Sejak saya tinggal di Kota Muenchen, belum pernah sekali pun Allianz Arena kebagian menjadi tempat laga tim nasional Jerman.
Hingga akhirnya hadir pertandingan pembuka UEFA Nations League yang menggelar partai Jerman kontra juara dunia Prancis pada Jumat (7/9/2018).
Jauh hari sebelum pergelaran Piala Dunia 2018 saat tiket mulai dijual resmi oleh Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB), tak ada yang menyangka bahwa pertandingan ini akan mempertemukan juara dunia dari dua edisi teranyar.
Pun tanpa gelar bergengsi tersebut nama besar Prancis sebagai lawan sudah menjadi daya tarik tersendiri dengan salah satu generasi emas yang pernah mereka miliki setelah era 2000-an.
Malam itu, penonton disambut corak bendera Jerman berselipkan merah-putih-biru Prancis yang berpendar melalui lampu-lampu di belakang ribuan panel semi transparan yang menyelimuti Allianz Arena.
(Baca Juga: Menang Tipis dari Peru, Bintang Muda Timnas Jerman Sudah Cukup Senang)
Tak sedikit yang belum menyadari bahwa pertandingan tersebut sekaligus merupakan pembuka UEFA Nations League.
Sebagian mengira kedatangan Les Blues adalah dalam rangka partai uji coba ataupun Kualifikasi Piala Eropa, meski tertulis jelas label UEFA Nations League di lembar tiket.
Inisiatif turnamen antarnegara Eropa ini sudah dimulai sejak era kepemimpinan Michel Platini di tahun 2011 dan diresmikan pada kongres UEFA 2014.
Banyak pro dan kontra timbul terhadap inovasi baru ala UEFA ini.
Media saat ini sibuk menjelaskan kepada khalayak bagaimana sistem kompetisi yang akan dilaksanakan dan apa pengaruhnya terhadap kompetisi utama Piala Eropa dan juga kualifikasinya.
Tentunya sudah banyak yang mulai paham soal empat kasta liga yang memberlakukan sistem promosi degradasi.
Serta pengaruhnya terhadap pot negara peserta kualifikasi Piala Eropa, dan jalur khusus yang disiapkan untuk lolos ke Piala Eropa dari kompetisi ini.
Namun, yang lebih menarik, apakah plus-minus dari terselenggaranya kompetisi baru ini?
Di media Jerman sendiri, pemangku kepentingan sepak bola juara dunia empat kali ini terbagi dalam dua kubu.
(Baca Juga: Timnas Italia Termuda dalam 42 Tahun, Bukti Revolusi Roberto Mancini)
Kubu DFB didukung juga pejabat tim nasional, yang tentunya menempatkan diri sejalan dengan asosiasi, sangat mendukung diselenggarakannya turnamen baru ini.
Sementara jajaran elite klub besar Bundesliga, seperti Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund, menyayangkan keputusan UEFA ini.
Mereka menganggap kompetisi yang ada sudah cukup banyak.
Di balik itu, DFB bisa dikatakan juga punya kepentingan terselubung dengan mendukung program UEFA ini, yaitu memuluskan rencana mereka menjadi tuan rumah Piala Eropa 2024.
Di partai pembuka UEFA Nations League, DFB membagikan cuma-cuma majalah stadion yang salah satu isinya menjelaskan tanya-jawab soal kompetisi.
Ternyata, isi majalah itu merupakan terjemahan langsung dari publikasi UEFA di situs ofisial mereka ke bahasa Jerman.
Tentu saja materinya hanya mengangkat sisi positif dari kompetisi.
Poin utama dari UEFA adalah menghilangkan partai uji coba yang “tidak penting“.
Keberadaan kompetisi baru ini memang tidak menambah jadwal yang telah disediakan FIFA untuk laga internasional, melainkan menggantikan sebagiannya.
Setelah adanya kompetisi ini, maka lewat pertandingan yang ada setiap negara akan punya misi yang jelas dalam mengarungi kompetisi.
Dua belas negara di kasta tertinggi tentu ingin meraih gelar Eropa sampingan selain Piala Eropa.
Sementara sisa negara di tiga kasta berikutnya berusaha untuk naik ke satu level di atasnya.
Dengan pengelompokan liga sesuai dengan masing-masing level saat ini, UEFA berharap setiap pemain dan tim dapat terbantu untuk menjaga level kompetitif yang dimiliki.
Negara dengan koefisien kecil masih bisa merasakan lawan dengan level di atas lewat pergelaran Kualifikasi Piala Eropa.
Juga masih ada sisa jadwal laga internasional yang bisa digunakan karena kompetisi ini tidak mengakuisisi seluruh jadwal yang ada.
Namun, dilihat dari sisi pengelolaan klub besar Eropa, bisa jadi hal ini kurang baik.
Karena dipastikan intensitas permainan dari para pemain bintang yang berasal dari negara unggulan akan stabil di level yang lebih tinggi dibanding waktu-waktu sebelumnya.
Dengan pentingnya turnamen ini pun pihak klub tentu tidak punya nilai tawar lebih untuk menahan pemainnya agar tidak memenuhi panggilan negara.
Sebelumnya, hal ini sudah menjadi polemik antara pengelola klub dan tim nasional yang kadang saling tuding saat pemain utama mereka cedera ketika membela entitas seberang.
Koordinasi sistem periodisasi yang baik antara klub besar Eropa dan negara unggulan perlu menjadi perhatian khusus dengan terselenggaranya kompetisi ini.
Menjawab tantangan yang muncul dari poin utama di bahasan sebelumnya, UEFA mengklaim bahwa tuntutan kepada pemain justru akan makin berkurang sehingga keseimbangan antar kompetisi klub dan internasional semakin terjaga.
Hal ini mereka dasarkan kepada lebih sedikitnya perjalanan yang dibutuhkan oleh pemain dibanding melakukan laga uji coba yang beragam.
Kemudian, sistem kandang-tandang melibatkan tim yang sama dalam rangkaian pertandingan liga juga memberi andil dalam kepulangan pemain yang bisa lebih cepat dari waktu sebelumnya, sehingga waktu istirahat akan lebih panjang.
Hanya, bila ditilik lebih dalam, poin ini memang berlaku bagi negara yang termasuk dalam Liga A, kasta tertinggi.
Saat ini, kasta tersebut dikuasai oleh sebagian besar negara Eropa bagian barat yang relatif memiliki jarak dekat antarnegara, di angka 500 hingga 1.000 km perjalanan udara.
Namun, mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi negara yang berada di Liga B, C, atau D.
Contohnya Skotlandia yang harus saling tandang dengan Israel. Atau Norwegia yang harus pergi dan menjamu Siprus.
Mereka perlu melakukan perjalanan 3 hingga 4 kali lebih jauh dibandingkan negara-negara di Liga A.
UEFA menampik anggapan bahwa kompetisi baru ini mengedepankan penciptaan aliran penghasilan baru.
Tentu penikmat sepak bola mendapatkan suguhan sepak bola yang lebih menarik dari sebelumnya, demikian penjelasan mereka.
Dibanding hanya uji coba yang independen, kompetisi tentu akan menjadi hiburan tersendiri.
Plus persaingan menuju juara yang pastinya akan meningkatkan daya tarik. Muaranya tentu saja peluang komersialisasi yang lebih besar.
Namun, entitas tertinggi sepak bola Eropa menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah hal utama dikarenakan sistem hak siar media akan sama seperti sebelumnya.
Faktanya, berdasarkan lansiran media, UEFA mendatangkan sekitar 2 miliar euro lewat pemasaran kompetisi baru ini.
Di Jerman, lembaga penyiaran publik ARD dan ZDF, yang juga merupakan pemegang hak siar di Piala Dunia beberapa bulan silam, sudah membeli hak siar UEFA Nations League hingga 2022.
Sebagai penikmat, tentu kehadiran turnamen ini melahirkan antusiasme segar.
Stadion di utara Kota Muenchen dipenuhi 67,485 pendukung dan tiket terjual habis.
Sebelum laga, saya mengira kemenangan tuan rumah akan terwujud diikuti keangkuhan ala Jerman lewat media dengan mengatakan juara dunia takluk di tangan mereka.
Hal itu urung terwujud. Walau timnas Jerman lebih mendominasi pertandingan, penampilan ciamik kiper Tim Ayam Jantan Alphonse Areola menjadi kunci.
Alphonse Areola merupakan cadangan kiper utama timnas Prancis, Hugo Lloris,
Ia mampu menggagalkan beberapa peluang emas barisan depan asuhan Joachim Loew.
Meski hanya mendulang hasil seri 0-0, lewat salah satu akun sosial media partner sponsor tetap keluar pernyataan bahwa timnas Jerman bermain lebih baik dari juara dunia pada, hanya gol tidak tercipta.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar