Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Football is Still Coming Home

By Dwi Widijatmiko - Sabtu, 14 Juli 2018 | 05:52 WIB
Harry Kane (kiri), Jordan Pickford (tengah) dan Harry Maguire (kanan) saat menyanyikan lagu kebangsaan Inggris sebelum laga kontra Kroasia di Stadion Luzhniki, Kamis (12/7/2018). (HERKA YANIS PANGARIBOWO/TABLOID BOLA)

 Langkah timnas Inggris dalam upaya menjuarai Piala Dunia 2018 akhirnya tamat.    

Inggris kalah 1-2 dari Kroasia di babak semifinal, Rabu (12/7) di Luzhniki Stadium, Moskow.

The Three Lions jadi hanya akan bermain dalam pertandingan perebutan tempat ketiga menghadapi Belgia, Sabtu (14/7) di St. Petersburg.

Dengan cepat antusiasme menghilang.

Jargon “Football is Coming Home” yang meledak dalam beberapa hari terakhir berubah menjadi “England is Going Home”.

Akan tetapi, seiring dengan kekalahan Inggris di semifinal, benarkah hasil ini sebuah kegagalan lagi buat The Three Lions? Saya bilang tidak 100 persen.

Selama berada di Rusia 2018, timnas Inggris besutan Gareth Southgate telah menunjukkan bahwa tim ini bukan lagi sebuah lelucon seperti di Piala Dunia 2014 atau Piala Eropa 2016.

Banyak mengandalkan bola mati, tapi yang penting ada gameplan yang jelas.

Ada pula bakat, semangat, kesolidan tim, dan determinasi yang mereka tunjukkan.

Di tengah kekecewaan batal menembus final, Inggris rasanya masih bisa mengklaim bahwa “Football is Still Coming Home”.

Timnas Inggris tetap membawa pulang sesuatu, walaupun bentuknya memang bukan trofi idaman yang terakhir kali diraih pada 1966.

Sesuatu itu adalah keyakinan sekaligus konfirmasi bahwa sepak bola Inggris sudah berkembang ke arah yang benar. Bahwa timnas mereka memiliki masa depan.

(Baca Juga: Gary Neville Jelaskan Alasan Mengapa Keran Gol Harry Kane Macet)

Konfirmasi itu sudah disusun Inggris dalam beberapa tahun terakhir.

Tahun lalu, timnas-timnas junior Inggris menjadi juara di turnamen internasional elite.

Inggris U-20 di Piala Dunia U-20, Inggris U-19 di Piala Eropa U-19, dan Inggris U-17 di Piala Dunia U-17.

Ditambah generasi Harry Kane, Dele Alli, John Stones, dan Jordan Pickford di Piala Dunia 2018, ada indikasi bahwa Inggris punya stok talenta yang top.

Kondisi ini boleh jadi adalah buah yang dipetik Inggris setelah sekitar seperempat abad yang lalu mereka membuka pintu lebar-lebar buat pemain dan pelatih asing masuk ke Liga Inggris.

Prosesnya tidak instan dan ada pula isu pemain serta pelatih asing terlalu mendominasi.

Tapi, pelan-pelan pemain dan pelatih asing itu menularkan budaya sepak bola mereka ke Inggris.


Ekspresi pelatih Inggris, Gareth Southgate, usai timnya dikalahkan Kroasia dengan skor 1-2 di babak semifinal Piala Dunia 2018, Kamis (12/7/2018) di Luzhniki Stadium.(HERKA YANIS PANGARIBOWO/TABLOID BOLA)

Kini anak-anak muda Inggris tidak lagi mengacu hanya pada kick and rush, gaya tradisional sepak bola Inggris.

Mereka sudah mengadaptasi gaya negara-negara sepak bola top di Eropa daratan.

Dari operan-operan pendek Spanyol sampai pertahanan rapat Italia.

Di Piala Dunia 2018, Inggris memang belum sempat bertemu tim-tim terkuat di planet ini.

Namun, dari apa yang ditunjukkan Harry Kane dkk., misalnya performa di babak pertama kontra Kroasia, rasanya siapapun akan mengalami kesulitan jika bertemu Tim Tiga Singa.

Dulu ada ujar-ujar “tidak ada yang takut pada Inggris”, tapi sekarang seharusnya “Inggris juga tidak perlu takut pada siapapun”.

Inilah yang dibawa pulang timnas Inggris dari Rusia, yang membuat mereka masih bisa menyebut “Football is Still Coming Home”.

(Baca Juga: Jadwal Final dan Tempat Ketiga Piala Dunia 2018, Live Trans TV & Trans 7)

Publik Inggris boleh berharap bahwa pencapaian sampai babak semifinal seperti di 2018 akan lebih sering terjadi lagi di masa depan.

Saya setuju dengan apa yang ditulis salah satu kolomnis Daily Mail selepas kekalahan Inggris dari Kroasia.

“Kalian membuat kami tersenyum, membuat kami bangga, membuat kami percaya. Semua dari kalian adalah seorang pahlawan. Tidak ada trofi kali ini, tapi rasanya seperti sebuah awal dari sesuatu yang bisa menjadi kebiasaan bagi orang-orang Inggris.”