Apa yang bisa dipetik bila empat elemen: Persija, sepak bola, mahasiswa, dan foto, disatukan dalam kegiatan “Berburu Foto Bareng Persija”?
Acara ini adalah buah kerja sama Tabloid BOLA dengan klub sepak bola ibu kota, Persija. Pesertanya? Wajib mahasiswa.
Tetapi maaf, bukan untuk perorangan melainkan harus mendaftar mewakili kampus di mana mahasiswa itu terdaftar.
Mereka mendapatkan pelatihan bagaimana cara mengabadikan aksi pertandingan sepak bola, dalam hal ini menyangkut Persija.
Oleh panitia, peserta pelatihan oleh “tukang foto” Tabloid BOLA itu dibatasi.
Peminat membludak, namun tata tertib di lapangan sepak bola harus diikuti demi kesuksesan pertandingan.
Pada Selasa (26/9/2017), di Gedung Kompas Gramedia Unit II, Jakarta, para peserta workshop berkumpul. Hadir juga di acara itu pengurus, legenda, serta pengelola pertandingan Persija.
Dalam sesi pembukaan mewakili BolaSport.com, saya mendapatkan kesempatan berbicara sekitar 5 menit.
(Baca Juga: Hal Sederhana yang Mampu Menciptakan Persahabatan Sesama Komunitas Pecinta Sepak Bola)
Sebuah momentum yang tidak saya sia-siakan untuk mengingatkan para peserta bahwa sepak bola itu tidak identik dengan kekerasan atau kerusuhan. Setuju, dong!
Dalam berbagai kesempatan, baik itu di acara keluarga atau bertemu dengan kenalan bisnis, saya mendapati bahwa sepak bola Indonesia dikelompokkan pada kegiatan yang berbahaya. Astaga!
Maksudnya jelas, kerusuhan yang kerap diperlihatkan para pemain di lapangan dan ulah sebagian penonton telah mengirimkan pesan bahwa sepak bola Indonesia tidak bisa jauh dari kebencian. Kok tega ya?
Melalui kegiatan “Berburu Foto Bareng Persija”, saya mengajak para peserta untuk belajar dari ahlinya serta mau menampilkan sisi lain dari sepak bola nasional yang kerap terpinggirkan.
Apa itu? Pesan perdamaian!
Tak bosan-bosannya saya menyampaikan strategi mendiang Nelson Mandela dalam menyatukan bangsa Afrika Selatan dan “memulihkan luka” akibat politik apatheid.
(Baca Juga: Persiapan FC Bayern Sudah Tak Maksimal Sejak Awal Musim)
Tokoh besar dunia yang terkurung sekitar 27 tahun oleh rezim yang berkuasa di Afrika Selatan itu memakai olahraga untuk membangun bangsanya ketika ia mulai berkuasa pada Mei 1994.
Pada 1995, Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia rugby. Mereka menjadi juara.
Pada 2010, Afrika Selatan menjadi tuan rumah Piala Dunia sepak bola. Acara berjalan dengan damai dan mengantarkan Spanyol menjadi juara Piala Dunia mengalahkan Belanda 1-0.
Bahkan, Presiden FIFA ketika itu, Sepp Blatter, memberikan nilai 9 dalam skala 1-10 kepada Afrika Selatan sebagai penyelenggara. Salut!
Saya beruntung bisa hadir menyaksikan langsung pertandingan Piala Dunia 2010 dan melihat sendiri hasil strategi Nelson Mandela memakai olahraga, dalam hal ini sepak bola dan rugby, untuk membangun negaranya.
Kepada peserta workshop “Berburu Foto Bareng Persija”, saya juga mengingatkan bagaimana Mahatma Gandhi memakai sepak bola sebagai alat untuk belajar memimpin dan menyatukan banyak orang, serta menyampaikan pesan perdamaian.
Kalau Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi memakai sepak bola untuk kebaikan, kenapa kita menempatkan olahraga ini sebagai biang ketakutan di tengah masyarakat?
Tak harus menjadi peserta pelatihan foto dengan memakai Persija sebagai sarana menyampaikan pesan bahwa sepak bola Indonesia tidak identik dengan kekerasan dan kerusuhan.
(Baca Juga: Cincin Pertunangan Pacar Ronaldo Setara dengan 28 Unit Apartemen Meikarta)
Saya dan Anda di mana saja, dengan profesi apapun, bisa ikut terlibat dan memainkan peran penting dalam gerakan sepak bola damai alias football for peace and football for hope.
Mari meyakinkan diri dan orang-orang di sekitar kita bahwa sepak bola memiliki kekuatan berdiplomasi untuk menebarkan pesan perdamaian.
Apa yang menyatukan dua kelompok pendukung tim yang bertanding? Sepak bola dan harapan melihat timnya meraih kemenangan!
Lalu, kenapa kita mengizinkan oknum-oknum memakai sepak bola untuk menebar ketakutan dan kebencian yang menjadi musuh harapan? @weshley
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar