Jumat, 22 Desember 2017, Malam Penghargaan Go-Jek Traveloka Liga 1 digelar di Jakarta.
Acara ini sebenarnya diagendakan berlangsung sebulan lalu begitu kompetisi selesai, namun diundur tanpa alasan jelas.
Kendati demikian, apresiasi tinggi tetap patut diberikan buat penyelenggaraan acara tersebut.
Bukan cuma sebagai penghargaan atas kerja keras para pelakon utama kompetisi musim lalu, yakni para pemain, tapi juga sebagai pelecut motivasi buat yang lain.
Sylvano Comvalius, bomber milik Bali United yang pindah ke Suphanburi musim depan, sampai jauh-jauh datang dari Amsterdam untuk menerima penghargaan sebagai Pencetak Gol Terbanyak (37 gol, sekaligus menjadi rekor baru kompetisi teratas Indonesia).
Saat Comvalius berdiri di panggung terhormat, pemain mana pula yang tidak terlecut semangatnya untuk menghapus rekor sang meneer dan menggantinya dengan catatan baru?
Hanya, ada hal yang sedikit mengusik hati.
(Baca Juga: Comvalius Bocorkan soal Masa Depan Mantan Pemain Persib)
PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) sebagai operator kompetisi tidak menyertakan kategori Pelatih Terbaik.
Padahal, November silam Technical Study Group (TSG) PT LIB merilis tiga kandidat Pelatih Terbaik Liga 1 2017.
Mereka adalah Simon McMenemy (Bhayangkara FC), Widodo C. Putro (Bali United), serta Robert Rene Alberts (PSM).
Pengumuman ini juga disampaikan lewat akun Instagram resmi Liga 1, @Liga1match.
COO PT LIB, Tigorshalom Boboy, mengakui bahwa pengumuman yang dilakukan TSG sudah sepengetahuan PT LIB.
Hanya, ia juga mengatakan bahwa sah saja TSG menyampaikan versi mereka sendiri.
"Memang tidak ada penghargaan Pelatih Terbaik," kata Tigorshalom.
Pasal 75 Regulasi Liga 1 2017 rupanya dipakai sebagai dasar tidak adanya penghargaan bagi pelatih.
Di pasal itu memang tercantum dengan jelas bahwa penghargaan diberikan hanya kepada pemain terbaik, pencetak gol terbanyak, pemain muda terbaik, wasit terbaik, serta penghargaan fair play.
Tetapi, lantas muncul pertanyaan lanjutan dengan diadakannya penghargaan gol terbaik, yang ditentukan berdasarkan pilihan fan di media sosial.
Tentu sah saja memberikan apresiasi buat gol indah.
Hanya, bila kategori baru di luar regulasi awal bisa dimunculkan kemudian, mengapa tidak dengan Pelatih Terbaik?
(Baca Juga: Sriwijaya FC Ingin PT LIB Lunasi Utang Sebelum Gelar Piala Presiden)
Penghargaan Pelatih Terbaik tentu bukan sekadar gaya-gayaan.
Sosok peracik taktik jelas punya peran krusial di balik performa atlet maupun tim.
Bila tidak, mengapa lantas pelatih yang kerap menjadi kambing hitam pertama saat tim mengalami periode jeblok?
Pernyataan Septian David Maulana, salah satu kandidat Pemain Muda Terbaik, pekan lalu menguatkan pendapat soal krusialnya peran pelatih.
Anak muda milik Mitra Kukar ini menyebut kilau penampilannya sepanjang 2017 tak lain karena pelatih Luis Milla.
Tidak Aneh
Tigorshalom menyampaikan satu hal lain yang menjadi alasan tidak diadakannya penghargaan Pelatih Terbaik.
"Pertimbangan bahwa pelatih terbaik sejatinya adalah yang juara. Agak aneh kalau pelatih terbaiknya bukan dari tim juara," tutur Tigorshalom.
Untuk hal yang satu ini, izinkan saya untuk tidak setuju.
Banyak contoh yang menyatakan sebaliknya.
Liga Premier Inggris, yang banyak ditonton oleh penikmat sepak bola di Indonesia, salah satunya.
Arsitek Crystal Palace, Tony Pulis, didaulat sebagai Pelatih Terbaik Liga Premier 2013-2014 kendati Man. City yang menjuarai musim tersebut.
Begitu pun Alan Pardew pada musim 2011/12 walau Newcastle United besutannya cuma finis di peringkat kesembilan klasemen.
Harry Redknapp dipilih sebagai Pelatih Terbaik musim 2009/10 kendati saat itu Chelsea yang menjadi kampiun, bukan Tottenham asuhan Redknapp.
Mari bergeser ke Liga Spanyol.
Operator Liga Spanyol menetapkan Pep Guardiola sebagai Pelatih Terbaik musim 2011-2012 kendati tim juara musim tersebut adalah Real Madrid.
Pada edisi 2012/13 dan 2015/16, adalah komandan Atletico, Diego Simeone, yang menjadi Pelatih Terbaik.
Pada dua musim tersebut, Barcelona yang merupakan kampiun Liga Spanyol.
Tidak, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa ada pelatih lain yang lebih berhak dibanding Simon McMenemy di Liga 1 musim lalu.
Hanya, sebenarnya tidak ada yang aneh bila gelar Pelatih Terbaik diberikan buat pelatih dari luar tim juara bila memang sudah melewati penilaian yang jujur dan adil.
Tak heran bila kemudian muncul rumor bahwa tidak adanya penghargaan Pelatih Terbaik merupakan 'balas dendam'.
Pelakunya disebut dari klub yang gagal juara dan punya kedekatan dengan petinggi operator kompetisi.
Ah, semoga tidak benar demikian ya.
Kelucuan
Malam Penghargaan Go-Jek Traveloka Liga 1 sekaligus menandai bahwa musim 2017 telah selesai sepenuhnya.
Artinya, sudah tiba saat bagi seluruh penikmat bal-balan nasional untuk move on alias menatap masa depan.
Tapi, hal terakhir ini agak lebih berat bagi sebagian pihak, tepatnya manajemen klub dan pelatih.
Ada keraguan yang menghadang mereka saat hendak memboyong pemain menuju musim baru.
Penyebabnya tak lain karena belum ditetapkannya regulasi kompetisi untuk musim 2018.
Klub tentu tak mau salah langkah menggelontorkan fulus gede, namun pemain yang dibeli itu akhirnya tak bisa dimainkan.
Musim lalu, tiap klub bisa memainkan tiga pemain asing, salah satunya dari negara Asia, plus marquee player.
Nah, soal marquee player inilah yang disebut tengah menjadi perdebatan untuk musim 2018.
Seorang kenalan yang lama berkecimpung di sepak bola nasional menyebut marquee player tak bakal ada lagi musim depan.
Alasannya demi asas keadilan karena tak semua klub punya kekuatan finansial membiayai marquee player.
Sebagai gantinya, setiap klub kemungkinan bakal diizinkan memakai 4 pemain asing dengan 1 di antaranya dari Asia.
Bila benar begini, artinya Liga 1 tidak akan move on, melainkan berjalan mundur mengingat ISL musim 2015 yang berhenti dini itu memakai regulasi bahwa tiap klub hanya memainkan 3 pemain asing.
Belakangan, muncul lagi wacana baru bahwa kuota pemain senior dibatasi di tiap klub.
Jumlah pemain U-23 juga diperbanyak dibanding musim lalu, tapi tanpa kewajiban memainkan mereka.
Langkah mundur soal jumlah pemain asing tak pelak akan menjadi kelucuan tersendiri.
Begitu pun pembatasan pemain berdasarkan faktor usia.
Bukankah esensi profesionalisme semestinya adalah kompetensi dan bukan faktor lain?
Namun, di antara semuanya itu, kelucuan terbesar tentulah regulasi yang terus berubah dari waktu ke waktu.
Tentu tak ada yang salah dengan perubahan.
Namun, bila berubah, harus lebih dulu dengan pertimbangan matang demi kemaslahatan bersama dan ada periode toleransi hingga aturan baru betul-betul diterapkan.
Ingat dengan Financial Fair Play (FFP) yang diterapkan UEFA?
Aturan ini secara prinsip disetujui pada September 2009 dan awalnya direncanakan baru berlaku mulai 2011-12.
Pada awal 2010, Asosiasi Klub Eropa bahkan sukses menunda penerapan penuh regulasi FFP hingga 2015 agar klub bisa beradaptasi lebih dulu.
Nah, bila regulasi di kompetisi kasta teratas nasional bisa berubah sedemikian cepatnya dan tanpa analisis yang betul-betul matang serta tak memberi ruang bagi para pelaku utamanya untuk beradaptasi, siapkah kita menjadi sasaran kelucuan?
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar