Pablo Picasso adalah paket komplet sebagai manusia. Dia pelukis masyhur, pemusik Flamingo, dan pencinta sepak bola. Ya, Picasso cukup unik, karena tak banyak seniman yang mencintai sepak bola secara mendalam sepertinya.
Saya berkesempatan mengunjungi Museum Picasso di Centro de Malaga, Spanyol, Senin (10/9/2018). Centro merupakan salah satu bekas peninggalan tertua dan terbesar Andalusia, yang juga tempat kelahiran seniman terbesar abad 20 itu.
Picasso lahir di Malaga, 25 Oktober 1881. Ia merupakan seniman dengan aliran kubisme, lulusan Akademi de Bellas Artes de San Fernando, Madrid, Spanyol. Dalam kiprah seni, selain lukis, ia pun menciptakan karya patung, dan keramik.
Sepanjang hidupnya, Picasso sudah menciptakan kurang lebih 20 ribu karya seni. Banyak seniman kenamaan besar dengan salah satu gaya dasar. Tidak dengan Picasso, ia kerap berubah-ubah gaya.
(Baca juga: Besar dan Mati Bob Marley dengan Sepak Bola)
Dari 20 ribu karya yang ia ciptakan, saya terjebak dalam salah satu lukisan berjudul Football yang dibikin 3 Juni 1961. Saya terhenti beberapa saat, memandangi lukisan litograf berdimensi 55,9 × 76,2 cm itu. Sayangnya, saya tak cukup laki, tak berani melanggar aturan museum yang melarang pengunjung memotret lukisan.
Izinkan saya memahami lukisannya, dari mata seorang jurnalis olahraga. Semoga kita tak salah kaprah, terjebak dalam visual indah.
Football lahir empat hari setelah Barcelona mencatat sejarah pertama kai tampil di final Liga Champions (Waktu itu bernama Euro Cup) melawan tim Portugal, Benfica. Dalam pertandingan yang digelar di Stadion Gottfried Dienst, Swiss, itu Barcelona kalah 3-2 atas Benfica.
Sebagai seseorang yang pernah merantau dari Malaga ke Barcelona pada 1895 untuk bersekolah di School of Fine Arts, Picasso tampaknya melibatkan banyak perasaannya dalam kekalahan Barcelona.
Dalam karya Football, dia mengguratkan empat pemain Barcelona dan tiga pemain Benfica, dengan bundar kuning di tengah mereka serupa bola.
Tak ada yang aneh dalam warna, tentu, karena itulah corak masing-masing seragam kedua tim kala melakoni final Euro Cup 1961.
Dalam final, Barcelona mengenakan jersey garis vertikal merah-biru, dan Benfica mengenakan jersey merah. Namun, warna kuning pada bola mengandung banyak arti.
Secara umum dalam kacamata seni rupa, kuning berarti kemegahan. Sepak bola adalah sesuatu yang megah. Medium di mana fulus mengalir dari hulu ke hilir dan sebaliknya. Tempat di mana setiap peristiwa menguap di layar kaca, di media massa.
(Baca juga: Bagi Led Zeppelin, Wolverhampton Wanderers seperti Agama)
Kuning pula berarti keangkuhan. Sepak bola adalah gengsi, adalah harga diri. Seperti halnya publik Barcelona yang merasa dipecundangi Benfica. Sialan, adakah cara agar mereka tak berduka?
Dan duka itu pula yang tertanam abadi dalam gurat tangan Picasso.
Biru dan merah, dengan garis lentur, adalah gaya khas Picasso sebelum ia menggeluti kubisme pada awal 1900-an.
Kubisme adalah aliran yang bikin Picasso mendunia. Sebuah gerakan seni yang ia rintis bersama Georges Braque (Seniman Perancis), di mana berhasil menciptakan revolusi dalam ilmu lukisan dan pahatan Eropa. Aliran itu pun menginspirasi gerakan serupa dalam seni musik dan sastra.
Namun, dalam Football, Picasso seakan kembali ke sikap lamanya: berubah-ubah gaya yang bikin penggemarnya terpana.
Izinkan saya memahami lukisannya, dari mata seorang jurnalis olahraga. Semoga kita tak salah kaprah, terjebak dalam visual indah.
Lepas dari prinsip kubisme, garis-garis lengkung dalam objek lukisannya menggambarkan sikap dinamis dan luwes. Begitulah sepak bola di matanya, mungkin, berubah-ubah tiap masa di mana ada juga kesempatan final bagi Barcelona.
Sementara gairah sepak bola seakan tertancap pada garis zig-zag sebagai rumput dalam lukisannya. Hijau menyala.
Sekali lagi, sepak bola dinamis. Barcelona akhirnya menikmati kemenangan pertamanya di final Liga Champions pada musim 1991-1992. Hayat Picasso berakhir pada 8 April 1973. Waktu itu fana, kita abadi, kata Sapardi.
Tulisan ini saya curahkan di tengah taman Musseo Picasso di Centro de Malaga, Spanyol. Menikmati seni adalah ibadah, tuan. Dan melihat karya Picasso dari jarak semeter adalah anugerah, meski saya mesti merogoh kocek 8 Euro atau sekitar Rp136 ribu.
Di sana pula kebetulan digelar eksibisi berjudul “Warhol. Mechanical Art”. Tak adil rasanya jika saya hanya membicarakan sepak bola dengan Picasso, saat di mana wajah Andy Warhol tersusun di banyak dinding Museum Picasso.
Warhol pun pencinta sepak bola, lebih tepatnya pencinta pesepakbola legenda Brasil, Pele.
Cinta pada sepak bola, tentu timbul karena popularitasnya--bukan hal-hal ribet diatas lapangan hijau. Tak heran jika ia memilih Pele sebagai objek lukisannya.
Dengan ketenarannya sebagai pencetus gerakan pop art, seniman kelahiran AS 6 Agustus 1928 itu memang dikelilingi orang-orang keren.
Selebriti Hollywood, tokoh politik, musisi rock, sosialita terkenal, dan atlet bintang macam Pele, seakan mengantre dalam ruang galerinya.
Karya Pele sendiri ia ciptakan pada 1978, dengan dimensi 101,6 x 101,6 cm. Karya tersebut merupakan salah satu dari banyaknya atlet—ada pula petinju Muhammad Ali--yang ia tuangkan lewat sablon dan polimer sintetik pada kanvas.
Gaya pop art-nya sangat efektif dalam potret Pelé di mana warna cat di sekitar kepala sang bintang terasa bergema.
Kepala Pele seakan dilepas saat bersentuhan dengan bola sepak. Merek Spalding pada bola, adalah khas Warhol yang tak pernah mengkhianati realitas industri zaman itu.
Ajal menjemput Warhol pada 22 Februari 1987, sementara Pele masih menjadi salah satu pemain terbaik dunia hingga saat ini.
Warhol pernah bilang, 15 menit ketenaran bagi karya Pele adalah 15 abad pujian untuk pesepak bola itu. Kata Sapardi, waktu itu fana, kita abadi.
Menonton Sepak Bola
Saya hanya pecinta, penikmat, sebuah karya seni. Waktu memandang sepak bola dalam seni ke arah barat, saya hampir terlena.
Saya nyaris lupa bahwa Indonesia pun punya seniman Yogyakarta. Dialah Widayat.
Widayat adalah salah satu seniman ternama Tanah Air, yang kerap disebut pelukis Jawa paling berpengaruh di abad ke-20.
Namanya memang tak setenar Affandi atau Hendra Gunawan, tapi ia adalah orang yang berhasil melahirkan banyak pelukis kontemporer saat ini.
Sebagai jurnalis olahraga, tentu salah satu karya seninya yang saya suka adalah “Menonton Sepak Bola”. Dalam karya itu, Widayat menggambar masyarakat melammbaikan tangan di atas batang-batang pohon.
Seingat saya, Widayat tak pernah melepaskan nuansa flora dan fauna dalam lukisannya. Maklum, dia seorang Jawa.
Gaya itu pun terinspirasi dari pengalamannya yang pernah bekerja di bidang kehutanan. Tak heran jika dalam karya Menonton Sepak Bola, Widayat menampilkan lukisan itu.
Izinkan saya memahami lukisannya, dari mata seorang jurnalis olahraga. Semoga kita tak salah kaprah, terjebak dalam visual indah.
Menonton Sepak Bola dibikin pada 1981, saat tim nasional Indonesia tengah berjaya di Asia. Salah satu peristiwa paling menghebohkan, adalah kala timnas kita berhasil mengalahkan Timnas Jepang—yang dipersiapkan untuk Olimpiade 1984--dengan skor 2-0.
Masa 1981. Sepak bola Indonesia menggeliat, seakan bangun dari tidurnya. Sementara Widayat tidur untuk selamanya pada 5 november 1993. Waktu itu fana, kita abadi, kata Sapardi.
Dari kanvas-kanvas Barcelona
tumpah sablon di Amerika
patron flora di Jawa
Menonton Sepak Bola
dari tenung losmen Malaga
rumput hijau serupa soka
dua puluh dua daksa
dua wisesa
peluit panjang, kuda-kuda
tak ternyana.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | BolaSport.com |
Komentar