Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Tarung ekshibisi catur Dadang Subur a.k.a Dewa Kipas dengan WGM Irene Kharisma Sukandar berakhir tanpa kejutan. Dewa menyerah dalam duel tiga babak, 0-3.
Duel Dewa Kipas lawan Irene Sukandar disaksikan lebih dari 1,25 juta penonton di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Senin (22/3/2021).
Partai ekshibisi ini begitu dinanti khalayak karena dianggap menyelesaikan spekulasi liar perihal kemampuan asli Dadang Subur, pemilik akun Dewa Kipas di Chess.com.
Hasilnya mungkin sesuai prediksi arus utama. Dadang, si pecatur amatir yang mengasah otak di 'jalur indie' lewat tanding antarwarga dan lingkup daring, menyerah telak dari seorang Grandmaster.
Irene Sukandar, atlet jempolan Tanah Air dengan reputasi internasional, membuktikan bahwa segala fase tempaan, pelatihan, serta kompetisi berbagai jenjang yang dijalani di level kompetitif mendatangkan hasil sepadan.
Dadang bukannya tidak jago. Skill-nya bahkan diakui GM Susanto Megaranto, salah satu komentator duel, walaupun levelnya tak sebanding.
Hanya, dia mengaku tak terbiasa jika diadu dalam atmosfer kompetitif, di mana pada duel ini setiap peserta diberi waktu berpikir 10 menit.
Baca Juga: Duel Catur, Dewa Kipas Dilibas Grandmaster Irene Sukandar
Waktu terbatas sepertinya bikin Dadang merasa strategi dan segala teorinya tak bisa maksimal dipraktikkan.
Bidak-bidaknya bergerak "liar", makanya dia sendiri ngaku banyak bikin blunder.
"Mungkin levelnya hampir master nasional. Permainan Dadang berkembang pada babak kedua, tapi kembali melakukan blunder pada pertengahan," kata Susanto.
Terlepas dari segala kontroversi serta siapa yang menang dan kalah, harus diakui duel Dewa Kipas vs WGM Irene Kharisma Sukandar ini mengangkat lagi animo khalayak terhadap catur.
Papan Catur Andrea Pirlo
"Anda bermain sepak bola dengan kepala (pikiran) dan kaki Anda dipakai untuk membantu."
Kutipan di atas dilontarkan mendiang legenda besar Belanda, Johan Cruyff.
Sering dipakai sebagai analogi sepak bola dengan catur, di mana kedua cabor ini sama-sama menggunakan otak/pikiran sebagai sumber utama.
Pemain diibaratkan bidak, dan lapangan jadi papan penerapan konsep.
Soal konsep pikir dan filosofi taktik ini, tak ada yang lebih obsesif daripada Italia.
Kalau soal aplikasi strategi terhadap intelegensi permainan di lapangan, mungkin Andrea Pirlo mewakili golongan pemain S3 atau bahkan kelas profesor di masa jayanya.
Baca Juga: Juventus Ambyar di Liga Champions, Andrea Pirlo seperti Sopir Pemula Dikasih Mobil Ferrari
Baca Juga: Dapat Baju GOAT, Cristiano Ronaldo Mandul dan Malah Bonyok Kena Lutut Pemain 1,9 Meter
Tesisnya pas lulus kursus kepelatihan tahun lalu saja berjudul "Sepak Bola yang Saya Inginkan" atau "Sepak Bola Menurut Saya". Kurang obsesif apa coba?
Inti hasil bedah otaknya itu, Pirlo ingin memanifestasi dua fondasi vital dalam sebuah konsep gim modern: sepak bola menyerang frontal dengan basis penguasaan bola optimal.
Tujuannya bermain kolektif dan total, di mana 11 pemain terlibat aktif dalam fase menyerang dan bertahan.
Dalam konsepnya, tim memakai pola 2-3-5 atau 3-2-5 saat menyerang, dan ketika diserang, striker harus menjadi tameng pertama di barisan terdepan.
Pemain tidak lagi terpaku sesuai satu posisi, melainkan harus bisa memainkan berbagai peran di lapangan.
Dengan buah pikir meyakinkan ini, Pirlo dipinang Juventus sebagai pelatih. Langsung, tanpa CV menukangi tim mana pun sejak terjun ke bidang ramu strategi.
Beberapa hal memang sejauh ini berada dalam trek. Termasuk soal pemakaian ragam formasi dan opsi penempatan pemain yang begitu variatif.
Ide memainkan duo Federico, Chiesa dan Bernardeschi, sebagai wingback merupakan salah satu perwujudan konsep all-attack ala Pirlo yang terinspirasi dari Cruyff.
Baca Juga: Andrea Pirlo ke Juventus: Semuanya gara-gara Pep Guardiola (1)
Baca Juga: Andrea Pirlo ke Juventus: Bukan Gambling, melainkan Planning (2)
Seperti Dewa Kipas, Pirlo mungkin memiliki konsep dan teori paten yang ideal di kepalanya.
Namun, seperti Dewa Kipas juga, Pirlo tak memiliki modal cukup guna mewujudkannya jadi realitas.
Algoritma daring bisa digocek, tapi di lapangan tempur sebenarnya banyak variabel tak terduga bakal terjadi dan berpengaruh. Tidak semuanya bisa diukur.
Sepak bola itu seperti catur. Satu langkah yang ditempuh akan memengaruhi langkah-langkah berikutnya.
Di laga kontra Benevento, Minggu (21/3/2021), bidak-bidak catur Pirlo pun kerap bergerak liar.
Skuadnya mumpuni secara materi, tapi kalah lugas dan cerdas dari Filippo Inzaghi.
Inzaghi mungkin belum level Grandmaster, tapi seperti halnya Irene, dia jauh lebih matang dalam hal jam terbang dan tempaan berjenjang di ajang kompetitif.
Inzaghi lebih dulu mencicipi atmosfer dunia kepelatihan, merasakan keringat pedas dan perihnya dipecat klub besar, sampai tekanan psikologis turun kasta melatih klub-klub minor.
Pirlo memang tetap mengusung spirit all-attack dengan menurunkan 5 pemain menyerang sekaligus: Cristiano Ronaldo, Alvaro Morata, Dejan Kulusevski, Chiesa, hingga Bernardeschi sebagai full-back ofensif.
Tapi Inzaghi realistis. Dengan menumpuk 5 gelandang + 3 bek, dia membangun pagar berlapis 8 pemain outfield di wilayah permainan sendiri.
Dengan begitu, soal kuantitas, Inzaghi menguasai wilayah sentral yang juga menjadi kunci dominasi gim catur.
Bendungan ini memaksa Juventus melakukan 72 persen serangan dari kedua sisi lapangan. Cuma sedikit dari tengah.
Akhirnya, dalam kondisi buntu, salah satu pion Pirlo, Arthur Melo, melakukan satu langkah blunder.
Umpan tersesat eks Barcelona itu dipotong Adolfo Gaich hingga melahirkan gol.
Satu langkah fatal yang menentukan hasil keseluruhan.
Di luar kekalahan menyakitkan tersebut, toh bukan berarti skill melatih Pirlo juga tidak bagus.
Keampuhan menumbangkan Barcelona dan membawa klub ke final Coppa Italia menunjukkan si pelatih muda ini punya prospek menjanjikan.
Tinggal perihal konsistensi strategi dan waktu saja yang jadi sorotan.
Barangkali pula, seperti halnya berharap Dewa Kipas mengalahkan Irene, melihat Juventus meraih scudetto bersama Pirlo bakal menjadi sebuah kejutan.
Itu dengan catatan jika laju performa mereka masih seperti ini dan duo Milano tidak mengendur sampai akhir musim.
Dan, terlepas dari siapa yang juara dan yang kalah, harus diakui pula kehadiran Andrea Pirlo musim ini bikin Liga Italia tidak monoton lagi bagi khalayak.