Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Luka Modric mengaku bangga dinobatkan sebagai pemain terbaik di Piala Dunia 2018 meski timnya, Kroasia, gagal menjadi juara.
Kroasia harus puas menjadi runner-up seusai mengalami kekalahan 2-4 melawan Prancis pada laga final yang berlangsung di Stadion Luzhniki, Minggu (15/7/2018).
Berkat penampilan impresifnya selama perhelatan yang berlangsung di Rusia tersebut, Modric pun dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Di balik prestasi gemilang itu, Modric rupanya menyompan sederet kisah pilu dalam perjalanan hidupnya.
Lahir di Zadar, Kroasia, pada 9 September 1985, masa kecil Modric penuh dengan konflik karena bertepatan dengan Perang Kemerdekaan Kroasia pada tahun 1991.
Ketika perang semakin intensif, keluarganya terpaksa melarikan diri dari konflik dan ayahnya mendaftarkan diri menjadi tentara nasional.
Pada bulan Desember 1991, ketika Modric berumur enam tahun, dia dan keluarganya terguncang oleh tragedi ketika kakeknya, bersama dengan enam warga sipil lansia lainnya dieksekusi oleh pemberontak Serbia yang merupakan bagian dari polisi SAO Krajina di desa Jesenice.
Rumah mereka dibakar habis.
Modric dan keluarganya dipaksa hidup sebagai pengungsi selama tujuh tahun di Hotel Kolovare.
Mereka kemudian pindah ke Hotel Iz yang dikelilingi oleh suara granat meledak dan pecahan kaca.
Modric masih ingat betul dengan momen sulit dalam hidupnya itu.
Sepak bola hanya menjadi media pelarian diri dari konflik mengerikan yang melanda Kroasia pada awal tahun sembilan puluhan, lapor MailOnline.
When he was 6, his grandfather was shot dead.
His family became refugees, in a warzone.
He grew up to the sound of grenades exploding.
Coaches said he was too weak and too shy to play football.
Today, Luka Modric just led Croatia its first ever #WorldCup final.#CROENG pic.twitter.com/plOsy9nQcq
— Muhammad Lila (@MuhammadLila) July 11, 2018
Seorang juru bicara untuk Hotel Kolovare pernah menyatakan:
"Modric telah memecahkan lebih banyak kaca di jendela hotel daripada apa yang telah diledakkan oleh bom."
"Dia bermain sepak bola non-stop di sekitar aula hotel."
Sebelum karirnya di lapangan hijau sukses besar seperti saat ini, Modric juga menemui banyak kendala.
Tim sepak bola Kroasia HNK Hajduk Split memilih untuk tidak mengontrak Modric karena dinilai terlalu muda dan tidak memiliki otot yang kuat sebagai seorang profesional.
(Baca juga: Cantiknya Kekasih Raja Umpan Timnas U-19 Indonesia, Bikin Hati Adem Ayem)
Tapi kini Hajduk Split boleh jadi menjadi pihak yang paling menyesal dengan keputusannya.
Setelah memulai karier dan menandatangani kontrak dengan sang pesaing, Dinamo Zagreb, Modric menjadi juara Liga Kroasia tiga kali, dua kali juara Piala Kroasia dan satu kali memenangi Piala Super Kroasia.
Modric kemudian pindah ke Tottenham Hotspur di mana ia menjadi andalan dan kunci kebangkitan klub London Utara, dengan menorehkan 159 penampilan.
Mantan manajer Spurs, Harry Redknapp menggambarkannya sebagai:
"Neraka bagi musuh dan mimpi seorang manajer. Dia berlatih kesetanan dan tidak pernah mengeluh."
"Ia akan bekerja dengan dan tanpa bola di lapangan dan bisa mengalahkan pemain belakang dengan tipuan atau dengan umpan."
"Dia bisa masuk ke tim mana pun di empat besar."
Pada tahun 2012 Modric menandatangani kontrak dengan Real Madrid, di mana ia dengan cepat memantapkan dirinya di tim utama di bawah asuhan Carlo Ancelotti, dan kemudian Zinedine Zidane yang di akhir musim 2017/2018 mengangkat trofi Liga Champions untuk tahun ketiga berturut-turut.
(Baca juga: Beredar Foto Mohamed Salah Liburan di Pantai dengan Wanita Seksi, Publik Langsung Dibikin Geram)
Tak heran bila Modric tampak emosional ketika Kroasia menang 2-1 atas Inggris di semifinal Piala Dunia 2018.
Kini ia siap mencapai level yang lebih tinggi, menjadi juara baru di ajang berikutnya.