Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Penangkapan Pemuda Tegal yang menghina Gibran Rakabuming Raka dinilai ICJR (Indonesia Choice for Justice Reform) sebagai blunder besar kepolisian.
Geliat Gibran Rakabuming Raka di dunia sepak bola nasional, khususnya gelaran Piala Menpora 2021 mendapat tanggapan miring dari seorang warganet.
Usai diresmikan sebagai walikota Solo, Gibran sempat meminta secara langsung kepada PT Liga Indonesia Baru (LIB) supaya semifinal dan final Piala Menpora 2021 bisa digelar di Solo.
Permintaan itu disampaikan Gibran saat PT LIB melakukan inspeksi ke Stadion Manahan pada Kamis (11/3/2021).
Gibran yakin Solo siap memberikan yang terbaik di Piala Menpora 2021.
Baca Juga: RESMI - Timnas Indonesia Batal Tanding Lawan Bolivia, PSSI Bantah Kirim Undangan
“Kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan.”
“Kami juga berharap pertandingan semifinal dan final bisa digelar di Stadion Manahan,” kata Gibran Rakabuming Raka.
Pemberitaan ini mendapat cibiran dari warganet, salah satunya berinisial AM yang berasal dari Slawi, Kabupaten Tegal.
Dalam kolom komentar di akun Instagram @garudarevolution, AM meninggalkan komentar yang bernada mengolok-olok Gibran soal pengetahuan sepakbolanya.
"Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja," tulis AM lewat akun Instagram pribadinya, @arkham_87, pada Sabtu (13/3/2021) pukul 18.00 WIB.
Komentar singkat itu membuat AM diciduk oleh polisi virtual karena pernyataannya dinilai bermuatan hoaks dan penghinaan.
Polisi baru melepaskan AM setelah yang bersangkutan menghapus komentarnya dan meminta maaf kepada publik.
Ucapan permintaan maaf AM juga sudah diunggah di akun Instagram resmi Polresta Surakarta, Senin (15/3/2021).
"Dengan ini saya meminta maaf kepada Bapak Gibran Rakabuming Raka dan seluruh masyarakat Kota Surakarta," ucap AM seperti dikutip Bolasport.com.
Penangkapan AM oleh Polisi Virtual Polresta Surakarta turut menuai kritik dari Direktur Indonesia Choice for Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu.
Mengutip dari Kompas.com, Erasmus menyatakan kepolisian seharusnya tak melakukan penangkapan tersebut.
"Menunjukkan bahwa memang masalah utama, selain UU ITE harus direvisi adalah pemahaman aparat soal individu dan jabatan. Ini problem karena pasal yang diduga enggak nyambung," kata Erasmus.
Bila dianggap menghina, maka seharusnya melalui proses delik aduan.
Dalam hal ini, secara pribadi Gibran tidak mengadu karena dihina oleh seseorang.
"Pertama, penghinaan harus delik aduan, apakah Gibran Mengadu? Kedua, masuk Pasal 28 Ayat 2 (UU ITE), dimana ujaran kebenciannya? Enggak ada kan? Ujaran itu kan disampaikan pada Gibran sebagai individu, bukan golongan masyarakat tertentu," ujarnya.
Bila sudah dilakukan, maka penegakan hukum kembali seperti masa kolonial di mana seorang pejabat tidak boleh disinggung.
"Kalau begini sama saja kembali ke jaman kolonial. Jaman pejabat enggak boleh disinggung, dianggap punya kekuasaan mutlak, Mahkamah Agung sudah ingatkan itu saat menghapus delik penghinaan presiden," tambahnya.