Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Jeka Saragih mendapatkan kritik karena tingkahnya yang dianggap berlebihan saat final Road to UFC. Namun, apa yang dilakukan Jeka sejatinya merupakan bagian penting dari MMA.
Jeka Saragih menuai sorotan karena aksi memancing lawan saat melawan Anshul Jubli dalam final divisi kelas ringan Road to UFC pada 4 Februari lalu.
Beberapa kali Jeka mengeluarkan gestur mengejek seperti memasang wajah dan menjulurkan lidah seolah menantang Jubli untuk memukulnya.
Tingkah mantan juara kelas ringan One Pride MMA ini juga terlihat sebelum laga, tepatnya saat face-off setelah timbang badan.
Setelah menghampiri Jubli dengan menaruh telunjuk di depan mulutnya, Jeka membuat gerakan mengiris leher untuk mengganggu mental sang rival.
Akan tetapi, psywar Jeka tidak berhasil. Dia dipaksa mengakui keunggulan Jubli setelah kalah TKO pada ronde kedua.
Dominasi lawan dalam gulat sejak ronde pertama menyulitkan petarung berusia 28 tahun itu untuk mengeluarkan permainannya.
Sikap "tengil" Jeka yang sayangnya berujung kekalahan menimbulkan kritik yang mengalir deras kepadanya.
Pembelaan dikeluarkan oleh Fransino Tirta selaku CEO One Pride MMA, kompetisi yang diikuti Jeka sebelum mendapatkan kontrak pertarungan dari UFC.
Baca Juga: Kata-kata Pertama Jeka Saragih Sebagai Jagoan Pertama Indonesia di UFC
Pria yang turut mendampingi Jeka dan petarung-petarung Indonesia lainnya di Road to UFC ini menyebut apa yang dilakukan Jeka merupakan hal yang lumrah.
Petarung memang tak hanya dituntut untuk kuat, tetapi juga menampilkan karakter kuat agar membuat orang-orang mengenalinya.
"Penting sekali, karena karakter itulah yang membuat orang-orang menoleh, untuk melihat," kata Fransino kepada BolaSport.com di sela-sela acara One Pride Fight Night 66.
"Masyarakat Indonesia masih sangat minim untuk mengetahui akan MMA."
"Kalau petarung tidak punya karakter, maka masyarakat Indonesia yang tidak mengetahui MMA, tidak akan melihat."
"Memang ketengilan, kesombongan atau kerendahan hati, karakter apapun harus diperlihatkan. Tanpa karakter, pemirsa tidak akan menonton," terangnya.
Pernah berkecimpung di dunia MMA sebagai petarung, Fransino menyebut semua petarung pada dasarnya memiliki kepercayaan diri dalam dirinya.
Kepercayaan diri inilah yang mendorong seorang petarung untuk berlaga.
"Kalau dia bertarung, dia pasti yakin sudah menang, makanya memilih untuk bertarung," sahut sosok yang pernah mendapatkan tawaran kontrak dari UFC ini.
Baca Juga: RESMI - Eko Roni Saputra Tantang Jagoan Ranking 3 Kelas Terbang ONE Championship
"Karakter itu yang ingin kita lihat, kepercayaan diri itu yang ingin dilihat. Kemudian motivasinya dan semangat yang tidak mau kalah."
Fransino mengungkapkan bahwa kesadaran untuk membangun citra diri ini yang belum dimiliki sebagian petarung-petarung Indonesia.
Mereka justru menyembunyikan kepribadian sebenarnya.
Padahal sisi lain inilah yang juga ingin dilihat penggemar, termasuk untuk menjangkau mereka yang belum mengenal MMA.
Olahraga bela diri pun tidak terlepas dari tokoh-tokoh ikonik yang memiliki karakter unik seperti Muhammad Ali dan Mike Tyson di tinju hingga Conor McGregor di MMA.
"Tujuan kami adalah membuat petarung One Pride ini menjadi bintang," kata Fransino.
"Banyak petarung kita yang 'jaim', jaga image. Saat ditanya soal pertarungan mereka bilang, 'Saya biasa-biasa saja.'"
"Alhasil, petarungnya hebat, latihannya keras, fisiknya luar biasa, tapi dia jaim sehingga orang-orang yang tidak kenal menjadi tidak mau menonton."
Baca Juga: Rekap Hasil UFC 284 - Saat 2 Petarung Terkuat Terpacu untuk Tingkatkan Kualitas Diri
"Padahal masih ada jutaan masyarakat Indonesia yang belum kenal dia."
"Karena kalau sudah melihat dia bertanding pasti jatuh cinta karena memang pertarungan ini sangat primal.
"Melihat dua petarung mempertaruhkan karier, nyawa, ekonominya di atas cage, tidak ada yang lebih menegangkan dan menyenangkan daripada menonton itu."