Sepak bola bukan hanya soal pertandingan selama 90 menit di lapangan hijau. Buku Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya ini menjelaskan bagaimana sepak bola menjadi urusan yang lebih dari itu serta kaitannya dengan aspek-aspek lain dalam kehidupan manusia.
Ada sebuah kutipan terkenal dari Legenda Liverpool, Bill Shankly, "Beberapa orang percaya sepak bola adalah urusan hidup dan mati - saya dapat meyakinkan Anda, sepak bola lebih penting dari hal itu."
Kedengarannya memang sungguh berlebihan, namun poin utama yang bisa dimengerti dari apa yang diucapkan Shankly adalah sepak bola merupakan hal yang begitu penting bagi setidaknya sebagian orang yang terlibat di dalamnya.
Iswandi Syahputra lewat buku karyanya ini memberikan penjabaran mengenai bagaimana sepak bola memang lebih dari sekadar permainan dan olahraga, yaitu sebuah ruang kebudayaan di mana manusia mengonstruksi identitasnya yang tak lepas dari relasi kekuasaan.
Melalui perspektif Cultural Studies, pembaca diajak menyelami bagaimana sepak bola menyimpan berbagai makna kultural sekaligus mengupasnya.
Ada empat bagian dalam buku ini plus satu bagian tambahan berisi profil stadion-stadion terkenal di Eropa yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis saat berkunjung ke sana.
Bahasan dalam buku ini lebih banyak berfokus pada kultur suporter di samping membahas relasi sepak bola dengan media serta bisnis yang digerakkan oleh para konglomerat yang memegang kuasa di klub-klub elite Eropa.
Buku ini dibuka dengan pengenalan istilah 3G alias Gold, Glory, dan Goal yang mengingatkan kita dengan Gold, Glory, dan Gospel sebagai misi dari penjajahan bangsa Eropa pada masa lampau serta bagaimana tiga hal tersebut berusaha diraih oleh pelaku sepak bola melalui perputaran uang, menjadi penggemar, serta usaha untuk meraih kemenangan.
Selanjutnya, sesuai judulnya yang menggunakan istilah "Pemuja Sepak Bola" diterangkan proses bagaimana para penggemar mengukuhkan diri sebagai pemuja sepak bola tersebut melalui berbagai hal.
Adapun hal disoroti dari kalangan penggemar adalah fenomena pembentukan identitas, gaya berpakaian serta praktik konsumsi.
Meski demikian, penulis agaknya melewatkan kesempatan untuk lebih banyak menyoroti berbagai kejadian yang ada di sepak bola dalam negeri sebagai contoh untuk membuat buku ini semakin menarik, sementara banyak fenomena-fenomena yang ada di Tanah Air sebagai negara gila bola yang bisa digali bahan analisa.
Terlebih, karya akademik yang meneliti kultur penggemar sepak bola Indonesia bukanlah hal yang asing sehingga penulis bisa menggunakannya untuk memperkaya materi sekaligus bahan perbandingan dengan apa yang ada di luar negeri.
Ini juga sekaligus menantang pembaca untuk menggunakan sendiri paparan dari penulis sebagai pisau analisis untuk mengamati dan memahami kultur suporter yang ada di sepak bola Indonesia.
Lewat pembahasan mengenai budaya hibrid misalnya, pembaca akan mendapat pemahaman mengenai mengapa ada orang Indonesia yang begitu menggemari klub dari Eropa yang berjarak ribuan kilometer dan tempat asalnya.
Belum lagi jika melihat maraknya acara nonton bareng yang biasa digelar pada dini hari mengikuti jam pertandingan, ada efek dari gelombang globalisasi yang memicu munculnya kebudayaan dan identitas baru.
Kemudian ada pula bagian selanjutnya dari buku ini yang mengulas fesyen dan pola konsumsi juga bisa memberi penjelasan mengenai perubahan gaya yang ada pada suporter klub lokal Indonesia, sebut saja misalnya kemunculan kelompok bergaya casual yang meramaikan kompetisi domestik Tanah Air.
Beranjak dari serba-serbi penggemar, di bagian berikutnya pembaca dibawa untuk menyimak bagaimana sepak bola berhubungan erat dengan bisnis dan industri.
Dalam bagian tiga, penulis menjelaskan bagaimana sepak bola menjadi sebuah agama bagi para pemujanya.
Bagaimana sepak bola menjadi sebuah agama sebenarnya tidak sulit untuk dimengerti dengan mengamati perilaku para penggemarnya, namun penulis juga memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana agama sepak bola tersebut tidak memiliki dimensi spiritualitas dan eksis di bawah naungan kapitalisme global yang memanfaatkannya untuk kepentingan industri media.
Sayangnya, Lagi-lagi pada bagian ini penulis hampir tidak menyinggung soal klub-klub lokal Indonesia sebagai contoh.
Mari kita ambil contoh kegiatan pengajian yang kerap digelar oleh berbagai kelompok suporter Indonesia yang bisa melibatkan hingga ribuan peserta, hal ini sebetulnya bisa masuk dalam pembahasan mengenai sepak bola sebagai liturgi.
Dengan segala penjelasan yang sudah dipaparkan sebelumnya, pada bagian keempat buku ini akhirnya sepak bola kemudian digambarkan sebagai lahan untuk mendapatkan suaka dan kuasa dengan penekanan pada bagaimana sebuah klub dijalankan oleh pemiliknya.
Jika anda berpikir bahwa klub sepak bola bermakna sebagai alat bagi pemiliknya untuk meraup uang, bagian ini memberi "penyadaran" bahwa praktiknya ternyata tidak segaris dengan metode bisnis konvensional yang berorientasi pada laba.
Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, buku ini cocok untuk dibaca oleh setiap penggemar sepak bola sebagai asupan pengetahuan tentang permainan terpopuler sejagad ini yang lebih dari sekadar aksi 22 pemain dengan satu bola di atas lapangan hijau.
Judul buku: Pemuja Sepak Bola: Kuasa Media atas Budaya
Penulis: Iswandi Syahputra
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: 183 halaman
Cetakan: I, 2016
Editor | : | Aulli Reza Atmam |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar