Siang, awal Desember 1998. Ketika saya memasuki pintu depan ruang redaksi, seorang pria berperawakan kurus dan kecil yang tengah membaca Tabloid BOLA edisi terbaru bergerak dari kursi sofa berwarna merah. Ia menghampiri saya dan mengulurkan tangan.
Bukan sembarang kejadian karena dari mulutnya terucap, “Baru pulang? Liputannya bagus. Selamat ya!”
Ya, kejadian itu sudah berlangsung 19 tahun lalu dan tak pernah lekang dari ingatan saya.
Ketika itu, saya baru dua tahun memulai karier sebagai wartawan olahraga di Tabloid BOLA dan usai menjalani tugas meliput Piala Toyota 1998 di Tokyo, Jepang.
Nah, yang menghampiri saya adalah wartawan yang memulai kelahiran tabloid olahraga milik Kompas Gramedia itu. Namanya dikenal sebagai Sumohadi Marsis.
Mungkin, bagi sebagian orang pujian tersebut dianggap biasa... atau dipandang basa-basi dari seorang pimpinan kepada bawahan? Tidak bagi saya!
Kenangan ini saya munculkan kembali ke permukaan, bahkan untuk konsumsi publik, bersamaan dengan duka melepas sang tokoh.
Pak Sumo atau Mas Sumo, demikian ia biasa dipanggil, telah menghadap Sang Pencipta pada 24 Desember 2017. Usianya 73 tahun.
Di belantika olahraga Indonesia, nama Pak Sumo sungguh memiliki tempat tersendiri. Spesial.
Ia disegani. Ia dihormati. Suaranya didengar.
Bukan hanya karena posisi dan nilai media massa tempat ia bekerja, namun karya dan pemikirannya yang menempatkan Pak Sumo di tempat spesial sebagai wartawan olahraga Indonesia.
Memiliki kesempatan menjadi bagian dari tim yang dipimpin Pak Sumo merupakan keberuntungan tersendiri. Tak terlalu lama, namun cukup untuk mengenal beliau.
Pensiun sebagai karyawan di Tabloi BOLA tak menjauhkan Pak Sumo dari dunia olahraga nasional. Ia terus berkarya di organisasi yang mengurusi olahraga nasional.
Pada suatu ketika, saat hendak membuat tugas dari sebuah institusi pendidikan karena saya “dipaksa mengenal dunia bisnis” oleh pimpinan di kantor, Pak Sumo adalah salah satu nara sumber.
Bertemu dengannya di ruangan kantor yang berbeda dari Tabloid BOLA terasa aneh. Tetapi, hanya sebentar.
Materi pembicaraan kami sanggup mengembalikan suasana ketika masih sama-sama berkantor di Jalan Palmerah Selatan.
Selain memenuhi pertanyaan saya guna memenuhi tugas dari Pak Dosen, ada ajakan dari Pak Sumo untuk membantu olahraga Indonesia dengan pemberitaan yang “baik”.
Kenapa kata baik memakai tanda kutip? Karena, kata Pak Sumo, berita yang baik menurut Si A belum tentu dianggap baik oleh Si B.
Terlebih bila kedua pihak memiliki kepentingan berbeda, meski sama-sama Merah-Putih.
Lalu, di mana posisi media massa agar dapat menangkap dan menyampaikan kepada publik berita yang baik itu?
Walau dengan nada ringan, ucapan Pak Sumo sungguh layak dicermati.
Katanya, bila sebuah media tidak berpihak kepada salah satu kubu saat terjadi pertikaian, dapat dipastikan media tersebut akan “dimusuhi” oleh kedua pihak. Rugi atau untung?
Di situlah posisi Tabloid BOLA. Di posisi itulah sebuah media bisa menjadi wakil masyarakat yang mencari dan membutuhkan kebenaran.
Karena, berpihak kepada satu kubu tidak akan pernah membuat media massa melihat kebenaran.
Lagi pula, siapa yang menjamin kubu yang dibela itu akan menjalankan tugas dengan benar serta bertahan selamanya?
Tak hanya dari saya, dalam pertemuan itu saya pun menyampaikan pertanyaan rekan-rekan dari unit lain yang juga menjalani sekolah bisnis. Teknologi membuat kita bisa menyimpan data selama bertahun-tahun.
Tahun 2010, pertanyaan yang dititipkan ke saya aneh-aneh dan tergolong berat bagi Pak Sumo untuk menjawab dengan tenang.
Berikut empat dari 9 pertanyaan tersebut:
Pertama, bagaimana cara Pak Sumo melihat ketidakpastian waktu media yang ia kelola berubah dari sisipan Harian Kompas menjadi Tabloid BOLA yang berdiri sendiri?
Kedua, apakah beliau pernah merasa “dizolimi” anak buah dan rekan sejawat serta pimpinan di atas? Lalu, bagaimana beliau menyiasatinya?
Ketiga, bagaimana Pak Sumo mengelola konflik di lingkungan internal?
Keempat, bagaimana strategi beliau mengatasi kelompok karyawan yang resisten terhadap perubahan?
Luar biasa, tujuh tahun berlalu dan pertanyaan-pertanyaan tersebut masih berlaku untuk kita jawab di era perubahan sangat cepat ini atau ada yang menyebut sebagai zaman milenial.
Pertanyaan keempat itu merupakan titipan dari rekan yang bertugas memimpin keamanan di Kompas Gramedia. Ia melihat perubahan adalah sebuah kepastian di hadapan dan tidak semua karyawan siap menerimanya.
Perubahan. Kata ini juga membawa saya pada kutipan wartawan senior di Tabloid BOLA yang disampaikan lewat media sosial miliknya beberapa waktu lalu.
“Satu hal yang pasti dalam hidup ini adalah perubahan.” Seperti itu kalimat yang saya ingat.
Ya, manusia pasti mengalami perubahan. Dari lahir, tumbuh berkembang, dan kemudian mati. Sebuah perumpamaan sederhana.
Pak Sumo sudah menjalani berbagai perubahan dalam hidup dan kemudian menyelesaikannya pada 24 Desember 2017.
Kita berdoa agar Pak Sumo kini beristirahat dengan tenang dan damai.
Sejumlah kenangan “dahsyat” bersamanya, serta jawaban dari empat pertanyaan tersebut tetap ada dan “hidup” bersama saya. @weshley
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar