main, ia memperjuangkan haknya sebagai pemain.
Bepe menjadi ikon (termasuk daftar agung Top 10 Asian Player of 2012 ESPNFC) bukan saja karena prestasinya di atas rumput, melainkan keberaniannya menerjang arus, atau seperti digambarkan John Duerden, “penyambung lidah keresahan pesepakbola di negara sepak bola penuh masalah bernama Indonesia”.
Ia menjadi penggerak utama, sungguhpun bisa disebut penggerak satu-satunya, di antara beribu-ribu pesepakbola (prasejahtera) yang kebanyakan memilih tak bersuara.
Sebagai contoh, seperti dilansir BolaSport.com dari Bolalob, para pemain Arema FC disinyalir bungkam kepada media karena “takut untuk bicara” perihal keterlambatan gaji pada pertengahan musim lalu.
Laporan FIFPRO tentang ketenagakerjaan pesepakbola Indonesia pada 2016 setidaknya menunjukkan bahwa pesepakbola bukanlah profesi yang amat menjanjikan.
Tercatat 23% pemain tidak mendapat salinan kontrak kerja, 82% tidak memperoleh gaji sesuai jadwal, 18% pemain menghadapi resiko kesehatan, 42% pemain tidak didukung layanan medis memadai.
Selain itu, delapan persen pemain menjadi korban kekerasan, 27% pemain menerima perundungan dari manajemen (klub), 13% pemain dipaksa berlatih terpisah dari tim, dan 9% dilarang bermain karena ricuh transfer.
Ada banyak hipotesis yang bisa diajukan untuk memberi eksplanasi, termasuk asumsi berani yang mengatakan pemain menerima intimidasi dari manajemen, atau dalam bahasa lain, tersandera hukum besi bapak-anak.
***
Bagaimanapun, nyatanya banyak pesepakbola elite yang identik dengan potret mewah dan glamor.
Sangat mungkin potret tersebut menciptakan angan-angan semu di benak pesepakbola Indonesia lainnya.
Satrio Arismunandar di Remotivi menggunakan perspektif pekerja media untuk mencurigai adanya “kesadaran palsu” bahwa status elite sebagai pekerja di sebuah perusahaan yang mengizinkan bertemu public figure beserta hal-hal mewah lainnya (ruang kerja ber-AC, pindah lantai memakai lift, dsb).
Akibatnya, muncul perasaan jemawa yang membuat mereka menyebut diri “bukan pekerja biasa”. Situasi ini tidak akan menjadi masalah selama gaji dan tetek bengek kepuasan kerja lainnya masih dapat dikecap.
Namun, preseden buruk bisa muncul bila kesadaran palsu tersebut menyihir pikiran pekerja bahwa mereka tak perlu membentuk serikat/asosiasi.
Ketiadaan serikat pekerja berimbas pada hilangnya opsi menggiurkan berupa upaya utak-atik fleksibilitas hak dan kewajiban pekerja serta yang paling penting, nihilnya kesempatan memecah hegemoni pemilik perusahaan lalu menyetelnya agar sesuai koridor.
(Baca Juga: Di Era Arsene Wenger, Kebahagiaan Tak Akan Ada Artinya Tanpa Kesedihan)
Apa yang digambarkan Arismunandar di atas sepintas lalu mirip dengan keadaan atlet sepak bola kita.
Kisaran gaji pemain level atas pesepak bola Indonesia menembus miliaran rupiah per tahun.
Bahkan, pemain cadangan di klub-klub kecil kasta tertinggi pun saya kira sudah melebih upah minimum (ambang batas yang menjadi patokan kaum pekerja/buruh dalam menuntut haknya).
Menyadari mereka akan ditonton puluhan ribu orang di setiap laga, menikmati tunjangan kemenangan per pertandingan, serta segepok kenikmatan hidup lainnya, menjadi wajar jika pemain melupakan hal terpenting bila mereka berada di titik nadir.
Bila gaung profesionalisme hanya sebatas gembar-gembor, merujuk pada catatan merah FIFPRO di atas, adakah kemungkinan yang lebih baik selain bersatu, berserikat, lalu bergerak?
[TERPOPULER] Komentar Zinedine Zidane soal Cedera Cristiano Ronaldo https://t.co/k4da8352n7
— BolaSport.com (@BolaSportcom) May 7, 2018
Pesepak bola, baik itu yang memang tidak mampu keluar dari tempurung ketakutan bersuara atau yang sudah terbuai oleh anggapan “bukan pekerja biasa”, seharusnya tidak boleh menafikan kekuatan sebuah serikat pekerja.
Lantas apakah saya mengesampingkan peran Asosiasi Pemain Sepak Bola Profesional Indonesia (APPI) yang sudah terafiliasi FIFPRO? Well, asosiasi ini tidak menampilkan daftar pemain yang menjadi anggota resmi, juga tidak memperbarui apa pun di website resminya.
Emosi Jiwaku, suatu situs yang dikelola suporter Persebaya, juga sejak jauh hari memperingatkan soal “elitisme” APPI, yang dipandang gagal mewakili aspirasi pemain di daerah serta cenderung hanya menggarap “isu populer di permukaan”.
***
Kepengurusan APPI periode 2018-2021 yang dipimpin Firman Utina semoga saja mengawali perubahan masif hubungan pengaruh-mempengaruhi serikat pesepakbola dengan federasi dan penyelenggara kompetisi.
Yang jelas, berbagai kasus penunggakan gaji pemain serta hal-hal menyedihkan lainnya menggambarkan realita miris: pemain berada dalam posisi tawar yang rendah.
Adalah hal mustahil bila pemain-pemain yang berserakan di penjuru negeri tersebut mendapatkan keseluruhan haknya bila yang dilakukan hanyalah memelas dan mengemis di jalanan.
Sebuah hal percuma juga bila yang dilakukan serikat/asosiasi pemain hanyalah memobilisasi pemain untuk memakai kaos bernada simpatik ataupun aksi jongkok massal di menit pertama pertandingan.
Untuk ukuran kelompok pekerja yang beberapa “anggota”-nya merenggut nyawa, termiskinkan, dan remuk karier, gestur semacam itu terasa kurang bertaji.
Mengutip sabda Zen RS, “pemain sepak bola Indonesia agaknya lambat memahami hak-haknya sebagai sebuah profesi”.
Setidaknya ada dua upaya untuk meningkatkan kesadaran profesi pemain sepak bola Indonesia, yakni: Pertama, penguatan kapasitas kelembagaan APPI.
Keberadaan APPI perlu disokong mengingat ia merupakan satu-satunya asosiasi yang berafiliasi ke induk FIFPRO serta memiliki hak suara di federasi (PSSI).
APPI perlu lebih giat menyosialisasikan urgensi berserikat bagi pesepakbola (terutama di daerah), mengkaji permasalahan-permasalahan pemain di akar rumput, serta kalau perlu, menggertak federasi lewat berbagai aksi.
Kedua, sebagaimana beragamnya serikat pekerja (buruh) di berbagai daerah dan bermacam perusahaan, maka tidak menutup kemungkinan diperlukannya alternatif asosiasi pemain.
Usulan ini dikemukakan Emosi Jiwaku dan tampaknya tidak menabrak aturan apa pun kecuali mengiris tugas asosiasi yang sudah ada (APPI).
Demi memotori akselerasi profesionalitas di persepakbolaan Indonesia dan agar terdapat check and balances antara pemain dengan manajemen, maka asosiasi pemain alternatif/independen tidak akan mendestruksi ekosistem yang telah ada.
Bagaimanapun, mengutip Agung Putranto Wibowo, asosiasi pemain memanggul beban misi penyejahteraan pemain bersama dua stakeholder lain.
[TERPOPULER] Luis Milla Bicara Soal Masa Depannya https://t.co/Ycoa9Lhh0L
— BolaSport.com (@BolaSportcom) May 7, 2018
PSSI sebagai “pemilik sah” olahraga ini urun peran dalam hal penanganan sengketa antara pemain dengan manajemen melalui lembaga penyelesai sengketa yang independen dari hukum positif.
Pemerintah boleh muncul di sini sebab urusan dapur pesepakbola tercakup dalam misi membangun kesejahteraan sosial di masyarakat.
Asosiasi pemain sepak bola, baik APPI ataupun asosiasi independen (bila akhirnya ada), mengemban tugas mengadvokasi para pemain selaku pekerja yang “diperah” manajemen.
Si Fulan yang memperkuat klub daerah tidak seberuntung Firman Utina atau Bambang Pamungkas, ia tidak mampu datang ke kantor Kemenpora atau dolan ke media massa untuk melantangkan keresahannya.
Jerih payah Si Fulan mungkin hanya akan sebatas gerak-gerik. Si Fulan memerlukan sebuah gerakan, dan gerakan tersebut memerlukan pengeras suara.
Asosiasi pemain barangkali menjadi jawaban paling sempurna.
@najmul_ula
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar