Terlepas dari semua itu, putusnya kerja sama dengan perusahaan yang merambah negara Asia Tenggara dan memiliki lebih dari 500 karyawan ini, merupakan sebuah konsekuensi logis dalam industri sepak bola Indonesia.
Selama ini, bisnis sepak bola kita belum berjalan sebagaimana di negara-negara Industri sepak bola Eropa dan Amerika Latin.
Meski sepak bola Indonesia sudah ada sejak 88 tahun silam, kita tertinggal jauh dibanding Jepang, yang baru mengenal kompetisi liga pro pada 1992.
Kalau benar apa yang dikatakan PT LIB bahwa pemutusan kerja sama Traveloka secara sepihak, artinya perusahaan yang dikelola oleh tiga anak muda jebolan universitas ternama di Amerika itu telah melanggar sebuah kesepakatan binis.
Situasi ini akan memunculkan sebuah konflik jika para pihak gagal mencapai kesepahaman dalam menuntaskan masalah.
Lain halnya ketika pihak sponsor menyatakan menarik diri usai Liga 1 musim lalu. Tentu tergantung klausul kontrak dan kerja sama yang disepakati antara LIB dan Traveloka.
Yang menjadi masalah besar adalah “badai” tiba-tiba memutus kerja sama dua hari menjelang pesta besar sepak bola Indonesia digulir.
(Baca Juga: Barisan Lima Penyerang Lokal yang Bakal Bersinar di Liga 1 2018, Satu Nama Tak Diduga!)
Di sisi lain, sepak bola Indonesia yang tak diwarnai masalah sepanjang tahun, bukanlah sepak bola kita.
Sebagai penyandang dana kompetisi, sponsor yang mengabaikan kerja sama ibarat pukulan “counter” seorang petinju.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar