Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pebulu tangkis tunggal putri Indonesia, Gregoria Mariska Tunjung, menjadi Juara Dunia Junior 2017. Gelar juara didapat setelah mengalahkan Han Yue (China), 21-13, 13-21, 24-22 di GOR Among Rogo, Yogyakarta, Minggu (22/10/2017) lalu.
Bagi Gregoria, ini merupakan kejuaraan dunia junior keempat atau terakhir yang diikutinya. Saat ini, dia berusia 18 tahun.
Keberhasilan ini membuat sang ibunda, Fransiska Dwi Hastuti merasa bangga. Dia mengenang saat Gregoria kecil mulai mengenal bulu tangkis sejak berusia 5 tahun.
"Dia sering melihat Ayahnya bermain bulu tangkis. Saat itu, dia bermain di jalan. Keinginan jadi pebulu tangkis muncul saat dia menyaksikan film Lim Swie King. Saya izinkan dia bermain bulu tangkis karena tidak mau Gregoria belajar karate karena dia anak perempuan," tutur Fransiska.
"Gregoria anaknya sangat aktif. Daripada khawatir dia bermain di tepi kali. Lebih baik saya arahkan ke olahraga," aku Fransiska.
Saat kelas 1 SD, Gregoria mulai dilatih sang Ayah, Gregorius Maryanto bermain bulu tangkis dan mulai dimasukan ke klub AUB Surakarta.
"Dari situ, Gregoria sering kami ikutkan pada kejuaraan open dan hasilnya cukup bagus," ujar Fransiska.
Bakat Gregoria membuat pelatih asal Klaten mempromosikan dia untuk dilatih di klub Mutiara Cardinal Bandung saat kelas 4 SD.
Gregoria sebenarnya diminta bergabung sejak kelas 4 SD. Namun, karena dianggap usianya masih sangat kecil untuk tinggal di asrama, perempuan kelahiran 1999 masih tinggal bersama orangtuanya di Wonogiri.
(Baca juga: 20 Pemain Asing Siap Ramaikan IBL 2017-2018 )
"Dia baru ke Bandung saat mempersiapkan diri mengikuti turnamen. Baru saat kelas 5 SD dia tinggal di asrama Mutiara," ucap Fransiska.
"Saat Gregoria tinggal di asrama, saya sampai tidak bisa tidur nyenyak selama tiga bulan. Tetapi, kami selalu berkomunikasi. Selama di asrama, Gregoria tidak pernah mengeluh. Dia anaknya kendel (berani), jadi gampang kenal dengan siapa saja," kata Fransiska.
Fransiska kerap menjenguk Gregoria selama dua bulan sekali.
"Kadang lebih cepat dari itu saya ke Bandung karena Gregoria seringkali kehilangan ATM ha-ha-ha. Jadi, saya kesana untuk mengurus ATM baru. Gregoria anaknya suka teledor, sering lupa menyimpan barang," ucap Fransiska.
Pada 2013, Gregoria meraih lima gelar sirkuit nasional (sirnas) yang mengantarnya masuk pelatnas. Selama di pelatnas, Fransiska jarang berkunjung ke Cipayung.
"Gregoria sibuk mengikuti turnamen, jadi saya jarang menengoknya. Kalau ada kesempatan ke Cipayung, biasanya dia minta dibawan kacang mete untuk dibagikan kepada teman-temannya. Wonogiri dikenal sebagai penghasil kacang mete," tutur Fransiska.
Fransiska juga jarang menyaksikan Gregoria bertanding secara langsung. Saat kejuaraan dunia lalu, dia hanya menyaksikan aksi anaknya lewat telepon seluler (ponsel).
"Gregoria melarang saya dan Papanya menonton langsung agar dia bisa lebih konsentrasi," ujar Fransiska.
Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Kabid Binpres) PB Mutiara Cardinal Umar Djaidi mengatakan bahwa saat mulai dibina pada kelas 5 SD, Gregoria menunjukkan semangat pantang menyerah.
"Meski bermain di kategori yang lebih tinggi dari usianya, dia sering menjadi juara. Anaknya juga cepat beradaptasi meski sempat kerepotan karena belum bisa mengikat tali sepatunya sendiri," tutur Umar.
Saat itu, Gregoria dilatih oleh Jefri Franalis. Jefri kerap kali diminta tolong untuk mengikat tali sepatu Gregoria saat berlatih.
(Baca juga: Rinov Rivaldy: Saya Ingin Jadi Juara Dunia Senior, All England, dan Olimpiade)
"Selama di Mutiara, dia berbeda dari pemain lain seusianya karena tidak pernah mengeluh. Dia selalu menyelesaikan program latihan dengan baik," ucap Jefri.
"Gregoria juga cepat kenal dengan orang lain. Prestasi yang dia dapat sebanding dengan hasil di pertandingan," kata Jefri.
Setelah kejuaraan dunia, Gregoria mulai fokus ke pertandingan level senior. Dia dijadwalkan mengikuti Makau Terbuka yang akan digelar 28 November-3 Desember.