Perlihatkan pertandingan perempat final Piala Presiden 2018 kepada siapa pun – silakan pilih yang mana saja dari keempat laga babak 8 besar – dan niscaya orang tersebut akan terkesima dengan mutu sepak bola Indonesia.
Pembaca, pernahkah Anda menonton film animasi Coco (2017), yang diproduksi Pixar Animation Studios?
Salah satu adegan dalam film tersebut adalah ketika Miguel Rivera dan Papa Hector bertandang ke kediaman Chicarron di dunia arwah.
Dalam film tersebut, tokoh figuran bernama Chicarron ini dikisahkan dengan cara yang begitu dramatis dan sendu.
(Baca Juga: Eksklusif Andik Vermansah - Pengakuan soal Persija, Persib, Azrul Ananda, dan Uang 750 Juta)
Selepas mendengarkan papa Hector bernyanyi, Chicarron yang berbaring di hammock tuanya menarik topi butut dari atas kepala, meletakkannya di dada, dan menutup mata sebelum tubuhnya berubah menjadi semacam berkas sinar dan lenyap bak debu tertiup angin.
Roh Chicarron disebut mengalami kematian terakhir karena tak ada seorang pun di dunia manusia yang masih mengingatnya.
Ke mana Chicarron pergi? Tak ada seorang pun yang tahu.
Pembaca tak terlalu ingat dengan tokoh Chicaron maupun adegan di atas?
Tak mengapa, toh memang demikian hakikat Chicarron, yakni terlupakan.
***
Keengganan menjadi Chicarron yang hilang dari ingatan semua orang terlihat di Piala Presiden 2018.
Turnamen pra-musim ini memang melahirkan banyak cerita menarik.
Salah satunya tentang sejumlah nama yang mulai terlupakan oleh sebagian penikmat bal-balan.
Tapi, tak seperti Chicarron, mereka menolak dilupakan dan ganti mengambil tempat di panggung utama.
Lihat saja dua pilar utama PSMS Medan, yakni Jajang Sukmara dan Amarzukih.
Keduanya datang ke skuat Ayam Kinantan dengan status terbuang dari tim yang begitu mereka cintai.
Jajang Sukmara membela Persib sejak 2011 sebelum tersingkir dari Maung Bandung pada akhir tahun lalu.
Amarzukih setali tiga uang. Ia telah berseragam oren khas Persija Jakarta selama tujuh tahun sejak 2010 hingga tersingkir dari tim tersebut pada akhir Desember silam.
Adalah bersama PSMS keduanya kini seperti mendapat gairah baru dalam bermain bola.
Jasuk, panggilan Jajang Sukmara, maupun Juki, sapaan Amarzukih, seakan menolak disebut habis dan menjelma sebagai pilar utama kesuksesan mengejutkan PSMS menembus semifinal.
Lihat juga aksi Bambang Pamungkas.
Pemain yang akan berusia 38 tahun pada 10 Juni mendatang itu juga tak sudi lenyap dari panggung bal-balan nasional.
Di tengah kekaguman publik terhadap striker baru Persija, Marko Simic, Bambang Pamungkas mengingatkan kembali penikmat sepak bola nasional soal ketajaman dan kelasnya lewat torehan gol ke gawang PSPS Riau dan Mitra Kukar.
(Baca Juga: Inilah Alasan Marko Simic Meniru Selebrasi Bambang Pamungkas)
Perjuangan untuk bangkit dari ‘kematian’ itu bukan cuma dominasi para pilar senior.
Ada pula kisah Syahrian Abimanyu, gelandang yang baru berusia 18 tahun itu, bersama Sriwijaya FC.
Menjelang musim 2018, Laskar Wong Kito menjadi perbincangan hangat selepas perombakan besar-besaran yang dilakukan manajemen.
Pelatih sekaliber Rahmad Darmawan didatangkan untuk menebus kegagalan di Liga 1 2017.
Begitu pula pemain bintang semacam Adam Alis, Makan Konate, Esteban Vizcarra, Bio Paulin, hingga Pemain Terbaik Piala AFC 2017, Manuchekhr Dzhalilov.
Nyatanya, penampilan hebat Abimanyu seperti ingin membuat publik untuk tak melupakan fakta bahwa Piala Presiden selalu menjadi panggung bagi pesepak bola muda bertalenta yang bakal menjadi kekuatan utama Tim Merah Putih di masa depan.
“Saya yang penting dikasih kesempatan main saja sudah bersyukur,” katanya kepada BolaSport.com beberapa waktu lalu.
Nyatanya, ia tak cuma diberi kesempatan oleh Rahmad Darmawan.
Di Piala Presiden 2018, Abimanyu setidaknya tercatat sebagai pencetak gol termuda setelah membobol gawang Arema FC lewat tendangan bebas cantik di perempat final.
Jangan juga melupakan Mitra Kukar.
Kendati terhenti di perempat final, Naga Mekes mengingatkan publik bahwa sepak bola Indonesia tak cuma Jawa, Sumatera, atau Papua.
Bayu Pradana dkk layak pulang dengan kepala tegak karena setidaknya menjadi satu-satunya tim dengan poin sempurna dan tak kebobolan di fase grup.
***
Apresiasi tinggi juga patut diberikan terhadap permainan menarik yang tersaji di Piala Presiden 2018, khususnya pada perempat final.
Total 18 gol dalam empat laga babak 8 Besar bisa menjadi tolok ukur sederhana.
(Baca Juga: Ini Rahasia Kiper PSMS Medan Abdul Rohim Tepis 4 Tendangan Penalti Persebaya)
Bila dibandingkan dengan hanya 7 gol pada babak serupa tahun lalu, jelas adu taktik dan jual-beli serangan pada edisi 2018 meningkat drastis.
Pertandingan dijalani dengan tempo tinggi dan penuh nyali seperti diperlihatkan Persebaya Surabaya.
Kendati berstatus sebagai tim promosi dari Liga 2 musim lalu, Bajul Ijo tetap punya nyali memeragakan sepak bola menyerang berbasis possession ball.
Bahkan saat menghadapi tim sekelas Madura United, Osvaldo Haay cs. nyatanya tetap bisa unggul penguasaan bola hingga mencapai 62 persen.
“Saya memang ingin tim saya memperlihatkan permainan yang bagus. Kami ingin bermain efektif, tapi tentu lebih bagus bila main cantik,” tutur Angel Alfredo Vera.
Langkah Persebaya akhirnya terhenti di perempat final setelah kalah adu penalti melawan PSMS Medan.
Ada pun babak tos-tosan ini melahirkan cerita lain soal kepahlawanan Abdul Rohim.
Kiper 25 tahun itu menjadi pahlawan berkat kemampuannya menahan empat eksekusi penalti pemain Persebaya, termasuk Otavio Dutra yang dikenal sebagai eksekutor tendangan 12 pas jempolan itu.
Menghadang empat eksekusi di babak adu penalti bukan hal yang sering bisa dilakukan kiper. Luar biasa!
Tapi, Rohim malah santai saja menyikapi pujian yang didaratkan padanya.
“Terima kasih. Penalti itu soal fokus dan feeling saja. Intinya, saya selalu siap bila diberi kepercayaan oleh pelatih,” ujar anggota TNI tersebut.
Yang semakin mengagumkan tentunya aksi Bonek, kelompok suporter Persebaya.
Tak peduli seberapa hebat stigma yang menyebut mereka sebagai kelompok yang gemar melakukan kerusuhan, Bonek nyatanya tetap bisa menerima kekalahan tim kesayangan mereka dengan lapang dada.
Tak ada kerusuhan di Stadion Manahan, Solo, ketika itu.
Tak sehelai pun rambut pendukung PSMS jatuh akibat perbuatan suporter Persebaya.
Di sisi lain, pelaksanaan Piala Presiden 2018 juga memperlihatkan bahwa tranparansi di sepak bola Indonesia bukanlah omong kosong yang mustahil terwujud.
Hal ini tersaji lewat tanggapan Ketua Steering Committee Piala Presiden 2018, Maruarar Sirait, menanggapi pertanyaan salah satu klub terkait bukti pemotongan pajak atas match-fee.
Bang Ara, sapaan Maruarar Sirait, memastikan betul sampai ke hari dan jam di mana operator turnamen memberikan bukti yang diminta tersebut.
Publik pun harus angkat topi melihat betapa pesepak bola lokal mulai bisa betul-betul menghormati keputusan wasit.
Hingga perempat final, tak terdengar protes berlebihan hingga menyentuh atau memukul wasit sebagaimana cerita kelam yang sering terdengar dari sepak bola nasional.
Bahkan hukuman penalti bisa diterima dengan lapang dada.
Mungkin ada ketidaksetujuan, tapi semua masih dalam koridor yang ditentukan.
Lihat saja yang terjadi ketika Persija dihukum penalti hingga dua kali dalam laga kontra Bali United, Senin (29/1/2018).
Ismed Sofyan, yang didakwa melakukan pelanggaran dalam salah satu keputusan penalti tersebut, dengan bijak mencegah rekan-rekannya memprotes wasit karena berbicara dengan sang pengadil adalah bagian tugasnya sebagai kapten tim.
Di belakangnya, Bepe turut menghalangi para pemain Persija lainnya yang ingin mengerubungi sang pengadil.
Tulisan ini tak hendak mengatakan aksi Ismed dan Bepe itu hebat karena - selain kemungkinan kedua pemain tersebut bakal cuma tertawa mendengarnya - tentu saja hal semacam itu yang semestinya terjadi di sepak bola Indonesia.
(Baca Juga: 7 Fakta Jelang Laga Persija Vs PSMS untuk Semifinal Piala Presiden 2018)
Bila semua yang terjadi hingga perempat final Piala Presiden 2018 tetap terjaga, percayalah, wacana industrialisasi sepak bola Indonesia punya masa depan cerah.
Dengan semua hal di atas, Piala Presiden 2018 tak pelak telah menjadi standar baru sepak bola di Indonesia.
Bila sudah demikian, mengapa tidak mengangkat kelasnya dari sekadar turnamen pramusim menjadi ajang resmi pengganti Piala Indonesia, misalnya? Setuju?
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar