Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Keputusan Mesut Oezil mundur dari tim nasional Jerman masih jadi topik hangat di negara pemenang Piala Dunia empat kali tersebut. Alasannya: ada sentimen rasialisme di balik keputusan Mesut Oezil.
Dalam pernyataannya yang terbagi dalam tiga bagian, Oezil mengatakan bahwa dia menjadi sasaran sentimen rasialisme setelah tampil buruk pada Piala Dunia 2018 yang berujung Jerman gagal lolos dari penyisihan grup.
Oezil menyebut Presiden DFB, Reinhard Grindel, dan sejumlah pihak lain yang dinilai melakukan diskriminasi rasial terhadapnya dengan menyinggung-nyinggung soal asal-usulnya yang lahir dari keluarga Turki.
Persoalan tersebut seperti menambah panas kontroversi saat Oezil berfoto dengan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, pada Mei lalu.
Masalahnya, Erdogan bukan figur populer di Jerman karena kebijakannya yang represif, termasuk kepada media massa.
Oezil sendiri sudah memastikan bahwa dia bukan mendukung kebijakan Erdogan, melainkan karena dia ingin menghormati asal-usul keluarganya yang berasal dari Turki.
(Baca juga: Duit Bukan Magnet Utama Penarik Pemain Bintang ke Liverpool)
Tidak ada yang membantah bahwa penampilan Oezil di Piala Dunia 2018 tidak meyakinkan. Jangankan mencetak gol, assist atas namanya saja tidak ada.
Bukan catatan yang pantas untuk seorang pemain yang kerap dijuluki sebagai raja assist di level klub. Bukan juga catatan yang elok untuk sosok yang sudah membela Jerman di dua Piala Dunia sebelumnya.
Namun, menjadikan Oezil sebagai satu-satunya kambing hitam kegagalan Jerman di Rusia 2018 jadi terasa aneh, tidak mengenai akar persoalan, dan “sangat tidak Jerman.”
Bandingkan ketika Der Panzer gagal di Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. DFB ketika itu melakukan perombakan di tubuh skuat mereka, dimulai dari penunjukan pelatih baru, sampai ke pengalihan fokus untuk membina pemain muda.
Lompat hampir dua dekade kemudian, ketimbang mengevaluasi kerja pelatih Joachim Loew, atau menganalisis soal kinerja tim keseluruhan, DFB--dalam hal ini Grindel dan manajer tim Oliver Bierhoff--memilih menyebut Oezil-lah oknum paling bertanggung jawab untuk kegagalan Jerman.
Mesut Ozil na Rais Recep Tayyip Erdogan wa Uturuki... Uchawi ulianzia hapa wa Wajerumani pic.twitter.com/Cf15QsAwlw
— SHARO GANGSTAR (@SharoGangstar) 23 Juli 2018
Hal lain yang juga menjadikan polemik Oezil ini jadi terasa tidak biasa ialah karena adanya sentimen rasialis yang mengiringi.
Sosok Oezil adalah bukti relasi sentimental antara Turki dan Jerman. Turki adalah satu pengirim Gastarbeiter (pekerja tamu) terbesar di Jerman usai Perang Dunia II.
Pekerja Turki ini tidak semuanya pulang ke negara mereka, tetapi ada yang menetap di Jerman dan membawa keluarga mereka, untuk kemudian beranak-pinak di negara tersebut.
Di masyarakat Jerman, Oezil termasuk golongan generasi ketiga imigran Turki, yang lahir dan besar, serta membaur dengan kultur Jerman.
(Baca juga: Mesut Oezil soal Rasialisme di Jerman: Apa Bedanya Saya dengan Klose dan Podolski?)
Figur seperti Oezil ini yang kemudian menjadi contoh bagaimana integrasi di Jerman berjasa membentuk tim nasional Jerman menjadi tim yang kuat dan disegani, bersama dengan nama-nama lain seperti Sami Khedira (Tunisia) dan Jerome Boateng (Ghana).
Soal keputusannya berfoto dengan Erdogan, bisa jadi Oezil melakukan blunder dengan gesture yang tidak populer di mata publik Jerman.
Namun, menyalahkan Oezil dan tidak melindungi Oezil dari serangan golongan konservatif Jerman jadi tidak sejalan dengan prinsip integrasi dan anti-rasialis yang didengung-dengungkan oleh tim nasional selama beberapa tahun terakhir.
Dalam pernyataannya, Oezil terang-terangan mengungkit pernyataan Grindel pada 2004 yang menyebut bahwa multikulturalisme hanyalah mitos dan kebohongan, serta sikapnya yang menolak kebijakan paspor ganda untuk warga keturunan imigran seperti Oezil.
Jerman boleh jadi terus berusaha menghapus kenangan kelam mereka di masa kejayaan Adolf Hitler dan Holocaust-nya, dengan kampanye anti-rasialis, anti-neo NAZI ataupun kampanye untuk menggalakkan integrasi.
Namun, nuansa rasialis dalam polemik Oezil seperti jadi bukti bahwa Jerman tidak lepas dari politik identitas, seperti yang terjadi ketika Amerika Serikat memilih Donald Trump sebagai presiden atau saat mayoritas warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa dalam kasus Brexit pada 2016.
Mesut Oezil sudah memutuskan: dia tidak akan kembali ke tim nasional Jerman selama dia masih merasa tidak nyaman dan aman.
Dengan usianya yang akan menginjak 30 pada Oktober 2018, saya tidak akan berharap dia segera kembali mengenakan seragam Jerman.
Anti-klimaks? Jelas. Jerman kehilangan salah satu pemain besarnya, bukan karena dia cedera atau dimakan tua, tetapi karena dia tidak nyaman saat membela negaranya.
Nun jauh dari Jerman, kita di Indonesia punya diaspora masyarakat yang mungkin lebih kaya dari mereka karena terdiri atas beragam suku dari Sabang sampai Merauke, dengan beragam latar belakang keluarga, ras, dan agama.
Saya hanya berharap, kalau Indonesia sepak bolanya sudah sebagus Jerman, tidak ada kasus ketika seorang pemain harus meninggalkan tim nasional karena persekusi atas identitas dirinya, baik itu suku, ras, atau agamanya.
Dengan contoh yang sudah ada, seharusnya kita mau kan belajar?