Usai dilaksanakan, Piala Pesiden 2018 sukses menjadi ajang pembuktian kemajuan sepak bola Indonesia di berbagai lini.
Turnamen ini seolah menjadi suar harapan di tengah skeptisme masyarakat akan situasi sepak bola Indonesia yang dinilai terpuruk dan minim prestasi.
Hal ini salah satunya dikarenakan langkah berani Presiden Jokowi untuk mengusung transparansi sebagai visi dan misi alias jiwa pelaksanaaan Piala Presiden 2018.
Panitia pelaksana tak hanya mengumumkan jumlah penonton tiap-tiap laga, namun juga melaporkan jumlah pemasukan dari penjualan tiket hingga pada rupiah terkecil.
Tentunya hal ini menjadi gebrakan baru dalam sepak bola Indonesia yang begitu lekat akan isu korupsi, sogok-menyogok, hingga jual beli kemenangan.
Transparansi yang menjadi amanat Presiden Jokowi dilaksanakan dengan sangat patuh hingga laga final sehingga publik bisa turut mengawal perputaran uang dalam ‘pesta’ sepak bola nasional ini.
Inilah tingkat transparansi yang juga diidam-idamkan pubik dalam penyelenggaraan kompetisi sepak bola Indonesia termasuk Liga 1.
Langkah ini tak hanya harus diapresiasi namun juga dirayakan sebagai wujud kemajuan prestasi sepak bola Indonesia.
Bukti kedewasaan supporter sepak bola Indonesia
Tak hanya soal transparansi, Piala Presiden 2018 juga menjadi ajang pembuktian kedewasaan supporter Indonesia.
Hal ini paling terlihat dalam putaran 8 besar yang dilaksanakan di stadion Manahan, Solo.
70.000 suporter dari 8 tim menempuh perjalanan ribuan kilometer untuk menjadi bagian pesta sepak bola Indonesia ini.
Sebut saja Superter PSMS Medan yang harus menempuh 2.552 km untuk menyaksikan tim kesayangannya bertanding.
Juga suporter Madura United (370 km), Bali United (670 km), Mitra Kukar (1.046 km), Persija Jakarta (550 km), Arema FC (325 km) dan Sriwijaya FC (1.144 km).
Jika dijumlah, para suporter harus menempuh perjalanan sejauh 6.892 km. Jarak yang lebih jauh dari dua ujung terjauh Indonesia, Sabang dan Merauke yang ‘hanya’ ” 5245 km saja.
Meski pertemuan ini tak lepas sepenuhnya dari insiden tak terpuji, ketiadaan insiden bentrok antar supporter cukup menjadi bukti bahwa supporter Indonesia mulai bisa lebih dewasa dalam menyikapi rivalitas 90 menit di lapangan.
Hal ini tentu menjadi angin segar di tengah sejarah panjang berdarah sepak bola Indonesia.
Prestasi dan Gengsi, Bukan Hanya Sekadar Turnamen Pengisi Jeda Antar Kompetisi
Pada 2015, Piala presiden hadir menjadi pelipur lara sepak bola Indonesia yang tengah ditimpa masalah bertubi-tubi.
Saat itu, FIFA membekukan status keanggotaan Indonesia karena adanya intervensi pemerintah di tubuh PSSI.
Penyelenggaraan sebuah turnamen nasional bertajuk Piala Presiden pun digagas untuk mengobati keriunduan masyarakat akan sepak bola.
Kini, setelah kompetisi resmi kembali bergulir di Indonesia, Piala Presiden pun beralih fungsi menjadi turnamen pra musim.
Namun tak seperti turnamen pra musim lain di dunia yang kerap diperlalukan sebagai pengisi jeda anatar kompetisi dan ajang menjajal kemampuan pemain, ambisi klub-klub Indonesia untuk menjuarai Piala Presiden demikian besar.
Hal ini terbukti dengan hampir tak adanya klub yang memakai pemain lapis kedua dalam Piala Presiden 2018.
Bahkan Bali United dan Persija Jakarta yang juga tengah mengikuti kompetisi level Asia, Piala AFC, di saat yang sama tetap berusaha untuk memakai kekuatan penuh di Piala Presiden.
Gengsi yang sedemikian besar untuk menjadi juara turnamen berdampak pada sengit dan kompetitifnya setiap laga yang tersaji di Piala Presiden.
Pada akhirnya, setiap laga sanggup menjadi tontonan seru dan berkualitas yang disambut antusiasme yang luar biasa dari masyarakat.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya supporter yang memenuhi bangku-bangku stadion tiap pertandingan.
Dari 40 laga yang diselenggarakan, rata-rata, 19.232 penonton menghadiri tiap laga.
Bahkan pada laga final, Stadion Utama Gelora Bung Karno diserbu 68.272 orang.
Dari Rakyat, untuk Rakyat, Kembali ke Rakyat
Satu hal yang patut mendapatkan apresiasi terbesar dalam penyelenggaraan Piala Presiden 2018 adalah visi untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui turnamen ini.
Piala Presiden sukses menjadi ladang rezeki bagi ratusan pedagang kaki lima dan pedagang asongan.
Bahkan pada laga final di Stadion Utama Bung Karno (SUGBK), 1.630 pedagang kaki lima dan 335 pedagang asongan ikut menjadi bagian dari pesta sepak bola nasional ini.
Panitia penyelenggara pun mengakomodir besarnya geliat ekonomi rakyat ini dengan menyediakan tempat dan mendata setiap pedagang yang mencari rezeki di Piala presiden 2018.
Prinsip ekonomi kerakyatan ini juga terlihat dari keengganan panitia penyelenggara untuk menggunakan uang negara meski harus mengeluarkan subsidi yang cukup besar bagi tiap klub yang berpartisipasi.
800 juta rupiah digelontorkan untuk klub-klub yang menjadi tuan rumah yaitu Persib Bandung, Mitra Kukar, Arema, Bali United, dan Persebaya Surabaya.
Sementara tim tamu juga mendapatkan dana perjalanan sebesar Rp 100 juta.
Tak hanya itu saja, panitia penyelenggara juga menggelontorkan dana besar untuk match fee.
Selama fase penyisihan grup sampai perempat final, tim yang meraih kemenangan bakal mendapatkan match fee sebesar Rp 125 juta, klub yang meraih hasil imbang mendapatkan Rp 100 juta, sedangkan tim yang kalah mendapatkan Rp 75 juta.
Langkah tak main-main yang diambil panitia penyelenggara ini terbilang sangat tepat dan luar biasa sebab sepak bola telah lama menjadi olahraga yang sangat lekat di hati rakyat.
Dan sudah sepantasnya sepak bola tak hanya dinikmati oleh segelintir kecil orang saja. Karena sejatinya sepak bola adalah milik rakyat dan sudah sepantasnya kembali ke rakyat.
Editor | : | Nina Andrianti Loasana |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar