Lionel Messi memasuki Piala Dunia 2018 dengan memikul beban berat. Hal itu berkorelasi erat dengan krisis timnas Argentina dalam start di kejuaraan akbar tersebut tahun ini.
Lionel Messi menyambut Piala Dunia 2018 dengan dihantui ekspektasi tinggi seiring kegagalan membawa timnas Argentina berprestasi.
Selalu didambakan publik Argentina sebagai Messiah Sang Penyelamat, ia malah merasakan pahitnya tumbang pada laga final di empat kejuaraan besar.
Bersama Tim Tango, Messi takluk pada partai puncak Piala Dunia 2014 serta Copa America 2007, 2015, dan 2016.
Akibat rentetan kegagalan itu, Messi belum lepas dari bayang-bayang komparasi dia dengan Sang Dewa Sepak Bola Argentina, Diego Maradona.
Publik Negeri Tango terus menanti kapan Messi bisa meniru rekam jejak Maradona, yang membawa Albiceleste juara dunia di Meksiko 1986.
Karena sederet kegagalan itu pula Messi selalu dihantui paradoks soal jati dirinya.
(Baca juga: Dari Maradona hingga Anelka, 5 Pemain yang Harus Dipulangkan dari Ajang Piala Dunia)
Pemain yang menginjak usia 31 tahun pada 24 Juni 2018 itu kerap dianggap sosok berbeda saat memperkuat timnas Argentina dan FC Barcelona.
Patokannya sederhana. Bersama Barcelona, dia bergelimang kejayaan dengan meraih total 32 gelar sejak promosi ke tim utama pada 2005.
Sebaliknya dalam waktu yang sama, prestasi Messi di timnas Argentina kering kerontang.
Tanpa menghitung Medali Emas Olimpiade 2008, tiada titel bergengsi lain yang menghiasi masa baktinya buat Tim Tango di level senior.
Bukan berarti Messi selalu tampil buruk saat berseragam tim nasional. Bukan pula bermakna Messi tidak cinta kepada negaranya.
Perjalanan karier sepak bola Messi menunjukkan bahwa dia memang lebih terikat secara emosional dengan Spanyol sebagai tanah kelahiran sepak bolanya daripada Argentina.
Messi lahir di Rosario, Argentina, dan pindah ke Spanyol saat remaja.
Di sanalah dia menjalani fase-fase penting sebagai manusia dan pesepak bola, mencari nafkah, merangkai hingga menggapai mimpi menjadi pemain terbaik di dunia.
(Baca juga: 9 Negara Ini Tak Pernah Absen di Piala Dunia 20 Tahun Terakhir)
Bakat permainan tiki-taka yang luwes ala Barcelona dan Spanyol mengalir lebih deras dalam darahnya ketimbang spirit grinta ala Argentina yang memadukan agresivitas, kengototan, dan skill alami pemberian Tuhan.
Pembawaan alamiah ini pula yang menimbulkan dikotomi di antara warga Argentina. Mereka seolah terbagi antara golongan yang mengidolakan Messi dan yang tidak.
Suami Antonella Roccuzzo itu dianggap tak mewakili karakter khas pesepak bola Argentina seutuhnya.
Karena lebih lama tinggal di Spanyol dengan kondisi lingkungan dan perekonomian memadai, Messi terlalu lembek dan tipe "anak rumahan" banget.
Di mata pencinta sepak bola konservatif Argentina, pesepak bola ideal adalah mereka yang mewakili mentalitas daya juang kelas pekerja sebagai struktur sosial dominan di Amerika Selatan.
Dia harus jantan, maskulin, tangguh, dan anti-kemapanan. Idola ideal mesti genius, tegas, vokal, pantang menyerah, tak ragu berkonfrontasi, juga mengutamakan kepentingan khalayak dibandingkan individu.
Arogan tidak masalah karena kebanggaan terhadap diri sendiri itu yang justru menjadi nilai penegasan karisma buat pemain bersangkutan.
Menurut penulis dan pengamat Amerika Selatan, Brenda Elsey, di The Allrounder, contoh paling nyata yang mewakili sosok idola ideal publik Argentina adalah Diego Maradona.
Dia adalah simbol pemberontakan terhadap tatanan sepak bola Eropa yang serba-teratur.
