BOLASPORT.COM - Kejayaan prestasi atlet panjat tebing Indonesia di kancah internasional menyita perhatian negara lain.
Selain menyorot para atlet, pelatih timnas
panjat tebing Indonesia, Hendra Basyir, juga kebanjiran pujian.
Hendra menjadi rebutan China dan Jepang untuk mengisi pelatihan pelatih speed di negara masing-masing. Saat ini, dia sedang berada di China untuk mengisi kursus atau pelatihan pelatih dengan dirinya sebagai pemateri utama.
"Awalnya setelah kita mendapat 2 emas di worldcup, Jepang langsung meminta saya mengisi pelatihan pelatih di negaranya. Tidak lama setelah itu, China juga minta, teapi waktunya duluan China," ujar Hendra dalam siaran pers yang diterima BolaSport.com.
Pelatihan tersebut digelar di Sports Center of Guangzhou Higher Education Mega Center, Guangzhou selama 10 hari yakni pada 2-12 Maret.
Pelatihan ini diikuti 57 peserta dengan rincian 46 pelatih dan 11 atlet.
Mereka adalah seluruh pelatih
panjat tebing di China selain pelatih timnas sebab saat ini para pelatih timnas China sedang sibuk dengan latihan semacam pelatnas.
Hendra menyebutkan bahwa jadwal pelatihan sangat padat dari pukul 08.00-22.00 waktu setempat yang dia isi dengan materi kelas dan praktik.
Selain Hendra, ada juga 6 orang profesor dan doktor bidang olahraga dari Beijing Sport University yang mengisi bidang psikologi.
"Mereka mau menggali dari sisi keilmuan kenapa speed climbing kita keren, dan juga didatangkan profesor untuk mengisi beberapa sesi. Tapi pemateri utamanya saya selama 10 hari," ujar pria yang akrab disapa Coach Hendra ini.
Meski mengajari pelatih negara lawan, Hendra tak mengurangi penyaluran ilmu yang ia miliki. Apa yang ia sampaikan sama dengan yang ia terapkan dan dijalankan di timnas
panjat tebing Indonesia. Tak ada kekhawatiran prestasi atlet speed Indonesia di kancah internasional tergeser.
"Kekhawatiran itu hanya bagi pecundang, bagi orang-orang yang tidak optimis," ujar Hendra.
Menurut Hendra, dengan mengajari pelatih China, dia bisa belajar ilmu-ilmu yang lain dia tidak mengalami kerugian.
"Dibanding budaya di Indonesia, mereka benar-benar mau belajar. Setiap hari kami berdiskusi meskipun terkendala bahasa karena mereka banyak yang tidak bisa Bahasa Inggris," katanya.