Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Mantan petenis putri nasional, Yayuk Basuki mengatakan bahwa membubarkan Satlak Prima atas kegagalan Indonesia mencapai target SEA Games 2017 bukanlah solusi.
Padahal, kegagalan tersebut lebih kepada persoalan pasokan anggaran yang berada di Kemenpora sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
"Semuanya kan sudah jelas kok bahwa kegagalan Indonesia di SEA Games 2017 itu terjadi karena persoalan anggaran yang berada di Kemenpora selaku KPA. Jadi, Menpora janganlah cuci tangan dan mencari "kambing hitam" dengan mengorbankan Prima. Lantas dimana tanggung jawabnya?," tanya Yayuk Basuki seperti dikutip Bolasport.com dari Tribunnews.com, Senin (9/10/2017).
"Menpora sendiri kok yang berbicara di Raker. Bukan hanya siap bertanggung jawab tetapi Satlak Prima akan diusulkan menjadi Satker tersendiri. Kenapa sekarang justru berbalik jadi Satlak Prima yang dikorbankan?," tuturnya.
Dalam hal ini, kata Yayuk, dirinya bukan berarti membela Satlak Prima. Tetapi, sebagai mantan atlet nasional yang tahu persis kebutuhan atlet, dia wajib meluruskannya.
Yayuk yang pernah menembus peringkat 20 besar dunia ini mengaku salah seorang anggota Komisi X yang menyoroti soal pemangkasan birokrasi saat Raker dengan Kemenpora.
"Sorotan saya soal pemangkasan jalur birokrasi itu adalah pertama kenapa atlit itu kalau ingin try out atau Trainning Camp (TC) ke luar negeri harus ada izin dari Sekretariat Negara (Setneg). Atlet itu kan bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) jadi tidak perlu diwajibkan. Berbeda dengan saya sebagai anggota DPR atau pejabat pemerintah ya memang harus melalui mekanisme itu," jelasnya.
Atlet menjalani try out dan mengikuti suatu turnamen di luar negeri, jelas Yayuk, bukan berdasarkan undangan tetapi mendaftar. Contohnya, atlit bulutangkis dan tenis. Mereka harus aktif mengikuti turnamen di luar untuk mengasah kemampuan sekaligus mengejar peringkat.
"Terlalu riskan kalau mereka menjalani try out harus ada izin ke Setneg yang terkadang baru turun dalam hitungan minggu bahkan bulan. Jalur birokrasi model begini yang jelas mengganggu kan harus dipotong," katanya.
Kemudian, kata Yayuk, masalah keuangan yang terlambat dikucurkan karena terhambat birokrasi.
"Saya banyak sekali menerima aduan dari atlit beberapa cabang olahraga, kenapa uang akomodasi banyak yang belum turun. Terus terang, masalah dana akomodasi ini saja belum tuntas sampai sekarang padahal SEA Games 2017 sudah selesai," urainya.
Semua kendala tersebut, ungkap Yayuk, bukan berada di Satlak Prima melainkan di Kemenpora. Sebab, Satlak Prima tugasnya membuat program dan mendesain agar cabang-cabang olahraga mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Selain itu, kata Yayuk, keberadaan Satlak Prima sangat dibutuhkan dalam pengawasan. "Cabang-cabang olahraga tidak semuanya jujur dan perlu pengawasan. Kok, Satlak Prima yang bertugas untuk itu justru malah dikorbankan," ujarnya.
Sama halnya dengan mantan Deputi Kemenpora Joko Pekik Irianto, Yayuk juga sepakat terlalu riskan jika pemerintah membubarkan Satlak Prima mengingat waktu pelaksanaan Asian Games 2018 hanya tinggal 11 bulan lagi.
"Kalaupun ada induk-induk organisasi (PB/PP) yang mengatakan wah sekarang bagus anggaran akan langsung turun itu perlu juga diingatkan. Masalah pertanggungjawaban dana APBN itu berat dan tidak semua PB/PP akan mampu," ungkapnya.
Terkait pernyataan Sesmenpora Gatot Dewa Broto yang menyebutkan akan melibatkan KONI Pusat dalam melakukan verifikasi atlet, kata Yayuk, KONI tidak perlu dilibatkan lagi karena sudah tidak lagi terlibat dalam pembinaan atlet elit.
"KONI itu fungsinya untuk program pembinaan jangka panjang. Jadi, KONI tidak perlu dilibatkan karena Satlak Prima lah yang paling memahaminya," tandasnya.
Ke depan, kata Yayuk, perlu adanya revisi UU Sistem.Keolahragaan Nasional (SKN) menyangkut peran KONI, KOI, dan Satlak Prima.
"Saya menyoroti setidaknya ada 3 pasal yang perlu diamandemen setelah Asian Games.2018. Yakni, peran KONI, KOI dan Satlak Prima," selorohnya.