Bursa transfer musim panas telah usai dengan meninggalkan banyak cerita yang tercatat dalam buku sejarah dunia.
Cerita paling terkenal tentu saja pindahnya mahkota pemain termahal dunia dari Paul Pogba ke megabintang Barcelona, Neymar Jr.
Sang penari asal Brasil itu beranjak dari Catalan menuju Paris Saint-Germain (PSG) dengan mahar 222 juta euro, uang yang tak sedikit bagi klub sepak bola.
Gunjingan sana-sini mengemuka, bagaimana PSG bisa mengeluarkan dana sebesar itu tanpa melanggar peraturan Financial Fair Play (FFP)?
Tidak, tulisan ini tak akan membahas tentang hal itu.
Tulisan ini akan lebih membahas tentang FFP dan salah satu kerugian yang ditimbulkan dalam dunia si kulit bundar.
Sebelum masuk lebih jauh, jadi apa sebenarnya FFP itu?
Secara singkat, FFP memaksa sebuah klub sepak bola di Eropa tak boleh mengeluarkan biaya lebih banyak dari pendapatan yang mereka terima.
Ada beberapa poin seperti berapa kerugian maksimal yang boleh dialami sebuah klub dalam satu tahun dan sebagainya, tapi itu cuma tambahan saja.
Pengeluaran klub yang dimaksud adalah dana yang harus dikucurkan untuk gaji, pembelian pemain, dan kelangsungan hidup klub sehari-hari.
Uang yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur, pengembangan pemain muda, dan peningkatan fasilitas latihan tak diikutkan dalam perhitungan FFP.
Pengeluaran ini harus seimbang dengan pemasukan klub yang antara lain diperoleh dari sponsor, hak siar, penjualan tiket, dan uang hadiah kompetisi.
Sekarang para pemilik klub tak bisa seenaknya merogoh kantong mereka untuk membeli pemain atau menutup kerugian yang dialami klub.
Jadi kalau begitu, FFP adalah hal yang bagus, dong?
Di satu sisi, tentu saja.
Tujuan awal FFP memang untuk membebaskan klub dari neraca merah agar tak ada yang menjadi korban dari kegagalan ekonomi sepak bola.
Tengok saja Leeds United di medio awal 2000-an, yang sempat berjaya di Inggris, punya pemain-pemain hebat, bertarung dengan gagah di Liga Champions, nyatanya harus gigit jari ketika hutang menumpuk tak bisa dibayarkan sehingga mereka harus dinyatakan pailit.
Leeds contoh ekstrim, tetapi laporan asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) pada tahun 2009 menyebutkan lebih dari setengah klub-klub Eropa mengalami kerugian.
FFP adalah harapan UEFA untuk menyelamatkan klub-klub tersebut agar tak masuk jurang kebangkrutan dan tak ada klub yang seenak jidat menggunakan uang pemilik untuk membangun sebuah super baru tanpa peduli neraca keuangan.
Namun dengan segala hal positif yang dihasilkan oleh FFP, seperti dua sisi mata uang, ada saja kerugian yang bisa timbul karenanya.
Pada awal kemunculan FFP, UEFA hanya berencana akan menerapkan aturan ini untuk klub dengan penghasilan 50 juta euro ke atas.
Namun kemudian hal ini berhasil digagalkan oleh Asosiasi Klub Eropa (ECA) yang kemudian membuat semua klub, entah berapapun penghasilan mereka, wajib mematuhi FFP.
Alasannya sederhana dan masuk di akal, semua klub harusnya diperlakukan sama tak terkecuali.
ECA adalah satu-satunya badan asosiasi klub-klub Eropa yang diakui UEFA.
Pada awalnya mereka bernama G-14, sebuah kumpulan 14 klub besar di Eropa macam Bayern Muenchen, Real Madrid, Barcelona, Manchester United, dan Juventus.
Tengok saja barisan direksi ECA saat ini yang didominasi dari klub-klub besar mulai dari Karl-Heinz Rummenigge (Chairman; Bayern Munich), Umberto Gandini (first Vice-Chairman; AC Milan), Pedro López Jiménez (second Vice-Chairman; Real Madrid), Josep Maria Bartomeu (Barcelona), Andrea Agnelli (Juventus), Ed Woodward (Manchester United), hingga Ivan Gazidis (Arsenal).
Tak perlu jadi seorang jenius untuk mengerti bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh ECA ini memang condong untuk kepentingan klub-klub tersebut, karena para petinggi tim besar mempunyai kekuatan disana.
Tak adanya diskriminasi dalam penerapan aturan FFP membuat klub-klub besar bisa bernapas lega.
Status mereka sebagai klub besar Eropa menjadi tak tergoyahkan, status quo aman.
Kok bisa?
Ya bayangkan saja, untuk menjadi sebuah klub besar butuh uang banyak, sedangkan untuk dapat banyak uang mereka, harus menjadi klub besar. Lingkaran setan.
Jika sudah begini apa yang akan terjadi?
Elementer, Watson.
Klub besar akan menjadi semakin besar, sedang mereka yang kecil akan menjadi semakin kecil.
Jika ada klub kecil yang dibeli oleh konglomerat dengan dana melimpah, mereka sekarang tak bisa seenak jidat sendiri membeli pemain-pemain hebat dengan biaya besar.
Tak akan ada lagi kasus seperti Chelsea era awal kedatangan Roman Abramovic atau Manchester City saat dibeli taipan asal Timur Tengah.
Mereka kini harus bermain sesuai aturan FFP.
Memang, tak menutup kemungkinan akan ada klub kecil yang bisa mengejutkan dan jadi juara layaknya Leicester City dua tahun lalu.
Namun setelah itu mereka akan kembali ke habitat karena tak punya dana untuk membeli banyak pemain dan memermanenkan status mereka sebagai klub besar.
Status tim-tim besar akan tetap terjaga, status quo klub besar dan kecil tak akan berubah.
Sepertinya sampai aturan FFP berubah atau dihilangkan, kita akan tetap menyaksikan kekuatan tradisional yang itu-itu saja untuk bersaing di papan atas liga-liga Eropa.
Jika sudah begini, meski dengan semua sisi positifnya, siapa yang paling dirugikan dengan adanya aturan FFP?
Klub kecil yang akan terus menjadi semenjana, penikmat sepak bola yang terus melihat kemenangan tim itu-itu saja, atau liga yang jadi membosankan karenanya?
Mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar