Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
BOLASPORT.COM - Saya menangkap kesan istimewa terhadap sosok Franz Beckenbauer dalam momen tatap muka dengan sang legenda.
Sebuah kesempatan langka saya dapatkan nyaris sedekade silam untuk mewawancarai langsung Franz Beckenbauer.
Ia hadir dalam peluncuran sebuah produk Adidas, November 2014.
Enam puluh sembilan tahun usianya ketika itu.
Lumayan gugup karena saya akan bertatap muka dengan salah satu tokoh hebat dalam sejarah sepak bola.
Julukannya saja Der Kaiser. Sang Kaisar yang memimpin timnas Jerman (kala itu Jerman Barat) menaklukkan dunia dan Eropa era 1970-an.
Dia adalah pionir munculnya posisi libero dalam sejarah taktik permainan sepak bola.
Visi dan skill sepak bola pria kelahiran 11 September 1945 itu dianggap maju beberapa tahap dari kolega sezamannya.
Wajar kalau Beckenbauer termasuk golongan superstar ataupun GOAT pada masanya.
Tambahkan prestasi jawara Piala Dunia sebagai pelatih dan beberapa titel lain pasca-banting setir, makin paripurna-lah kariernya.
Karena itu, kalau mau sombong dengan segala kebesarannya pun, dia bisa saja melakukannya.
Namun, semua dugaan tersebut menguap saat bertatap muka.
Menggunakan setelan jas rapi sembari dikelilingi stafnya, Beckenbauer tak ragu melempar senyum duluan.
Wewangian aroma woody kadang-kadang semerbak dari jarak satu langkah yang memisahkan kami.
"Halo," katanya sembari menganggukkan kepala kepada kami dan bersalaman.
Perangainya sangat ramah, tidak seperti kebanyakan orang Jerman yang dingin.
"Guten Tag. Wie geht es Ihnen (selamat siang, bagaimana kabar Anda)?" ucap saya mencoba menyalami dengan sapaan simpel bahasa Jerman.
"Baik. Kamu bagaimana?" balas Beckenbauer dengan bahasa yang sama.
"Sangat baik," jawab saya.
"Kamu bicara bahasa Jerman?" tanya Der Kaiser lagi.
"Saya pernah belajar dulu, tapi..." ucap saya belum selesai membereskan kalimat.
"Ah, bagus. Di sini, di Jakarta?" katanya menyela.
"Ya, tapi saya sudah beberapa tahun tidak mengobrol dengan bahasa ini, jadi agak-agak lupa," jawab saya lagi.
"Ya, ya. Karena itulah orang harus rajin melatih bahasa. Kalau tidak ada kesempatan, tentu saja orang bisa lupa," ujar legenda top Bayern Muenchen dalam kondisi sudah duduk di sofa berwarna cokelat tua.
Basa-basi yang biasa, tapi membuat sesi tanya jawab jadi akrab dan mengalir enak.
Pada sesi itu, hanya tiga media yang diundang dalam interviu.
Kami mengajukan beberapa pertanyaan yang dijawab Sang Kaisar secara antusias dengan bahasa Inggris bercampur aksen dan kosa kata Jerman.
Tanpa sedikit pun ia menunjukkan diri sosok sekondang itu.
Salah satu yang paling umum menyinggung komparasi Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Kala itu kompetisi Messi-Ronaldo sedang runcing-runcingnya karena bumbu rivalitas mereka di El Clasico.
"Pele, Maradona, Messi, dan Ronaldo. Siapa terbaik?" tanya saya.
"Itu susah karena berbeda generasi. Saya satu generasi dengan Pele," jawab Beckenbauer.
"Bagi saya, dia adalah pemain terbaik dalam sejarah permainan sepak bola. Dia nomor satu."
"Bersama Ronaldo, Messi adalah pemain terbaik di dunia sekarang ini. Mereka kini ada di level yang sama."
"Saya tak akan mengatakan itu (siapa lebih baik), tapi beberapa tahun lalu Messi memenangi 4 gelar beruntun Ballon d'Or (2009-2012)," tuturnya.
"Bagaimana dengan Franz Beckenbauer?" kata saya.
Tanpa berkata-kata, langsung dia menggeleng-gelengkan kepala sembari menggoyangkan telunjuk.
Tanda kerendahan hati Sang Kaisar karena merasa tak layak berada di jajaran pesepak bola terbaik sepanjang masa, padahal fakta berkata sebaliknya.
"Jerman tak perlu membutuhkan Beckenbauer berikutnya. Kami memiliki tim yang luar biasa. Apalagi posisi yang saya mainkan dulu juga tidak eksis lagi zaman ini," ujarnya.
Dari maksimal 8-10 menit saja yang dijatahkan panitia, malah Beckenbauer sendiri yang menambah waktunya jadi hampir seperempat jam.
Pengelola acara beberapa kali melihat arloji dan bersiap menutup sesi, tapi sang legenda memberikan gestur untuk melanjutkan wawancara dan membagi cerita.
Dia tambah bersemangat ketika mengisahkan masa lalunya, terutama berkaitan dengan jenama yang dia usung, Adidas.
Ingatannya pun sangat tajam saat mengilas balik kejadian 60 tahun silam.
"Pada 1964, pelatih kami Helmut Schoen mengumpulkan talenta terbaik dari seluruh penjuru negeri untuk seleksi," kenang peraih dua trofi Ballon d'Or.
"Saya termasuk di antaranya bersama Guenter Netzer dari divisi dua. Pada kamp latihan itulah saya bertemu Adi Dassler, pendiri Adidas."
"Dia memberi saya secara pribadi sepasang sepatu. Mendapat sepatu itu rasanya seperti mimpi. Saya tak akan pernah melupakan momen tersebut."
"Seiring waktu, saya semakin dekat dengan dia dan keluarganya. Setiap pelatihan atau pertandingan, Adi selalu di sana dan memberi kami contoh sepatu."
"Gerd Mueller adalah tipe pemain yang suka memakai sepatu lebih berat. Sementara saya perlu sepatu seperti ini (menunjuk produknya), tapi ini tidak eksis di generasi kami."
"Sepatu zaman dulu jauh lebih berat. Jadi saya selalu minta kepada Tuan Dassler, tolong bikin sepatu lebih ringan, lebih ringan lagi."
"Dan dia pun menciptakan sepatu sesuai permintaan kami," kata pahlawan hattrick gelar Piala Champions untuk Bayern pada 1974-1976.
Seiring waktu, identitas Kaiser pun melekat erat sebagai produk ikonis dan bersejarah milik apparel top setrip tiga asal Bavaria.
Kini ikon terbesar sepak bola Jerman yang rendah hati itu telah tutup usia.
Minggu (7/1/2024), Franz Beckenbauer meninggal dunia dalam usia 78 tahun di Salzburg, Austria.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjalani dua kali operasi jantung dan berjuang melawan penyakit parkinson serta demensia, atau penurunan daya ingat dan cara berpikir.
Selamat jalan, Kaisar. Terima kasih atas 15 menit yang mengesankan itu.