Setelah menjadi bintang dunia, Maradona tetap membawa sifat kelas pekerja alamiah di dalam dan luar lapangan.
Saat ditanya apakah dirinya pesepak bola terbaik di dunia, sang legenda berkata, "Ibu saya menganggap saya sebagai pemain terbaik di dunia. Jika ibu saya menilai demikian, maka pastilah saya yang terbaik".
Messi lebih disayangi fan di luar negaranya sendiri karena dia "pemain baik-baik", bertolak belakang dengan cap kotor yang disematkan orang Eropa terhadap pesepak bola Amerika Selatan kebanyakan.
Alih-alih menggoreskan tato pejuang seperti Che Guevara layaknya Maradona, Messi memilih membubuhkan tato ibu dan anaknya di lengan.
Saat gugup, Messi muntah. Ketika kecewa di lapangan, dia akan cemberut atau bungkam kepada media, merenungi keadaannya.
Dia bukan tipe pemberontak dan cenderung menghindari konflik daripada membereskannya secara jantan.
Saat diajukan pertanyaan seperti Maradona soal apakah dirinya pemain terbaik di dunia, Messi menjawab, "Jangan membicarakan saya sebagai pemain terbaik".
Sifat merendah memang positif, tetapi itulah yang membuat publik Argentina menilai Messi tak punya wibawa dan tingkat kepercayaan diri seperti Maradona, padahal mereka sama-sama diberkahi skill luar biasa.
Bisa jadi sikap tersebut dianggap pengingkaran atas talenta spesial yang dianugerahkan kepada Messi.
Karena berbagai pertentangan itu, wajar apabila segelintir warga Argentina tidak akan pernah menyayangi Messi seperti mereka memuja Maradona.
Akibat hal itu pula sekelompok fans Tim Tango mati-matian membela Carlos Tevez agar ditarik kembali ke timnas karena dia dinilai lebih mewakili karakter militan orang Argentina daripada Messi.
Selain beban komparasi tak berujung dengan Maradona demi trofi Piala Dunia, tekanan buat Messi di Rusia 2018 bisa bertambah karena rivalnya, Cristiano Ronaldo, sudah selangkah di depan.
CR7 memasuki Piala Dunia tahun ini dengan modal memimpin Portugal juara Piala Eropa 2016 dan kampiun Liga Champions di Real Madrid.
Ditambah lagi, Ronaldo langsung tancap gas di Rusia dengan memimpin daftar top scorer sementara berkat torehan 4 gol dalam 2 partai.
Messi? Jangankan bikin gol, membantu Argentina tampil bagus pun dia belum kuasa. Messi gagal pula mencetak gol lewat tendangan penalti.
Raja gol sepanjang masa Tim Tango itu masih berkutat dengan problem menyelaraskan fungsi dan karakternya di lapangan dengan strategi pelatih dan rekan setim.
Masalah muncul karena perbedaan mekanisme tim. Di Argentina, pelatih Jorge Sampaoli menjadikan Messi sebagai otak permainan.
Berikan bola ke Messi, sisanya serahkan padanya. Messi ibarat menjadi pusat saraf pikir Tim Tango.
"Dia bisa membawa tim ini di pundaknya. Tim Argentina ini akan menjadi tim Messi," ujar Sampaoli sepekan lalu, dikutip BolaSport.com dari Independent.
Kekeliruan Sampaoli yang menjadi target kritik media Argentina ialah membiarkan Messi memikul beban sendirian, bukan membaginya ke rekan setim.
Efeknya, ketika saraf pusat permainan itu dihambat, lumpuh pula mekanisme tim. Situasi ini terjadi dalam dua partai pertama Argentina di Piala Dunia 2018 saat ditahan Islandia 1-1 dan dihajar Kroasia 0-3.
Sampaoli malah mencoba bijak dengan mengatakan bahwa Messi mendapat perlakuan tidak adil karena divonis publik mengemban kesalahan terbesar saat Argentina kalah.
Padahal, dia sendiri yang menyerahkan beban paling berat di pundak Messi.
Di Barcelona, performa Sang Messiah stabil di titik tertinggi berkat sokongan gelandang-gelandang dan partner kelas dunia secara konsisten, mulai dari Xavi, Ronaldinho, Andres Iniesta, Sergio Busquets, hingga kini Ivan Rakitic atau Paulinho.
Barisan rekan berkualitas itu setia melayani Messi hingga membantu membentuknya menjadi pemain yang sangat produktif.
Situasi kontradiktif terjadi di Argentina. Messi memang masih sanggup menelurkan gol dan sentuhan keajaiban, tetapi fungsinya tidak seluwes di Barcelona karena dialah yang didaulat sebagai pelayan bagi rekan setim.
Messi ialah sumber peluang dan distribusi bola karena skuat Argentina tak memiliki pemain berkualitas sepadan dengan materi di Barcelona.
Dalam situasi inilah keistimewaan Messi sebagai titisan Maradona diuji.
Pada Piala Dunia 2018, dia memimpin skuat pilihan Sampaoli yang disesaki pemain berkualitas biasa saja, dalam hal ini soal sektor kiper, bek, dan gelandang.
Tanpa dukungan pemain top semewah di Barca, Messi terbukti melempem saat membela negaranya.
Diutarakan oleh Diego Simeone, hal inilah yang membedakannya dengan Cristiano Ronaldo, yang teruji sukses bersama timnas Portugal meski ditemani rekan berkualitas medioker.
Maradona pun mampu mengangkat harkat Napoli dan seluruh Italia Selatan untuk merajai Italia tempo dulu.
"Messi tampil sangat baik karena dia ditemani pemain-pemain luar biasa. Pertanyaannya, jika harus memilih antara Messi dan Ronaldo untuk sebuah tim yang normal (biasa saja), siapa yang akan Anda pilih?" kata pelatih Atletico Madrid itu pada ESPN.
Saat kualitas pemain di tim Argentina jadi masalah, kondisi diperparah dengan kekacauan taktik Sampaoli.
Inkonsisten seperti ucapannya, eks pelatih Sevilla itu menerapkan belasan taktik berbeda cuma dalam 13 partai memimpin Tim Tango sejak Juni 2017.
Sangat jelas Sampaoli belum matang menemukan racikan terbaik. Tujuannya sih bagus, yakni untuk mengakomodasi dan mencarikan strategi terbaik buat peran Messi.
Hanya, eksperimen terkesan kebablasan karena Sampaoli sampai memakai nyaris 60 pemain untuk dijajal dalam rentang 13 pertandingan tersebut!
(Baca juga: Ironis! Tampil Bagus, Peru Tetap Gagal Lolos ke Babak 16 Besar Piala Dunia)
Sebelum Piala Dunia dimulai, Sampaoli mengatakan bakal memainkan skema 2-3-3-2 atau 4-4-1-1 dengan menaruh Messi di belakang penyerang tengah dan disokong seorang playmaker di lini sentral.
Skema itu cuma tampil sejenak dalam duel kontra Islandia saat Ever Banega menggantikan Lucas Biglia pada setengah jam terakhir laga. Setelahnya, komposisi tersebut lenyap tak dipakai lagi.
Pada Maret lalu, Messi juga mengatakan pada Sampaoli bahwa formasi 3-4-3 seperti yang dia lakoni di Barcelona era Luis Enrique tak akan berjalan lancar di timnas.
Ia menilai skema itu justru akan menarik pemain lawan untuk memenuhi sektor penyerang sayap kanan yang biasa ditempati Lionel Messi. Sampaoli setuju.
Eh, ketika duel lawan Kroasia, pelatih gundul itu malah mengabaikan opini Messi dengan memasang 3-4-3 sebagai pedoman awal.
Mungkin ekspresi muram sang bintang sepanjang pertandingan merupakan gambaran kekecewaan terhadap keputusan pelatih sekaligus firasat bahwa laga akan berakhir dengan kehancuran Argentina.
Firasat itu pun terbukti nyata. Semestinya, Sampaoli sebagai pelatih berpengalaman bisa menjadikan situasi ini sebagai bahan koreksi.
Mengingat Argentina sangat butuh kemenangan disertai nasib baik saat melakoni laga terakhir di grup kontra Nigeria (26/6/2018), nantikan perubahan apalagi yang bakal diterapkan Sampaoli demi memperbaiki tim.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar