Suporter sepak bola menjadi sekelompok orang yang dianggap dekat dengan kekerasan. Hal ini wajar apabila melihat banyaknya insiden yang melibatkan suporter saat ini, terutama di Indonesia.
Namun, berbicara suporter bola, tentu tak hanya hal negatif saja yang bisa dikupas.
Banyak yang bisa menjadi pembahasan cukup kompleks mulai dari sejarah, rivalitas, dan bahkan style dari para suporter itu sendiri.
Ketika berbicara style, tentu kita akan teringat dengan subkultur casual.
Mungkin banyak yang belum tahu apa itu casual.
Casual merupakan bagian dari budaya sepak bola,ditandai oleh hooliganisme sepak bola yang cukup bertolak belakang pada tahun 1970an.
(Baca Juga: Pemain Mitra Kukar Ini Berkisah tentang Perilaku Zlatan Ibrahimovic dan Steven Gerrard di Ruang Ganti)
Para suporter mengenakan pakaian dari desainer terkenal dan mahal untuk menghindari perhatian polisi.
Mereka tidak memakai atribut kebesaran team agar bisa dengan mudah menyusup ke kelompok supporter lawan.
Sejarah casual muncul di akhir 1970-an ketika suporter Liverpool dan Everton memperkenalkan kepada seluruh inggris mengenai mode berpakaian ala Eropa daratan yang mereka dapatkan ketika away day ke Prancis dan Italia.
Mereka memperkenalkan brand–brand mahal macam Sergio Tacchini dan Lacoste ke seluruh daratan inggris.
Menurut beberapa film dokumenter, sebagian besar mendapatkan barang-barang tersebut dengan cara menjarah toko, daratan inggris kaget dengan kedua kelompok supporter itu di mana mereka mengenakan brand unik yang tidak ada di inggris.
Bahkan, polisi pun saat itu tidak memperhatikan kelompok supporter dengan gaya casual berbalut brand–brand mahal. Fokus mereka mengawasi supporter skin head yang menggunakan sepatu Dr Martens.
Pada tahun 1980-an label pakaian yang dekat dengan gaya casual semakin bertambah dengan makin populernya Fila, Stone Island, Fred Perry, Kappa dan Ben Sherman di kalangan mereka.
Satu dekade kemudian, subculture casual mengalami kebangkitan, bahkan mereka menggunakan satu merk sebagai identitas klub yang mereka bela.
Pada akhir 1990-an banyak supporter mulai menarik diri dari trend casual karena polisi sudah mulai mengawasi orang–orang yang berpakaian mahal sebagai suporter sepakbola.
Bahkan, beberapa brand menarik produk mereka karena dekat dengan gaya casual.
Memasuki tahun 2000-an trend casual mulai bangkit kembali terutama setelah program televisi di inggris seperti ID, The Firm, The Football Factory, dan Green Street menyoroti budaya casual di tanah inggris.
Kini, di era modern budaya casual tetap hidup di kalangan supporter, bahkan di Indonesia beberapa klub seperti Persija dan Persib memiliki supporter yang mengadopsi gaya ini, seperti Jakarta Casual atau Flower city casual untuk Bandung.
Sepakbola memang selalu menarik utnuk dibahas dari sisi manapun.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar