Pada malam 27 April 1993, kejadian miris menimpa timnas sepak bola Zambia. Pesawat yang mereka tumpangi jatuh di samudera atlantik, tepatnya di sebelah barat Gabon.
Berpindah dari kota ke kota lain, dari negara ke negara lain, atau dari benua ke benua lain, kesebelasan sepak bola harus merasakan itu untuk melakoni sebuah pertandingan.
Jika jarak tempuh terlampau jauh transportasi pesawat menjadi pilihan utama yang digunakan.
Namun tak selamanya tim yang menumpang pesawat bisa hadir di pertandingan, karena maut bisa menyapa di tengah perjalanan mereka.
Tidak hanya satu atau dua kali sebuah tim sepak bola terlibat dalam kecelakaan pesawat.
Segar dalam ingatan kita tentang kecelakaan pesawat LaMia Flight 2933 yang menewaskan sebagian besar pemain klub sepak bola Brasil, Chapecoense, pada tahun 2016.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini - Roy Keane Akhiri Karier Gelandang Man City)
Saat itu mereka hendak melakoni final Copa Sudamericana di Medelin, Kolombia, melawan Atletico Nacional.
Dari kecelakaan itu hanya tiga pemain Chapecoense yang selamat, yakni bek kiri Alan Ruschel, kiper cadangan Jakson Follmann, dan bek tengah Neto.
Juga jangan lupa tentang kejadian tragedi Muenchen 1958 yang menewaskan beberapa pemain muda Manchester United asuhan Matt Busby yang hendak bertanding di final Liga Champions.
Dua kejadian itu hampir sama, yakni melenyapkan pemain dalam tim yang sedang berada di puncak prestasi.
Selain kedua insiden tersebut, pada 27 April 1993 kejadian yang kasusnya sama menimpa timnas Zambia.
Bila Chapecoense menyisakan tiga orang pemain (serta ada pemain cadangan yang tak ikut) dan Manchester United memiliki korban selamat sebanyak 10 orang (termasuk pelatih Matt Busby), di insiden pesawat DHC-52 Buffalo berbeda. Seluruh penumpang yang berjumlah 25 penumpang beserta lima kru pesawat dinyatakan tewas.
Pesawat tersebut terjatuh di samudera atlantik sekitar lima ratus meter dari daratan, tepatnya di pesisir Libreville, Gabon.
Timnas Zambia saat itu hendak menuju Dakar, Senegal, untuk melakoni laga kualifikasi Piala Dunia 1994.
Menurut laporan BBC pada 2003, penyebab dari jatuhnya pesawat DHC-52 karena adanya kerusakan mesin pendorong sebelah kiri yang membuat pilot mematikan mesin pesawat.
Tetapi karena buruknya lampu indikator ia malah mematikan mesin di sebelah kanan, pesawat pun kehilangan daya untuk terbang sehingga terjatuh dan menewaskan seluruh penumpang.
Namun meski begitu masih ada dewi fortuna masih menyelimuti timnas Zambia di tragedi tersebut.
Kapten sekaligus bintang timnas Zambia, Kalusha Bwalya, tidak berada di pesawat itu.
Saat itu Bwalya terbang dengan pesawat lain usai memperkuat klub Belanda, PSV Eindhoven.
Selain Bwalya, masih ada pemain bintang Zambia yakni Charles Musonda yang tak ikut dalam penerbangan itu.
Ayah dari pemain Chelsea, Charly Musonda, absen memperkuat Zambia karena tengah menderita cedera saat ia memperkuat klub Belgia, Anderlecht.
Timnas Zambia sendiri saat itu diperkuat generasi emas mereka.
#ThisDayinHistory #April27 1993 - All members of the #Zambia national football team are killed in a plane crash off Libreville, #Gabon pic.twitter.com/jipdluvctd
— Kafui Dey (@KafuiDey) 27 April 2018
Pencapaian mereka yang paling fenomenal adalah saat melumat Italia 4-0 dalam ajang Olimpiade di Korea Selatan pada 19 September 1988.
Italia kala itu diperkuat calon bintang Liga Italia Serie A seperti Stefano Tacconi, Ciro Ferrara, dan Angelo Colombo.
Kalusha Bwalya di pertandingan menjadi pusat perhatian karena mencetak tiga gol.
Bwalya sendiri terkejut timnya bisa mengalahkan jawara Piala Dunia itu namun ia dengan perasaan optimis membanggakan pencapaian timnya.
"Zambia adalah raksasa yang sedang tertidur. Hanya negara kecil dalam urusan sepak bola, tetapi kami adalah tim Afrika pertama yang mengalahkan kekuatan dari Eropa dengan cara yang meyakinkan," kata Bwalya dikutip BolaSport.com dari laman FIFA.
Zambia di babak grup Olimpiade Korea 1988 cabang sepak bola menempati posisi satu di atas Italia, Irak, dan Guatemala.
Perlawanan mereka kandas 0-4 oleh Jerman Barat di perdelapan final.
Meski tak meraih posisi terbaik nama Zambia melejit, terutama Bwalya yang masuk dalam nominasi pemain terbaik FIFA pada 1996.
Pasca tragedi seluruh anggota timnas Zambia yang wafat dikuburkan di taman makam pahlawan dekat Stadion Independence, Lusaka.
(Baca Juga: Sejarah Hari Ini, Bus Timnas Togo Diberondong Peluru)
Monumen penghormatan didirikan pemerintah untuk mereka yang dikebumikan di taman makam pemakaman itu.
Selain monumen, sebuah video dokumenter mengenai tragedi pesawat juga dibuat oleh pria asal Spanyol, Juan Rodriguez-Briso.
Video dokumenter itu berjudul Eighteam yang rilis pada 2014.
Sementara itu dengan kondisi yang compang-camping timnas Zambia berusaha merebut jatah tampil di Piala Dunia 1994 tetapi gagal bersaing dengan Maroko.
Di tahun 1994 mereka juga gagal merebut gelar juara Piala Afrika meski rakyat Zambia menaruh hormat untuk timnas mereka yang dianggapnya berjuang bak pahlawan.
"Meskipun kami kalah saya anggap ini adalah kenangan indah karena kami baru saja lepas dari tragedi di Gabon," kata Bwalya pada BBC.
"Setelah kehilangan seluruh tim, kami membangun kembali dan mencapai final yang menjadi pencapain hebat."
Zambia saat itu kalah di final melawan Nigeria yang kelak meraih emas di Olimpiade 1996 yang berlangsung di Amerika Serikat.
Nigeria yang diperkuat pemain yang nantinya merumput di benua Eropa seperti Emmanuel Amunike, Jay-Jay Okocha, dan Sunday Oliseh menang 2-1 atas Zambia.
Bertahun-tahun membangun kembali tim terbaik, Zambia akhirnya bisa meraih prestasi pada 2012.
Melawan Pantai Gading yang diperkuat Didier Drogba, Gervinho, dan Toure bersaudara, Yaya dan Kolo, Zambia menang adu penalti 8-7.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | Dari Berbagai Sumber |
Komentar