Indonesia bakal menghadapi Islandia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (14/1/2018). Laga ini seharusnya jadi lumbung ilmu bagi tim nasional.
Soal kesuksesan menata regenerasi, infrastruktur, dan sumber daya manusia dalam sepak bola, Islandia sudah layak dijadikan contoh oleh Indonesia.
Kiprah timnas Islandia melaju ke Piala Dunia 2018 merupakan fakta paling mudah yang mencerminkan sistem sepak bola mereka sangat maju.
Soal luas wilayah dan jumlah penduduk, tak perlu disangsikan lagi bahwa Indonesia unggul jauh atas Islandia.
Menurut data The Guardian yang dikutip BolaSport.com pada 2016, negara Islandia hanya memiliki pembulatan total 330.000 penduduk.
Jumlah itu bahkan kurang dari angka penduduk gabungan Kecamatan Cengkareng dan Kalideres (kira-kira 370.000 orang).
(Baca Juga: Praktik Pagi-Sore, Begini Keseharian Pelatih Islandia sebagai Dokter Gigi)
Keberadaan penduduk yang minim tak menghalangi Islandia berprestasi, termasuk dalam sepak bola.
Justru persentase bakat unggul dari jumlah orang secuil itu jadi mudah ditemukan.
Selain ditopang sistem regenerasi dan infrastruktur memadai, kemajuan sepak bola Negara Es juga merupakan buah kemunculan pelatih-pelatih berkualifikasi top.
Sadar tak punya kultur yang kuat soal bal-balan, rakyat Islandia harus bekerja ekstrakeras dibandingkan masyarakat negara populer lain dalam pendidikan sepak bola.
Sejak 2002, Asosiasi Sepak Bola Islandia (KSI) giat merevolusi infrastruktur dan metode kepelatihan di negara mereka.
Dulu, para pelatih Islandia ramai-ramai berguru ke Inggris demi mendapatkan lisensi kepelatihan UEFA.
Situasi sudah berbeda sekarang berbekal ilmu dari luar yang diaplikasikan ke dalam negeri.
Negara Es fokus kepada produksi pelatih-pelatih lokal dengan mengadakan kursus UEFA di ibu kota Islandia, Reykjavik.
Hasilnya, lebih dari 800 orang memegang lisensi UEFA dan 185 kepala di antaranya memiliki lisensi tingkat A yang prestisius.
Mengingat Islandia memiliki populasi sekitar 330.000 orang, artinya 1 dari 1.793 orang penduduk mereka punya lisensi A.
Sebagai perbandingan, Inggris hanya memiliki rasio 1 per 44.537 orang yang memiliki kualifikasi tersebut.
Kini, Islandia justru menjadi salah satu negara referensi dalam bidang terapan ilmu kepelatihan melihat kemajuan drastis sepak bola mereka.
Sejak 2017, ada program tahunan Iceland Coach Development Workshop sebagai media pembelajaran mengenai sistem sepak bola negara Eropa Utara tersebut untuk umum.
Peserta tur edukasi ini akan dibekali ilmu mengenai filosofi Islandia membangun sepak bola mereka dari generasi akar rumput, cara mengelola perkembangan pemain muda, klub, materi latihan, hingga kunjungan ke fasilitas olahraga kelas top.
"Anda tak bisa sukses tanpa pemain yang bagus, tapi tim kami saat ini sudah dikembangkan oleh pelatih-pelatih Islandia selama 10-15 tahun terakhir," kata Heimir Hallgrimsson, pelatih timnas Islandia.
Hallgrimsson yang berprofesi lain sebagai dokter gigi mengungkapkan bahwa para pesepak bola wanita terbaik bahkan dilatih bersama pemain pria hingga usia 16 tahun.
"Pelatih sepak bola layak mendapatkan kredit. Sebanyak 70 persen dari kami punya lisensi B UEFA dan 23 persen lisensi A. Mereka mengembangkan semua pemain dari berbagai grup usia dan gender," katanya kepada Daily Record.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Seperti diberitakan BolaSport.com pada 4 Januari 2018, sampai saat ini Indonesia sangat kekurangan pelatih yang memiliki lisensi AFC Pro Diploma.
Hal ini menjadi peringatan bagi PSSI.
Sebab, klub-klub di kasta tertinggi di Asia sudah harus ditangani pelatih yang memiliki lisensi AFC Pro Diploma pada 2020.
Instruktur pelatih Sutan Harhara membeberkan bahwa Indonesia sudah tertinggal bila dibandingkan Singapura, Malaysia, dan Thailand.
(Baca Juga: Keren! Egy Maulana Vikri Setara Pemain Real Madrid Ini Dalam Daftar Pemain Muda Terbaik di Dunia)
Mereka sudah memiliki sejumlah pelatih lisensi AFC Pro Diploma.
Bila tak ada pelatih lokal yang memiliki lisensi itu, bakal banyak pelatih asing yang menyerbu Indonesia.
Mereka inilah yang akan menangani klub-klub Liga 1.
“Hal ini sudah harus diantisipasi PSSI. Negara-negara di Asia Tenggara sudah memiliki pelatih berlisensi AFC Pro Diploma yang menjadi persyaratan menangani klub mulai 2020. Berarti, tinggal dua tahun lagi mempersiapkan pelatih lokal agar bisa memiliki lisensi tersebut,” tutur Sutan.
“Jadi, targetnya tahun ini atau 2019 sudah ada pelatih lokal yang memiliki lisensi itu. Bila tidak, klub-klub Liga 1 terpaksa memakai jasa pelatih asing. Pelatih lokal yang berlisensi A AFC pada akhirnya melatih klub Liga 2 atau Liga 3,” ucapnya menambahkan.
Menurut Sutan, banyak pelatih lokal yang berkualitas dan sudah selayaknya mengantungi lisensi tertinggi itu.
Hanya, terdapat berbagai kendala.
"Selain biayanya yang mahal, mereka harus mengambil modul atau magang di luar negeri misalnya di Korea Selatan, Jepang, atau negara Eropa. Mereka juga harus magang di salah satu klub besar,” ujarnya lagi.
Biaya untuk mengambil kursus AFC Pro Diploma terhitung besar karena mencapai Rp 150 juta, belum lagi kalau peserta kursus harus melakukan perjalanan ke luar negeri.
“Tetapi berapa pun harganya, tingkatan itu harus ditempuh. Pelatih harus memiliki lisensi AFC Pro Diploma,” kata dia.
Editor | : | Beri Bagja |
Sumber | : | theguardian.com, telegraph.co.uk, Dailyrecord.co.uk, visir.ir |
Komentar