Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pada awalnya edisi Selasa dibikin berbeda, lebih ke segmen anak muda. Namun, beberapa lama kemudian kami tidak membedakan lagi kedua edisi tersebut.
Namun, cobaan datang. Resesi ekonomi sempat membuat BOLA kelimpungan.
Alhasil, biaya yang membengkak membuat dinas luar negeri ditekan. Namun, BOLA tetap berusaha memberi yang terbaik dan memuaskan pembaca dan mengirim tiga wartawan ke Piala Dunia 1998, termasuk saya sendiri.
BOLA bisa menjadi besar karena royalitas pembaca dan daya tarik tersendiri yang BOLA miliki.
Hal ini cukup menarik karena walaupun sudah ada televisi, internet yang sudah gratis, tapi BOLA masih tetap menjadi tabloid olahraga utama di Indonesia.
Semua itu juga berkat bantuan Tuhan yang membimbing dalam semua perjalanan BOLA.
Kontribusi BOLA ke olahraga nasional juga cukup baik, kritik dari kita sering diterima, minimal jadi bahan pemikiran dan wacana.
BOLA juga mengkritik demi kebaikan, perubahan demi kemajuan, sehingga kadang tidak pandang bulu. Niat kami hanya untuk memajukan olahraga Indonesia."
Mas Sumo menggeluti profesi wartawan selama 30 tahun, di mana ia meliput langsung ke 30 negara di 4 benua termasuk Piala Dunia 1998, 1990, dan 1986, SEA Games 1977-2003, dan Australia Terbuka.
Mas Sumo menjadi saksi langsung gol "Tangan Tuhan" Diego Maradona. Seperti semua orang, ketika itu ia tidak langsung sadar bahwa Maradona telah menceploskan si kulit bundar dengan tangannya.
Pria kelahiran Kutoarjo pada 8 Juli 1944 ini menyampaikan ke BolaSport.com bahwa wawancara favoritnya adalah dengan Maradona sendiri dan Mike Tyson.
Selama kariernya, ia juga pernah bertemu langsung ikon-ikon dunia olahraga lain seperti Sir Stanley Rous (eks Presiden FIFA), Pele, Johan Cruyff, dan Franz Beckenbauer.
Ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid BOLA dari 1984 hingga 2004.
Selain itu, namanya tercatat pada beberapa organisasi keolahragaan seperti SIWO PWI, PB ISSI, hingga KONI.
Selamat tinggal Mas Sumo!