Tangis dua pemain Liverpool, Mohamed Salah dan Loris Karius, mendapatkan respons berbeda dari berbagai pihak.
Venue partai final Liga Champions 2017-2018, NSC Olimpiyskiy Stadium, Kyiv, menjadi saksi tangis skuat Liverpool.
Tim arahan Juergen Klopp tersebut harus mengubur mimpi untuk meraih gelar juara Liga Champions musim ini usai kalah 1-3 dari Real Madrid, Sabtu (26/5/2018) waktu setempat atau Minggu dini hari WIB.
Di antara air mata para pemain Si Merah, tangis Mohamed Salah dan Loris Karius yang paling menyita banyak perhatian dunia.
Salah menangis karena mengalami cedera dan tidak dapat melanjutkan laga akibat salah terjatuh saat berduel dengan Sergio Ramos.
Alhasil, Salah ditarik ke luar digantikan oleh Adam Lallana pada menit 31.
Tangis Mohamed Salah langsung direspons dengan berbagai dukungan dari penonton laga final, baik yang meyaksikan di stadion atau tidak.
Dukungan juga menyertai Salah di lini masa berbagai media sosial.
Bukan tidak mungkin ada penonton yang ikut menitikkan air mata melihat Salah begitu sedih.
Sementara itu, Loris Karius menangis bersama dengan para pemain Liverpool tepat setelah laga berakhir.
(Baca Juga: Resmi, Asia Tenggara Punya Wakil di Premier League Musim Depan)
Namun, tangis Karius lebih disorot ketimbang rekan setimnya.
Tangis kiper asal Jerman itu merupakan wujud penyesalannya karena melakukan dua blunder yang berujung menjadi dua dari tiga gol Real Madrid di laga tersebut.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan Karius pasca-laga.
"Saya minta maaf kepada semuanya, kepada tim, kepada semua orang di klub, kesalahan itu sangat fatal," tutur Karius seperti dilansir BolaSport.com dari Liverpool Echo.
"Jika dapat memutar waktu kembali, saya akan melakukannya. Saya tahu saya mengecewakan tim ini."
"Tentu saja rekan-rekan di ruang ganti mencoba menyemangati saya."
"Namun, yang ada hanya kesunyian di mana-mana karena semuanya sangat kecewa."
"Saya tak bisa merasakan apa-apa sekarang."
(Baca Juga: Mo Salah Bisa Selamatkan Son Heung-min dari Ancaman Penjara Tanpa Perlu ke Indonesia)
Gestur senada penyataan ini sudah ia sampaikan tepat setelah laga usai.
Karius mendatangi tribun yang ditempati para suporter Liverpool dan menunjukkan gestur meminta maaf.
Sambil berjalan, Karius tidak kuat menahan rasa bersalah hingga ia kembali menangis.
Permintaan maaf tersebut dibalas oleh beberapa pendukung Liverpool dengan standing applause.
Namun, hal tersebut tidak membuat Karius terhindar dari berbagai kritik, sindiran, dan caci maki.
Diakui atau tidak, cemoohan dan sejenisnya mengarah ke Karius lebih dari sekadar perkara blundernya di partai final.
Blunder pada masa-masa awal membela Liverpool menebalkan alasan untuk mencerca sang kiper.
(Baca Juga: Siapkan Rp 1,8 Triliun, Man United Bakal Punya Duet Gelandang Tengah Termahal Sejagat)
Mudah untuk mencari alasan mengapa banyak yang bersimpati dengan tangisan Mohamed Salah.
Pertama, tentu saja karena performa luar biasa yang ia tunjukkan sepanjang musim ini di berbagai ajang.
Apalagi, Salah berhasil memenangi berbagai gelar dan memecahkan rekor yang total lebih dari 30 capaian.
Kedua, bisa karena sifatnya yang rendah hati, agamanya, atau pengaruh positif yang ia berikan terhadap hal-hal di luar sepak bola.
(Baca Juga: Jadwal Lengkap Piala Dunia 2018, Awal dan Akhir di Moskwa)
Lalu dengan alasan yang sama, mengapa sulit menunjukkan simpati yang sama kepada tangisan Loris Karius?
Sebab Salah menangis karena "dilanggar" Sergio Ramos sedangkan Karius lantaran melakukan blunder fatal?
Karena Salah menunjukkan torehan gemilang sepanjang musim sementara Karius sebaliknya?
Jika jawabannya adalah "ya", menurut saya alasan tersebut perlu dipertanyakan.
Pertama, Mohamed Salah sejatinya juga melakukan blunder yang berakibat fatal pada saat berduel dengan Sergio Ramos.
Salah tampak lebih dulu memegangi lengan Ramos, sebelum akhirnya Ramos membalas memegangi, dan terjadi duel yang berakhir dengan Salah yang mengalami cedera.
Uhh guys it was clearly a clean tackle, Salahs arm was ALREADY there, Ramos did not ‘drag it down’ consider yourself falling, you’ll notice that you always place your hand near your chest to prevent damage, and thats exactly what @SergioRamos did. PLEASE STOP WITH THE HATE pic.twitter.com/KZLqNNn85V
— AK47 (@aleenakk) 26 Mei 2018
Salah sudah pasti sadar betapa krusial perannya di Liverpool sehingga ia perlu berhati-hati agar tidak merugikan timnya.
Apalagi, kejadian ini kemudian berdampak besar bagi Liverpool.
Sejak Salah diganti Lallana, daya dobrak Liverpool berkurang drastis.
Sebelum Salah cedera, Liverpool menciptakan 9 tembakan, sedangkan setelahnya Liverpool hanya mencetak 5 tembakan.
9 - Liverpool mustered nine shots in the first-half with Mohamed Salah on the pitch, and none after he was subbed off. Setback. #RMALIV pic.twitter.com/v0DOIhHCBQ
— OptaJoe (@OptaJoe) 26 Mei 2018
Bahkan sejak Salah diganti, Liverpool baru menciptakan tembakan kembali pada menit ke-55.
Perihal kedua, Loris Karius sejatinya punya catatan yang cukup mentereng sebelum partai final.
Menurut catatan Squawka, Karius menciptakan 6 clean sheet, kebobolan 9 gol, dan melakukan 19 kali penyelamatan.
Catatan ini tidak kalah dari Keylor Navas, yang mencatatkan 2 clean sheet, kebobolan 10 gol, dan melakukan 23 kali penyelamatan.
Selain itu, menurut Opta, Karius tidak pernah melakukan blunder yang berakhir menjadi gol dalam 32 laga di semua ajang.
2 - Loris Karius has made more errors leading to goals tonight (2) than he did in his previous 32 competitive apps for Liverpool this season in 2017-18. Stage. pic.twitter.com/gLTFfiOUPC
— OptaJoe (@OptaJoe) 26 Mei 2018
Loris Karius had not made a single error in the Champions League this season.
He made two in the final. pic.twitter.com/a3rYDYvzHY
— Squawka Football (@Squawka) 26 Mei 2018
Jika ada yang bersimpati pada Salah karena kisahnya yang berhasil membuktikan bahwa kegagalannya di Liga Inggris sebelumnya mampu ia tebus, Karius sejatinya juga punya kisah yang hampir serupa.
Salah gagal bersinar bersama Chelsea pada medio 2014 hingga dipinjamkan ke Fiorentina dan AS Roma, sebelum kemudian dijual permanen ke AS Roma.
Bersama AS Roma karier Salah membaik dan membuat Liverpool membelinya.
(Baca Juga: Pembagian Pot Unggulan Liga Champions Musim Depan, Liverpool dan AS Roma Masih Bergantung pada Nasib Klub Lain)
Pun dengan Karius, yang pernah berbergabung dengan tim kelompok usia Manchester City pada 2009 atau kala berusia 16 tahun.
Saat promosi ke tim cadangan Man City (2010), Karius gagal bersaing hingga dipinjamkan ke Mainz, sebelum statusnya dibuat permanen pada 2012 oleh klub Liga Jerman tersebut.
Bersama Mainz, Karius terlahir kembali dan menarik minat Juergen Klopp untuk merekrutnya.
Catatan Salah mungkin lebih mentereng karena ia menjadi penyerang dengan berbagai rekor gol, sementara Karius, meski tampil baik, statistik penampilannya tidak semewah kiper lain.
122 Detik yang Mengakhiri Nafas Liverpool di Final Liga Champions https://t.co/ChYGngKC5d
— BolaSport.com (@BolaSportcom) 27 Mei 2018
Hal ini sejatinya konsekuensi dari gaya bermain yang diterapkan Klopp.
Tanpa bermaksud mengerdilkan kemampuan Salah, pemain asal Mesir ini terbantu oleh gaya bermain menyerang Liverpool.
Dalam tim yang cenderung menyerang, lini pertahanan menjadi lebih rentan ditembus.
Gaya bermain ini juga tidak bisa disalahkan karena kemenangan dalam sepak bola selalu membutuhkan gol.
Clean sheet dan berbagai catatan gemilang pertahanan lain yang tidak disertai gol hanya akan menjadi hasil imbang.
Saya tidak berniat meremehkan Salah dan menghujatnya seperti halnya yang dialami Karius.
Sebaliknya, mari kita dahulukan rasa kemanusiaan terhadap dua pilar vital Liverpool tersebut.
Banting Mohamed Salah, Sergio Ramos Tak Sekalipun Dihukum Wasit https://t.co/8G5vKBtX9f
— BolaSport.com (@BolaSportcom) 26 Mei 2018
Tanggapan terhadap blunder Karius menurut saya masih bisa diterima pada level kritik dan sindiran.
Namun, pada level caci maki, apalagi sampai berlarut-larut, tentu tidak bisa dibenarkan.
Cercaan yang berlebihan bisa membuat Karius mengalami tekanan berat atau bahkan mengalami depresi.
Apalagi Karius beserta keluarganya baru-baru ini sampai mendapatkan ancaman pembunuhan.
Kekhawatiran bahwa Karius mengalami depresi juga diutarakan oleh jurnalis Telegraph, Sam Wallace.
Wallace mengkhawatirkan Karius akan bernasib serupa dengan Robert Enke, kiper Jerman yang bunuh diri akibat mengalami depresi.
"Karius menangis tak terkendali dan meminta maaf untuk suporter Liverpool. Harus diingat efek rasa bersalah, keraguan, dan kemudian depresi memiliki peran pada akhir hidup Robert Enke. Ini adalah olahraga. Kejadian itu berarti banyak, tetapi itu adalah hanya olah raga dan kita semua membuat kesalahan," tulis Wallace di akun Twitternya.
Karius sobbing uncontrollably & apologising to Liverpool supporters. Should be remembered the effect that mistakes, doubt & then depression had on the late Robert Enke. It is sport, & it means a lot but it is just sport & all of us make mistakes
— Sam Wallace (@SamWallaceTel) 26 Mei 2018
Loris Karius tampil buruk tentu adalah sebuah fakta.
Kiper berambut pirang itu juga layak menerima konsekuensi kesalahannya. Bisa dengan dicadangkan kembali, dipinjamkan agar bisa menata ulang mentalnya, atau lebih ekstrem dengan dilego ke klub lain.
Namun, tidak perlu lagi ada makian apalagi ancaman pembunuhan yang mengarah kepada Karius.
Saya pribadi sepakat dengan pernyataan Juergen Klopp bahwa apa yang dialami Karius memalukan dan semua orang tahu itu.
Artinya, Karius sudah cukup menderita dengan kesalahannya sendiri, tidak perlu lagi tambahan caci maki.
(Baca Juga: Jadi Kampiun, Real Madrid Akhiri Berbagai Kejaganggalan Liga Champions Musim Ini)
Kiper legendaris Jerman, Oliver Kahn, bahkan menyatakan bahwa Karius akan sulit melupakan kenangan buruk tersebut.
Lebih buruk lagi, Karius bisa kehilangan karier usai laga final tersebut.
Jika sudah begitu, apalagi yang mau dicari dari menghujat Karius terus-menerus.
Akhir kalimat, semoga Loris Karius segera bangkit dan Mohamed Salah bisa pulih demi berlaga di Piala Dunia 2018.
Editor | : | Dwi Widijatmiko |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar