Perkelahian dua rekan setim macam Stefano Lilipaly dan Sylvano Comvalius adalah lumrah buat pesepak bola Belanda. Pemain sekelas Robin van Persie kerap tersangkut kasus serupa.
Lilipaly dan Comvalius terlibat pertikaian ketika Bali United melawan PSM Makassar pada laga Liga 1 di Stadion Andi Mattalatta, Senin (6/11/2017).
Ketika paruh pertama memasuki lima menit terakhir, Lilipaly mendapatkan ruang cukup terbuka.
Dia lebih memilih tembakan dari luar kotak penalti ketimbang melepaskan operan kepada Comvalius, yang berdiri bebas di dalam kotak.
Keputusan Lilipaly lantas diprotes oleh Comvalius dengan teriakan dan pukulan ke arah kepala.
(Baca juga: Inilah 3 Skenario yang Bisa Bikin Bali United Juara Liga 1)
Tak senang, Lilipaly balik memarahi sang striker.
Pertikaian keduanya menuai sorotan cukup besar.
Sebab, selain berstatus rekan setim, mereka sama-sama berasal dari Belanda.
Namun, benang merah berupa kesamaan asal sebenarnya juga bisa menjadi alasan untuk memaklumi perkelahian Lilipaly dan Comvalius.
Jangankan mereka berdua, pemain sekelas Robin van Persie juga sempat terlibat kasus serupa sebanyak dua kali.
Kasus pertama terjadi ketika Belanda mengarungi partai perempat final Piala Eropa 2008 kontra Rusia.
Van Persie coba merebut bola dari Wesley Sneijder, yang hendak melakukan tendangan bebas.
Sneijder merasa tidak terima dan mengatakan, "Sejak sesi latihan, saya ditugaskan mengambil tendangan bebas. Pemain lain tak seharusnya mengambil bola."
Van Persie pun berkilah dengan menyatakan, "Saya mengharapkan eksekusi lebih berkelas dari seorang Sneijder."
Kemudian, pada 2015, Van Persie kembali membuat ulah serupa.
Eks penyerang Feyenoord Rotterdam itu terlibat cekcok dengan Memphis Depay dalam sesi latihan timnas Belanda.
Akibatnya, dia dicadangkan oleh pelatih untuk laga berikutnya.
Dari beragam kasus tersebut, ada satu pertanyaan besar, mengapa perkelahian antar-rekan setim kerap melibatkan pemain Belanda?
Orang Belanda memang mengakui bahwa mereka memang senang berdebat.
Mereka melakukannya karena merasa tahu dalam segala hal.
“Kami orang-orang Belanda memang kepala batu,” ujar legenda sepak bola dunia, Johan Cruyff.
“Bahkan, ketika berada di belahan dunia lain pun kami akan mengajari orang berbuat sesuatu,” tutur maestro sepak bola Belanda itu.
(Baca Juga: Stefano Lilipaly, Johan Cruyff, dan Kacamata Family Man)
Perdebatan tidak menjadi tabu di Belanda.
Sebaliknya, kebiasaan itu dihargai karena di sana setiap orang dianggap setara dalam segala hal, tak terkecuali dalam pengetahuan tentang sepak bola.
Budaya seperti itu tumbuh subur berkat perkembangan Calvinisme yang hingga kini masih menjadi dasar teologi di Belanda.
Calvinisme yang merupakan pemberontakan terhadap ajaran Katolik Roma ini mengajarkan orang untuk melihat Injil sendiri ketimbang asal percaya terhadap Pastor.
Secara tidak langsung, ini mengajari orang untuk tidak mudah tunduk terhadap otoritas.
Tidak hanya itu, ajaran itu membuat semua orang merasa “bisa dan mampu” dalam segala hal.
Editor | : | Anju Christian Silaban |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar