romelu Lukaku (Kongo).
Warna pelangi di Belgia bisa bertambah seandainya Radja Nainggolan yang punya darah Indonesia tersebut dibawa ke Rusia.
Bahkan, percayakah Pembaca bahwa keragaman, atau mungkin keberhasilan merangkul keberagaman, merupakan salah satu elemen untuk meraih sukses?
Lihat saja komposisi tim semifinalis di Piala Eropa 2016.
Sepasang tim yang takluk di babak 4 besar, yakni Jerman dan Wales, masing-masing memiliki 10 pemain yang punya garis keturunan dari negara berbeda.
Prancis, yang harus kalah di partai puncak, merupakan tim dengan pemain keturunan terbanyak di turnamen tersebut (15 orang).
Adapun sang juara Portugal diperkuat 12 pemain keturunan, termasuk Eder, sang pencetak gol tunggal di partai puncak yang lahir di Bissau, Republik Guinea-Bissau.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Bagaimana dengan Rusia 2018? Akankah pelangi kembali merekah di ujung turnamen? Kita lihat saja nanti.
Tapi setidaknya, bila Prancis, Jerman, Swiss, Belgia, hingga Portugal sudah memetik manfaat dari keberagaman, lantas mengapa kita - warga Indonesia - terpecah semata karena politik praktis pemilihan presiden hingga - konyolnya - jalan tol?